31.7 C
Jakarta

Peta Tafsir Al-Qur’an di Indonesia

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPeta Tafsir Al-Qur'an di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berabad-abad silam Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw., sebagai nabi penutup dan penyempurna para nabi sebelumnya. Al-Qur’an diturunkan memiliki tujuan pokok, yaitu menjadi petunjuk bagi semua manusia di jaga raya tanpa terkecuali. Allah menyebutkan dalam firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).

Al-Qur’an, sebagai kitab petunjuk, dipandang oleh para mufasir kontemporer sebagai kitab suci yang tidak lagi “dipahami” sebagai sesuatu yang mati, namun Al-Qur’an adalah kitab suci yang hidup. Al-Qur’an adalah kitab suci yang kemunculannya tidak lepas dari konteks kesejarahan umat Islam. Maka, dengan demikian, Al-Qur’an hendaknya ditafsirkan terus-menerus seiring perkembangan zaman agar pesan-pesan Al-Qur’an relevan dalam setiap situasi dan kondisi (shalih li kulli zaman wa makan). Abdullah Saeed menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah teks, dan seperti juga semua teks yang lain, ia membutuhkan penafsiran. Bahkan, upaya memahami Al-Qur’an secara sederhana pun hakikatnya adalah sebuah kegiatan penafsiran.

Berkaitan dengan masalah memahami dan menafsirkan Al-Qur’an banyak bermunculan para tokoh di bidang penafsiran Al-Qur’an, baik dari mufasir klasik hingga mufasir kontemporer yang berusaha menghidangkan penafsiran yang variatif dilengkapi dengan metodologi yang beragam dalam rangka menafsirkan Al-Qur’an. Pada zaman klasik muncul kitab-kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây al-Qur’ân karya Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (224-310 H) atau lebih di kenal dengan sebutan Tafsîr ath-Thabâry; kitab Tafsîr al-Kasysyâf an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fî Wujûh al-Ta’wîl karya Jarullah Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar az-Zamakhsyari (467-538 H); dan kitab Al-Tafsîr al-Kabîr atau lebih terkenal dengan nama Mafâtîh al-Ghaib.Tafsir ini ditulis oleh Muhammad ar-Razi Fahruddin  (544-604 H). Menurut M. Nurdin Zuhdi, beberapa kitab ini cenderung menggunakan pendekatan riwayah (bi al-ma’tsûr).

Pada zaman pertengahan muncul kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm karya Imaduddin Abu al-Fada’ Isma’il ibn Katsir (w. 774) atau lebih dikenal dengan nama Tafsîr Ibnu Katsîr. Diikuti kemudian dengan kitab Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân atau yang lebih populer dengan sebutan Tafsîr al-Mizân yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Husain Thabaththaba’i (w. 1982 H.). Tafsir ini, sebut Zuhdi, pertama kali dicetak dalam bahasa Arab yang terdiri dari 20 jilid. Kitab-kitab tafsir yang ditulis pada zaman pertengahan masih cenderung menggunakan pendekatan riwayah (bil ma’tsur).

Sementara, pada zaman modern lahirlah karya-karya tafsir yang dalam penulisannya sudah menggunakan seperangkat ilmu pengetahuan lain di luar Ulumul Qur’an. Di antaranya, kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm karya Muhammad Rasyid Ridha atau lebih dikenal dengan nama Tafsîr al-Manâr; dan kitab Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid Quthub.Di samping itu, ada juga tafsir-tafsir yang lebih progresif seperti tafsir yang ditulis A’isyah Abd. ar-Rahman bintu asy-Syathi dengan nama Al-Tafsîr al-Bayân li al-Qur’ân al-Karîm.

Beberapa kitab tafsir tersebut secara tidak langsung menunjukkan perkembangan tafsir dari waktu ke waktu, sehingga tidak dapat dimungkiri perkembangan ini menciptakan pergeseran metodologi, karakteristik hingga paradigma yang dibangun dalam karya tafsir yang dihidangkan. Dalam buku Pergeseran Epistimologi Tafsiri Abdul Mustaqim menyebutkan bahwa Al-Qur’an mengalami pergeseran paradigma dari masa ke masa.

BACA JUGA  Mengatasi Kemiskinan dengan Memiskinkan Koruptor atau Menaikkan Gaji Pejabat?

Pertama, era formatif yang berbasis pada nalar-nalar mitis. Era formatif ini menyentuh era klasik yang mana penafsiran Al-Qur’an pada era itu lebih banyak didominasi oleh model tafsîr bi al-ma’tsûr yang kental dengan nalar bayani. Berkaitan dengan Indonesia sendiri, era formatif ini berkisar abad ke-8 sampai abad ke-15. Pada era-era ini Indonesia belum menjadi negara yang penduduknya mayoritas muslim. Maka, dengan demikian, Indonesia belum melahirkan ulama-ulama besar yang ahli dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Islam pada era-era ini baru masuk ke Indonesia, sehingga para wali, penyebar Islam dari Timur Tengah, hanya mengajarkan nilai-nilai dasar Islam, yakni mengenai perintah dan larangan. Kajian Al-Qur’an yang terjadi pada era-era ini jelas berupa kajian yang masih dasar-dasar saja seperti cara membaca Al-Qur’an dan memahaminya secara harfiah. Pemahaman Al-Qur’an yang masih dasar merupakan pemahaman Al-Qur’an yang baru menyentuh taraf tekstual (harfiah).

Kedua, era afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis yang terjadi pada abad pertengahan. Era ini, menurut Abdul Mustaqim, memang berangkat dari ketidakpuasan kajian Al-Qur’an bi al-ma’tsûr yang terjadi pada abad klasik, karena gaya tafsir ini dipandang kurang memadai dan tidak memahami pesan-pesan Al-Qur’an secara mendalam.Sedangkan, untuk konteks Indonesia era pertengahan dalam kajian tafsir Al-Qur’an terjadi pada abad ke-16 sampai abad ke-18. Pada abad ini Indonesia mulai dikenal dengan dikenalkan dengan kitab tafsir yang diimpor dari Timur Tengah, seperti Tafsîr Jalâlain karya Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli. Bahkan, Islah Gusmian menambahkan, bahwa di Sumatera, terutama Aceh, pengajian Al-Qur’an berlangsung tampak cukup meyakinkan. Hal ini dibuktikan dengan naskah-naskah yang ditulis ulama Aceh pada abad ke-16 M yang mana naskah ini berupaya menafsirkan Al-Qur’an. Naskah ini berupa Tafsir Surah al-Kahfi [18]: 9, yang tidak diketahui penulisnya, diduga ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Satu abad kemudian, muncul juga karya tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis Abd ar-Rauf as-Sinkili (1615-1693 M) lengkap 30 juz.

Sedangkan, era yang ketiga adalah era reformatif yang berbasis pada nalar kritis. Era reformatif ini berkisar pada abad modern-kontemporer saat ini abad ke-20 sampai abd ke-21. Kajian tafsir pada era reformatif ini muncul disebabkan adanya kegelisahan sosial berupa banyaknya problem-problem aktual yang berkembang di masyarakat. Namun, problem-problem tersebut tidak mampu diselesaikan atas nama agama, karena produk tafsir yang dianggap kurang memberikan kontribusi yang nyata dalam memecahkan persoalan umat. Oleh sebab itu, para pemikir Islam modern-kontemporer mulai melakukan reformasi terhadap metodologi studi Islam, lebih-lebih terhadap metodologi dalam kajian Al-Qur’an. Maka, muncullah beberapa tasir modern-kontemporer dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu humaniora (hermeneutika).

Pada era modern-kontemporer ini tafsir-tafsir lokal di Indonesia mulai banyak bermunculan. Setelah munculnya tafsir Farsid al-Qur’ân abad ke-19, maka beberapa abad berikutnya lahir karya tafsir, antara lain, Tafsir al-Qur’an Karim Bahasa Indonesia karya Mahmud Yunus (1922), Tafsir al-Qur’an al-Nur karya Hasbi ash-Shiddieqy (1922), Tafsir al-Azhar karya Hamka (1958), Al-Qur’an dan Terjemahannya karya Departemen Agama RI (1970), Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia karya HB. Jassin (1997), dan Tafsir al-Mishbah yang ditulis M. Quraish Shihab.[] Shallallah ala Muhammad

[zombify_post]

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru