31.7 C
Jakarta

Pluralisme dalam Islam, Mengapa Banyak yang Ngamuk Tak Setuju?

Artikel Trending

KhazanahOpiniPluralisme dalam Islam, Mengapa Banyak yang Ngamuk Tak Setuju?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Perkembangan pemikiran Islam di bidang teologi (theology of religion) terus bergerak maju mengikuti perkembangan zaman. Isu seputar pemikiran Islam cukup menarik kalangan intelektual muslim maupun non-muslim. Dalam dunia pemikiran Islam ditemukan banyak aliran pemikiran, dalam kontek ini bisa dikelompokkan menjadi dua tema besar.

Pertama Islam eksklusif, kedua Islam progresif. Kelompok Islam eksklusif dalam theology of religion memiliki pemahaman klaim kebenaran tunggal yang melahirkan sikap menyalahkan pendapat kelompok lain yang dianggap berbeda.

Islam progresif dalam theology of religion melahirkan pemahaman pluralisme. Dalam kelompok ini pemeluk agama dituntut untuk reflektif dan konstruktif dalam melihat perkembangan pemikiran Islam yang bergerak dinamis sesuai perkembangan zaman. Pemahaman pluralisme inilah di Indonesia masih banyak disalahpahami hingga hari ini. Pada satu dekade lalu pemahaman ini mampu mengusik dua pemikir besar yaitu Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid. Keterlibatan mereka menjadi embrio dalam mengembangkan pemahaman dan wawasan keagamaan di bidang pluralisme agama.

Pluralisme berasal dari kata pluralis yang berarti jamak, lebih dari satu, atau pluralizing, jumlah yang menunjukkan lebih dari satu. Sebetulnya pluralisme meliputi banyak hal namun dalam perkembanganya konotasi pluralisme sudah direduksi sebagai istilah keberagaman dalam keyakinan dan ekspresi-ekspresi keagamaan.

Untuk menyederhanakan, istilah pluralisme dapat dianalogikan seperti pembagian kekuasaan dalam pemerintahan yaitu eksekutif, yudikatis dan legislatif. Dalam pemerintahan kekuasaan tidak boleh didominasi satu golongan saja. Dalam menjalankan tugasnya mereka mengikuti aturan masing-masing dan tidak boleh dicampuradukkan.

Misalnya eksekutif tidak boleh menjalankan tugas legislative, begitu juga sebaliknya. Namun, dalam konteks kepentingan masyarakat mereka harus saling bekerja sama, misalnya menegakkan keadilan, mengentaskan kemiskinan, dan aktifitas sejenis yang berkaitan dengan humanisme.

Begitu juga dengan pluralisme, pendek kata pluralisme adalah mengakui hak-hak agama lain dan saling menghargai untuk menjaga persatuan, pluralisme bukan berarti mengakui kebenaran semua agama atau menyembah Tuhan diluar agama yang dianut.

Perbedaan Pluralisme dengan Multikulturalisme

Pluralisme sering bersanding dengan multikulturalisme, tidak mengherankan jika kedua istilah ini sering disalah pahami. Menurut M. Syaiful Rahman dalam jurnalnya yang berjudul Islam dan Pluralisme, ia mendefinisikan multikulturalisme sebagai kesejajaran budaya.

Setiap manusia atau etnis/suku memiliki budaya yang berbeda, maka dari itu setiap kebudayaan harus diposisikan setara sehingga tidak ada dominasi budaya dari sebagian manusia atau etnis tertentu. Lebih jauh lagi pemahaman multikulturalisme dapat mencegah diskriminasi terhadap suatu kelompok masyarakat.

Menurut Husein Muhammad, pluralisme menekankan pandangan dan sikap keberagaman, kemajemukan, menghargai perbedaan dalam dimensi keyakinan dan pandangan keagamaan. Sedangkan multikulturalisme menekankan keberagaman, kemajemukan, menghargai perbedaan dalam dimensi ekspresi budaya dan tradisi masyarakat.

Pluralisme adalah Keniscayaan

Sebagai manusia yang dikaruniai akal, kita dapat mengamati sekeliling kita. Untuk mempermudah, kita bisa mulai dengan pertanyaan sederhana, apa diri anda sama dengan saudara anda? Apakah tanaman cabai yang sekilas terlihat sama benar benar tidak ada perbedaan? Apakah warna kulit anda sama dengan warna kulit teman-teman anda? Bagaimana semua perbedaan ini tercipta?

Akan ditemukan jawaban yang beragam atas pertanyaan sederhana diatas, namun dari sekian pertanyaan tersebut sudah dapat ditarik benang merahnya yaitu setiap ciptaan Tuhan selalu memiliki perbedaan. Bahkan pada anak yang terlahir kembar pasti ditemukan perbedaan. Artinya tanpa teori dan metodologi penelitian yang berat, logika berfikir kita bisa membaca dan menemukan kenyataan bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Dalam konteks theology of religion pluralisme juga merupakan keniscayaan.

Jika dalam aspek sederhana sudah ditemukan perbedaan sudah pasti dalam hal yang lebih besar juga ditemukan perbedaan. Misalnya perilaku manusia, kebudayaan, cara setiap individu memahami suatu peristiwa, cara beragama, pilihan untuk memeluk suatu agama dan lain sebagainya.

Dalam bahasa agama pluralisme merupakan sunnatullah. Dengan kata lain pluralisme adalah kehendak-Nya. Allah swt menegaskan hal tersebut dalam (QS. Ar-Ruum [30]: 22) yang artinya;

“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain lainan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Ruum [30]: 22)

Pluralisme dalam Islam

Seperti yang sudah dijelaskan diatas pluralisme merupakan keberagaman, kemajemukan, kebebasan, dalam kerangka keyakinan dan ekspresi beragama. Pertanyaan kemudian muncul adalah, bagaimana Islam memandang pluralisme?

Sebetulnya sudah banyak tokoh yang menjawab pertanyaan tersebut seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid. Disini perlu dipertegas bahwa pluralisme sejalan dengan Islam. Kerangka dasar yang digunakan dalam membangun argumentasi ini adalah Q.S. al-Hujarat [49]: 13 yang artinya;

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

“Hai, Manusia. Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukiu-suku, supaya kamu saling kenal mengenak. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujarat [49]: 13)

Pernyataan ini dipertegas kembali oleh Nabi Muhammad Saw yakni;

“Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, kecuali karena ketakwaanya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Berangkat dari dua landasan normatif tersebbut dapat disimpulkan bahwa menuruit Islam, semua makhluk Tuhan adalah setara meskipun berbeda beda dalam banyak aspek. Karena pada dasarnya dihadapan Allah SWT semua sama dan hanya dibedakan berdasarkan ketakwaanya.

Sedangkan takwa dalam pengertin ini bukan semata mata memuat dimensi spiritual namun memuat dimensi sosial seperti terlibat dalam kerja-kerja sosial, menegakkan keadilan, mengentaskan kemiskinan, menghargai orang lain dan kerja kerja kemanusiaan lainya.

Tuhan Menghormati Hamba

Seperti yang banyak diketahui bersama, dalam Islam manusia diposisikan sebagai makhluk terhormat. Hal itu lantaran di dalam diri manusia terdapat akal intelektual dan akal budi. Dengan keunggulan itulah manusia diberi tanggung jawab untuk mengatur, mengelola, dan menjaga peradaban di bumi, dalam bahasa agama tugas ini dikemas sebagai khalifatu fil ardh.

Keistimewaan akal manusia ini pernah ditegaskan oleh Nabi Mumahhad Saw sebagai berikut;

“Ciptaan pertama Tuhan adalah akal”. (HR. Abu Dawud).

Syihabuddin Abul Fath Muhammad al-Asybih juga mengungkapkan hal senada, bahwa akal merupakan keistimewaan. Akal adalah pusat (jawhar) yang bersinar di dalam otak (dimagh). Akal inilah yang menjadi cahaya dalam hati sehingga manusia mambu membedakan mana yang benar dan yang salah.

JIka kita renungi, boleh dikatakan bahwa Tuhan saja menghormati hambanya tanpa membedekan latar belakang ras, suku, agama dan lain-lain. Bukti bahwa Tuhan menghormati hambanya yaitu Tuhan menciptakan akal untuk seluruh manusia. Bukti kedua bahwa Tuhan menghormati manusia dapat kita temukan dalam (QS. Al-Israa`[17]: 70) yaitu “Wa laqad karramna bani Adam” (Kami sungguh sungguh memuliakan anak cucu adam).

Darisini kita dapat membangun argumentasi bahwa pluralisme memiliki nafas yang sama dengan semangat ajaran Islam untuk memuliakan, menghargai dan menghormati manusia tanpa membedakan latar belakang yang dimiliki sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Tuhan sendiri.

Pluralisme bukan Sinkretisme

Sinkretisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti paham (aliran) baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya, misalnya upacaya syiwa Buddha yang merupakan penggabungan agama Buddha dan Hindu. Pendek kata, sinkretisme merupakan penggabungan dua kepercayaan (agama) menjadi satu paham baru yang diyakini.

Sebagian masyarakat masih mendefinisikan pluralisme sama dengan mengakui kebenaran agama agama lain. Dengan kata lain pluralisme sering disamakan dengan sinkretisme. Padahal keduanya jelas jelas berbeda, pluralisme adalah mengakui eksistensi agama lain di muka bumi.

Nurcholis Madjid mendefinisikan pluralisme sebagai sikap untuk mengakui hak-hak agama lain. Pandangan ini mendorong kedamaian hidup bermasyakarat sehingga mendorong terbentuknya masyarakat majemuk. Sejatinya eksistensi agama-agama diluar Islam merupakan kuasa Tuhan, bahkan sengaja dihidupkan oleh Tuhan. dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam al-Qur`an yang artinya;

“Dan, sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibdah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. al-Hajj [22]: 40).

Akhir kata yang saya maksud dengan legitimasi Islam terhadap pluralisme adalah penegasan bahwa pluralisme sejalan dengan nilai nilai ajaran Islam untuk melakukan penghormatan dan bersikap toleran terhadap orang yang berbeda agama.

Pluralisme bukan berarti mengikuti agama orang lain yang berbeda namun menghormati orangnya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia, sebagaimana telah dicontohkan oleh Allah SWT sendiri yang menghormati para hamba dalam bentuk diberikanya akal intelektual dan akal budi. Sikap dan pemahaman ini harusk kita pahami secara utuh agar tidak ada diskriminasi terhadap agama minoritas demi terjaganya kesatuan NKRI.

Jadi, mengapa banyak yang ngamuk jika Islam sendiri mengafirmasi pluralisme?

Nur Khafi Udin
Nur Khafi Udin
Mahasiswa Hukum Keluarga di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Aktif menulis di beberapa media online dan LPM. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru