Harakatuna.com – Akhir-akhir ini, banyak fenomena gerakan sosial berskala besar yang sarat dengan muatan politis. Salah satu yang mencuat adalah gerakan bela Palestina, yang berlangsung di berbagai kota besar pada Februari 2025. Secara moral, gerakan tersebut merupakan aksi mulia dan suci, karena membela Palestina berarti membela kemanusiaan. Namun, militansi yang tumbuh seharusnya diarahkan pada visi yang lebih besar, bukan sekadar militansi antarkelompok.
Masalah yang perlu diwaspadai adalah ketika gerakan yang mulia itu disusupi narasi yang menggoyahkan ideologi negara, khususnya Indonesia. Misalnya, munculnya propaganda yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan khilafah lebih baik dibandingkan demokrasi.
Beberapa hari yang lalu, penulis membaca sebuah narasi yang disampaikan melalui portal media sosial Muslimahnews.net dengan judul “Sistem Pemerintahan Khilafah Memang Menakjubkan!” yang dipublikasikan pada 14 Desember 2024. Setelah melakukan analisis mendalam, penulis menemukan banyak unsur agitasi dan propaganda dalam artikel tersebut, yang bertujuan menggiring opini publik ke arah ideologi ekstrem berbasis sistem khilafah. Beberapa narasi yang dibangun dalam tulisan tersebut antara lain: khilafah adalah sejarah Islam, khilafah adalah ajaran Islam, dan khilafah merupakan sistem pemerintahan terbaik.
Hal itu mendorong penulis untuk merenung: apakah benar sistem khilafah adalah sistem pemerintahan terbaik? Apakah khilafah lebih baik dibandingkan demokrasi? Dalam upaya mencari jawaban, penulis menelusuri khazanah keislaman melalui proses pembacaan yang lebih mendalam. Hal yang sering dilupakan oleh kelompok Islam berpaham ekstrem adalah bahwa Nabi Muhammad juga mengajarkan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah, yang merupakan bentuk kesepakatan bersama dalam membangun tatanan masyarakat yang harmonis.
Ketika mendengar istilah Piagam Madinah, yang pertama kali terlintas dalam benak kita adalah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Kota Madinah. Saat itu, masyarakat Madinah sangat beragam, baik dari segi suku maupun agama. Oleh karena itu, diperlukan suatu konsep kesepakatan bersama yang dapat mengakomodasi keberagaman tersebut.
Singkatnya, melihat kondisi sosial dan politik di Madinah—yang dipenuhi dengan berbagai golongan dan konflik antarkelompok—Nabi Muhammad SAW menciptakan sebuah peraturan yang bertujuan untuk:
- Memelihara perdamaian dan kerja sama antarmasyarakat,
- Melindungi kehidupan dan harta penduduk Madinah,
- Melawan ketidakadilan tanpa memandang suku dan agama, serta
- Menjamin kebebasan beragama dan melakukan pembaruan sosial.
Peraturan itulah yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah.
Jika ditelusuri lebih dalam, Piagam Madinah tidak hadir begitu saja tanpa sebab. Segala sesuatu pasti memiliki sebab dan akibat, begitu pula dengan lahirnya Piagam Madinah. Dokumen tersebut mampu mengubah cara pandang masyarakat dalam kehidupan sosial dan beragama. Meski telah berusia sangat tua, Piagam Madinah memiliki “kesaktian” yang terus terpancar melalui setiap pasalnya. Piagam itu telah mendamaikan kelompok yang bertikai, lalu mengikat berbagai suku-golongan masyarakat Madinah dalam sebuah perjanjian bersama berasaskan keadilan dan persatuan.
Piagam Madinah: Tonggak Berbangsa-Bernegara
Melihat banyaknya konflik yang terjadi di Madinah, Nabi Muhammad SAW hadir dengan membawa solusi melalui pendekatan dialog dan musyawarah bersama seluruh warga Madinah. Sebagai seorang nabi sekaligus pemimpin umat Islam, beliau memiliki legitimasi yang sangat kuat, baik dari sisi teologi maupun kepemimpinan. Dengan kekuatan tersebut, seharusnya beliau bisa mengambil keputusan secara mandiri. Namun, yang ditunjukkan justru sebaliknya—beliau memilih untuk membangun komunikasi dengan berbagai golongan yang ada di Madinah, meskipun masing-masing memiliki ego dan kepentingan yang berbeda.
Setelah melalui proses diskusi yang panjang, akhirnya lahirlah sebuah kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah. Dokumen itu menjadi konstitusi modern pertama di dunia, yang disusun melalui perundingan antara Rasulullah SAW dengan berbagai komunitas dan golongan yang ada di Madinah. Mereka yang terlibat dalam penyusunan piagam terdiri dari kaum Muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah, kaum mukmin, kaum Muslimin dan mukmin warga Yatsrib, kaum Yahudi, serta berbagai golongan bani lainnya.
Piagam Madinah menjadi bukti nyata betapa cerdasnya Rasulullah SAW sebagai seorang pemimpin, negarawan, dan legislator. Kebijakan yang dibuat bukan saja bertujuan untuk mendamaikan berbagai kelompok yang sebelumnya berselisih, tetapi juga menciptakan sebuah produk hukum yang mampu mengatur kehidupan masyarakat secara adil dan menjamin kesejahteraan seluruh warga Madinah.
Piagam Madinah terdiri dari sepuluh bagian utama, di luar mukadimahnya. Bagian pertama membahas tentang pembentukan ummah, yang menegaskan pentingnya persatuan bangsa dalam satu kesatuan sosial. Bagian kedua berisi sembilan pasal yang mengatur hak asasi manusia, mencakup berbagai golongan seperti kaum Muhajirin dari Quraisy dan beberapa Bani lainnya, yang keseluruhannya berjumlah sekitar tiga belas golongan.
Selanjutnya, bagian ketiga memuat lima pasal yang mengatur persatuan dalam beragama, menegaskan bahwa setiap pemeluk agama di Madinah memiliki hak dan keadilan yang sama, terutama dalam menjalankan keyakinannya. Bagian keempat menitikberatkan pada persatuan segenap warga negara melalui delapan pasal yang mengatur kewajiban menjaga persatuan di Madinah. Bagian kelima berisi dua belas pasal yang mengatur keperpihakan terhadap golongan minoritas, salah satunya menegaskan bahwa kaum Yahudi dan kaum beriman harus bersama-sama memikul biaya selama negara dalam keadaan perang.
Bagian keenam mengatur tugas warga negara dalam tiga pasal yang menetapkan kewajiban mereka terhadap negara. Bagian ketujuh menyoroti aspek perlindungan terhadap negara melalui tiga pasal yang menegaskan pentingnya keamanan Madinah, termasuk pengaturan keamanan di Kota Yastrib, ibu kota negara, serta perlindungan terhadap kaum perempuan. Sementara itu, bagian kedelapan membahas kepemimpinan negara dalam tiga pasal, salah satunya menegaskan bahwa jika terjadi perselisihan di antara peserta Piagam, maka penyelesaiannya harus dilakukan berdasarkan hukum agama.
Bagian kesembilan memuat dua pasal yang berfokus pada politik perdamaian, termasuk ajakan dan perjanjian damai sebagai bagian dari tatanan sosial Madinah. Akhirnya, bagian kesepuluh atau penutup terdiri dari satu pasal yang menegaskan bahwa Piagam Madinah tidak boleh disalahgunakan untuk melindungi orang yang bersalah, serta bahwa setiap warga negara harus mematuhi isi piagam tersebut dengan sebaik-baiknya.
Beberapa tokoh dari Barat, seperti HAR. Gibb, W. Montgomery Watt, Muhammad Marmaduke Pickthall, serta Muhammad Kaulan Karima dan rekan-rekannya, menyatakan bahwa Piagam Madinah merupakan hasil pemikiran yang luar biasa cerdas dari Nabi Muhammad SAW. Para sarjana juga mengakui bahwa tindakan Nabi Muhammad SAW dalam mewujudkan perdamaian di Madinah melalui Piagam Madinah menjadi salah satu bukti konkret dalam sejarah politik umat manusia, yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip toleransi dan keadilan sosial.
Piagam Madinah sebagai Fondasi Toleransi
Piagam Madinah mengandung enam asas utama yang menjadi dasar toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Asas-asas tersebut meliputi al-ikha’ (persaudaraan), al-tasamuh (toleransi), al-musawah (persamaan), al-‘adalah (keadilan), al-ta’awun (tolong-menolong), dan al-tasyawur (musyawarah). Nilai-nilai tersebut jadi pedoman dalam menjaga harmoni di tengah keberagaman masyarakat Madinah yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya.
Lahirnya Piagam Madinah semakin mengukuhkan nama Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang visioner. Piagam itu bukan sekadar peraturan sosial, melainkan lompatan besar dalam sejarah peradaban, menjadikannya sebagai konstitusi pertama dalam pemerintahan Islam dan bahkan dunia. Tak heran jika berbagai negara kemudian menjadikan Piagam Madinah sebagai referensi dalam membangun tatanan sosial yang inklusif dan harmonis. Piagam itu jadi simbol toleransi dalam masyarakat multiagama dan multikultural.
Dalam refleksi panjang penulis, klaim bahwa sistem khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang sesuai dengan syariat Islam dan merupakan sistem terbaik dalam Islam perlu ditinjau ulang. Nabi SAW telah mengajarkan umatnya untuk bertoleransi, bermusyawarah, dan hidup berdampingan dalam keberagaman. Prinsip-prinsip tersebut sangat relevan dengan bangsa Indonesia, yang memiliki kemajemukan dalam suku, agama, dan budaya. Maka, menjaga kerukunan umat beragama merupakan tanggung jawab bersama, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Islam adalah agama rahmatan lil alamin, yang membawa kasih sayang bagi seluruh makhluk di alam semesta. Karena itu, semangat kebersamaan dan toleransi yang diajarkan melalui Piagam Madinah harus terus kita pelihara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq