32.1 C
Jakarta
spot_img

Pluralisme dan Humanisme: Meneruskan Spirit Gus Dur untuk Indonesia

Artikel Trending

KhazanahOpiniPluralisme dan Humanisme: Meneruskan Spirit Gus Dur untuk Indonesia
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – KH. Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, adalah sosok yang tak tergantikan dalam sejarah Indonesia. Ia merupakan ulama, pemikir, presiden, dan yang paling penting, simbol pluralisme modern. Di tengah tantangan keberagaman yang memunculkan gesekan sosial, Gus Dur tampil sebagai pembela hak asasi manusia dan simbol harmoni di tengah perbedaan. Haul ke-15 Gus Dur menjadi momentum penting untuk kembali merenungkan gagasan serta langkah-langkah monumental yang telah ia lakukan dalam memperjuangkan pluralisme.

Bagi Gus Dur, pluralisme bukan sekadar konsep abstrak, melainkan prinsip hidup yang nyata. Ia memandang perbedaan sebagai anugerah Tuhan yang harus dirayakan, bukan dipertentangkan. Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur menegaskan bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau budaya.

Sebagai seorang pemikir Islam, Gus Dur memadukan ajaran Islam dengan semangat pluralisme. Ia percaya bahwa Islam adalah agama inklusif yang menghormati keberagaman dan mendorong keadilan sosial. Dalam pandangannya, Islam yang sejati adalah Islam yang mampu merangkul semua manusia, terlepas dari identitas mereka.

Pluralisme Gus Dur bukanlah wacana belaka, tetapi juga diwujudkan dalam kebijakan nyata. Sebagai presiden, ia mengambil langkah berani untuk menghapus diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Salah satu kebijakan paling bersejarah adalah pengakuan Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia dan pencabutan larangan perayaan Imlek secara terbuka. Kebijakan ini mencerminkan keberanian Gus Dur dalam melawan arus mayoritas demi menegakkan keadilan.

Ciri khas Gus Dur adalah keberaniannya membela kelompok yang terpinggirkan. Ia tidak gentar menghadapi kritik, bahkan dari kalangan yang seharusnya mendukungnya. Baginya, membela kaum lemah adalah panggilan moral yang tidak dapat ditawar.

Gus Dur menjadi suara bagi mereka yang tidak dapat bersuara. Ia memperjuangkan hak-hak kaum Tionghoa, komunitas agama minoritas, dan kelompok adat yang kerap mengalami diskriminasi. Dalam setiap pembelaannya, Gus Dur selalu menegaskan bahwa keadilan harus dirasakan oleh semua orang tanpa terkecuali.

Keberanian Gus Dur tidak terbatas pada isu domestik, tetapi juga terlihat dalam konteks global. Ia adalah salah satu pemimpin dunia yang secara konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina dan mengkritik berbagai bentuk ketidakadilan internasional. Dengan keberanian ini, Gus Dur menunjukkan bahwa pluralisme adalah nilai universal yang harus diperjuangkan di mana pun.

Gus Dur memahami bahwa pluralisme tidak cukup hanya menjadi slogan; ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Salah satu contoh terbaik adalah pendekatannya dalam menyelesaikan konflik. Dalam berbagai konflik horizontal di Indonesia, seperti di Ambon dan Poso, Gus Dur selalu mendorong dialog sebagai solusi utama. Ia percaya bahwa dengan berbicara dan mendengarkan satu sama lain, perbedaan dapat dijembatani, dan perdamaian dapat tercipta.

Sebagai tokoh yang dihormati di tingkat internasional, Gus Dur aktif mempromosikan dialog antaragama. Di berbagai forum dunia, ia dikenal berkat komitmennya terhadap perdamaian dan penghormatan terhadap keberagaman. Dengan pendekatan humanisnya, Gus Dur berhasil membangun jembatan antara komunitas yang sebelumnya terpisah oleh prasangka dan stereotip.

Gus Dur tidak ragu untuk mengkritik pandangan eksklusif yang mengancam harmoni sosial. Ia menentang interpretasi agama yang sempit dan tidak toleran. Dalam pandangannya, agama seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan kedamaian, bukan alat untuk memecah-belah.

Salah satu kritik tajam Gus Dur ditujukan kepada kelompok yang menggunakan agama untuk membenarkan diskriminasi. Ia menegaskan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kebencian atau penindasan. Kritik ini kerap menuai kontroversi, tetapi Gus Dur tetap teguh. Baginya, membela pluralisme adalah bagian dari iman.

Warisan terbesar Gus Dur adalah teladan hidupnya yang konsisten memperjuangkan pluralisme. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, warisan ini menjadi harta yang tak ternilai. Namun, di era modern ini, tantangan pluralisme semakin kompleks. Polarisasi sosial, ujaran kebencian, dan diskriminasi masih menjadi masalah besar.

Untuk melanjutkan warisan Gus Dur, pendidikan menjadi salah satu cara terbaik. Nilai-nilai pluralisme harus diajarkan sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun komunitas. Dengan membekali generasi muda dengan pemahaman tentang pentingnya menghormati perbedaan, kita dapat membangun masa depan yang lebih inklusif, adil, dan harmonis.

Sebagai seorang sufi modern, Gus Dur memandang pluralisme sebagai ekspresi dari spiritualitas yang mendalam. Ia percaya bahwa cinta kepada Tuhan harus diwujudkan dalam cinta kepada sesama manusia. Setiap tindakan yang merendahkan martabat manusia, menurut Gus Dur, adalah bentuk penghinaan terhadap Sang Pencipta.

BACA JUGA  Merevitalisasi Pesantren sebagai Agen Kultural Kontra-Radikalisme

Gus Dur sering mengutip ajaran Islam yang menekankan pentingnya keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama. Bagi Gus Dur, Islam adalah agama yang memanusiakan manusia, dan pluralisme merupakan salah satu cara untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Lima belas tahun setelah kepergiannya, Gus Dur tetap hidup dalam hati sebagai simbol pluralisme modern. Ia adalah teladan keberanian, kebijaksanaan, dan kasih sayang. Gus Dur menunjukkan bahwa pluralisme bukan hanya soal toleransi, tetapi juga tentang keadilan dan solidaritas.

Momentum Haul ke-15 Gus Dur adalah waktu yang tepat untuk memperbarui komitmen terhadap nilai-nilai pluralisme. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, warisan Gus Dur adalah cahaya yang dapat memandu kita menuju masyarakat yang lebih inklusif dan damai. Dengan meneladani tindakan dan pandangan Gus Dur, kita dapat membangun Indonesia yang lebih baik—Indonesia yang menghormati perbedaan dan kekuatan untuk maju bersama, membangun negeri yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

Gus Dur tidak hanya dikenal sebagai pemimpin politik, tokoh agama, dan budayawan, tetapi juga sebagai bapak humanisme di Indonesia. Julukan ini merujuk pada dedikasi dan keberpihakan beliau terhadap kemanusiaan, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan. Prinsip-prinsip humanisme yang diusung Gus Dur begitu relevan dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang sangat kompleks.

Salah satu aspek penting dari humanisme Gus Dur adalah keberpihakan kepada kaum yang termarginalkan. Gus Dur secara konsisten membela hak-hak kelompok minoritas, baik agama, etnis, maupun sosial. Sebagai contoh, Gus Dur menjadi salah satu tokoh terdepan dalam membela hak-hak komunitas Tionghoa di Indonesia, yang selama bertahun-tahun mengalami diskriminasi sistemik. Ia bahkan mencabut larangan perayaan Imlek di ruang publik saat menjadi Presiden RI.

Tidak hanya itu, Gus Dur juga membela hak-hak kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Bagi Gus Dur, tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa negara hadir untuk melindungi seluruh warganya, termasuk mereka yang berada di pinggiran sistem sosial dan politik.

Humanisme Gus Dur tidak berhenti pada wacana, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata. Ketika konflik horizontal melanda beberapa daerah, seperti di Ambon dan Poso, Gus Dur hadir sebagai pendamai yang mendukung dialog antarumat beragama. Dalam banyak kesempatan, ia memposisikan dirinya sebagai jembatan antara kelompok-kelompok yang bertikai, menunjukkan bahwa empati dan komunikasi adalah kunci untuk mengatasi konflik.

Di tingkat internasional, Gus Dur juga dikenal sebagai duta perdamaian. Ia membawa pesan-pesan humanisme ke forum global, menegaskan bahwa nilai-nilai kemanusiaan bersifat universal dan melampaui sekat-sekat ideologi, agama, maupun budaya.

Bagi Gus Dur, humanisme tidak terpisahkan dari nilai-nilai agama. Ia melihat bahwa ajaran agama, khususnya Islam, pada intinya adalah ajaran tentang penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam pandangan Gus Dur, membela hak-hak kemanusiaan adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan. Pernyataan beliau yang terkenal, “Tuhan tidak perlu dibela, yang perlu dibela adalah manusia yang tertindas,” mencerminkan keyakinannya bahwa agama harus menjadi pendorong kebaikan bersama, bukan alat pembenaran untuk diskriminasi atau kekerasan.

Humanisme Gus Dur meninggalkan jejak yang mendalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam era yang terus diwarnai dengan isu polarisasi, ujaran kebencian, dan diskriminasi, nilai-nilai humanisme yang diperjuangkan Gus Dur semakin relevan. Ia mengajarkan bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang harus dirawat bersama.

Warisan ini dapat dilanjutkan melalui pendidikan yang menanamkan nilai-nilai penghormatan terhadap perbedaan. Generasi muda perlu diajarkan untuk melihat kemanusiaan sebagai prioritas utama dalam kehidupan sosial. Dengan begitu, spirit humanisme Gus Dur dapat terus hidup dalam setiap tindakan dan keputusan kita sebagai masyarakat Indonesia.

Sebagai bapak humanisme, Gus Dur telah menunjukkan bahwa cinta kepada Tuhan harus diwujudkan dalam cinta kepada sesama manusia. Ia adalah teladan tentang bagaimana nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan solidaritas dapat menjadi fondasi bagi kehidupan yang harmonis di tengah keberagaman. Kini, tanggung jawab ada di tangan kita untuk menjaga dan melanjutkan warisan luhur tersebut.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Langkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Langkawi
Dosen UNISAI Samalanga, Kandidat Doktor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Alumni Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, dan Ketua Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru