26.2 C
Jakarta
Array

Petaka Radikalisasi Media

Artikel Trending

Petaka Radikalisasi Media
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Era digital memberikan kebebasan kepada banyak orang untuk mengakses dan berbagi informasi dalam beragam hal. Dari kebebasan itulah, yang tanpa disadari telah memberikan ruang kepada konten-konten negatif untuk tersebar ke segala lini kehidupan. Lewat beragam media—termasuk media sosial—yang telah tumbuh dengan jejaring internet, secara seksama telah meracuni banyak pikiran untuk melakukan tindakan yang tak memanusiakan. Penelitian Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia menyatakan bahwa media sosial secara nyata telah berkontribusi untuk mempercepat gerakan radikalisasi.

Tentu dengan kenyataan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa keberadaan media—khususnya media sosial—telah memberikan sumbangsih yang terasa kepada rekrutmen anggota begitupun propaganda berita. Selain itu, tanpa disadari pengaruh media juga terkadang digunakan dengan tidak semestinya. Tengoklah beragam konten-konten narasi buram, yang telah menimbulkan efek yang demikian. Lebih dari itu, ghibah (menggunjing) berjamaah di media sosial juga menjadi tren yang sangat mengkhawatirkan. Begitupun agenda namimah (adu domba) dan kejahatan lainnya juga tanpa sadar menyebabkan persaudaraan kerap kali tergulingkan.

Itulah mengapa, sarat makna demikian membuat pemerintah tak tinggal diam hingga pada bulan Mei lalu memblokir ribuan konten-konten buram. Tepatnya sebanyak 1.285 konten radikal telah diblokir pemerintah sebab menimbulkan bencana yang mengerikan. Terlepas dari konteks demikian, sesungguhnya perihal pemblokiran dari agenda yang diusung oleh pemerintah setidaknya memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab David Berlo mengklarifikasi dampak isi media menjadi tiga  bagian (Wiryanto, 2005).

Pertama, konten-konten yang tersebar apabila dibaca oleh segenap masyarakat akan berdampak pada idealitas yang kognitif. Dampak demikian secara seksama tentu saja akan berkaitan dengan pengetahuan, wawasan dan opini publik yang dimiliki setiap penerima informasi. Kedua, dampak yang memiliki sifat afektif. Artinya, dampak demikian memiliki hubungan yang sangat erat terhadap perasaan dan sikap yang akan diekspresikan tatkala mendapatkan informasi demikian. Dan yang terakhir adalah dampak yang berkaitan dengan perilaku yang akan dikerjakan setelah menerima beragam informasi.

Tentu melihat dampak isi media yang terpampang demikian, setidaknya kecerdasan masyarakat diuji untuk memilah dan memilih yang hak dan batil. Pun tentu kecerdasan masyarakat akan meningkat, ketika media secara bijak dikonstruksikan sebagai ruang kebenaran. Artinya, media secara jelas hanya menanyangkan kenyataan yang bersifat orisinil dan bernilai kebenaran. Namun sebaliknya, tentu dampak isi media akan menggurita, tatkala media hanya digunakan sebagai isu propaganda dan industri komersil semata. Maka dengan melihat fakta yang demikian, penting bagi masyarakat untuk mendapat pengarahan agar tak terjebak dalam opini-opini publik yang kian menyesatkan.

Literasi Media

Salah satu solusi yang kian mengemuka untuk menanggulangi problematika yang menggejala adalah dengan menerapkan literasi media. Sebab tingginya kebebasan mengakses informasi dari beragam media, tanpa sengaja telah memberi ruang pada konten-konten buram untuk masuk ke pemikiran banyak orang. Apalagi di tengah banjirnya gerakan media yang tumpang tindih telah menyematkan beragam informasi yang menyesatkan jelas akan merusak tatanan kemanusiaan. Karena itulah, literasi media diusung sebagai jalan penengah yang digagas untuk menyelamatkan para generasi digital dari ancaman paham bengkok yang tertanam dalam narasi buram.

Hoechsmann dan Poynts dalam buku “Masyarakat dan Teks Media; Membangun Nalar Kritis atas Hegemoni Media” mendefinisikan literasi media sebagai praktik yang menawarkan kapasitas atau kompetensi memanfaatkan media, baik memahaminya, memproduksinya, atau mengetahui perannya dalam masyarakat. Dari idealitas demikian, maka bisa diambil kesimpulan tentang kebutuhan masyarakat agar mampu memahami beragam informasi yang tersebar lewat media—khususnya media sosial. Sebab pemahaman itulah yang sejujurnya akan menjadi pedoman agar permainan media bisa dirasakan. Pun demikian, sesungguhnya ada beberapa instrumen yang bisa digunakan pedoman agar media tak menjadi bumerang yang mencampakkan.

Pertama, mampu memilah fakta dan opini secara bijak. Sebab tergerusnya masyarakat akibat tak bisa memilah dan memilih bergam informasi di media secara seksama telah menyuburkan radikalisasi berkembang biak di Indonesia. Pengambilan secara asal dengan mengatasnamakan suka pada informasi lewat gaya bahasa dan lain sebagainya juga menyebabkan kebiasaan berbagi sering meracuni banyak pihak. Karena itulah, pendewasaan bermedia lewat kesantunan atas pengetahuan fakta dan opini sebagaimana diajarkan dalam mapel Bahasa Indonesia saat SD dulu menjadi perihal penting guna menyelamatkan banyak orang.

Kedua, cakap dalam mengambil sumber informasi. Sumber informasi dalam kaitan pengambilan beragam narasi tentu menjadi landasan pokok yang harus disadari. Sebab kebenaran atau kedustaan dalam informasi tentu sangat menyinggung karakter atau sifat asli sang pembawa narasi. Itulah mengapa, dalam kaitannya pengambilan sebuah hadits, Islam sangat berhati-hati ketika merumuskan keshahihan, kemaudhu’an, dan kedhaifan sebuah hadits. Bahkan apabila kita jauh mempelajari ilmu hadits. Maka akan kita temui ilmu al-Jarh wa ta’dil, yang sumbangsih utama ilmu itu adalah mengatahui kebaikan dan kejelekan sang pembawa hadits.

Ketiga, bertabayyun (memperjelas) terhadap beragam informasi. Usaha terakhir untuk menelaah berita adalah dengan cek and ricek atas informasi yang didapatkan. Tabayyun, atau menelaah beragam informsi yang diterima adalah perihal penting yang harus diekseskusi para pembaca. Usaha yang ketiga ini secara implisit merupakan bentuk filterisasi atau penyariangan informasi atas beragam informsi yang masuk ke dalam pikiran. Nalar manusia secara fitrah tentu memiliki urgensi pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Namun, sarat untuk mengetahui pembeda demikian juga harus dilandasi dengan penyelidikan kebenaran yang dalam. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru