27.8 C
Jakarta
Array

Pesantren Salafi dan Ancaman Radikalisme

Artikel Trending

Pesantren Salafi dan Ancaman Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pesantren merupakan lembaga pendidikan keislaman yang sudah sangat tua di Indonesia. Menurut Martin Van Bruinessen (2007) dalam penelitiannya yang merujuk kepada dokumen catatan pemerintah kolonial Hindia Belanda menyebutkan, bahwa pada tahun 1831 M sudah ditemukan sebuah pesantren yang berlokasi di Tegalsari, Madiun-Ponorogo, Jawa Timur. Saat itu, salafi mungkin masih merupakan sesuatu yang asing.

Ada kemungkinan juga bahwa akar kesejarahan pesantren bisa lebih tua lagi dari dokumen yang dirujuk Bruinessen di atas. Banyak kalangan Nahdlatul Ulama’ meyakini bahwa asal-usul pesantren sudah ada sejak zaman Wali Songo. Mungkin karena keterbatasan dokumen kesejarahan yang lebih klasik, penelusuran sementara Bruinessen masih hanya sampai pada tahun 1831 M tersebut.

Pesantren tradisionalis yang hingga sampai saat ini masih menjadi bagian dalam pendidikan keislaman ala kaum NU tersebut memiliki karakteristik yang luwes dan terintegrasi dengan lingkungan masyarakat. Walaupun dalam pendidikan dan pengajaran dalam pesantren tersebut cukup ketat, akan tetapi ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitar pesantren terkenal luwes, tidak kaku.

Arus Narasi Nasionalisme

Ada kelakar yang populer dalam kalangan NU, yaitu “jika (fikih) bisa dibikin mudah, kenapa harus dipersulit”. Frasa yang populer tersebut menggambarkan cara berfikir dalam kalangan pesantren tradisionalis yang tidak serba mutlak-mutlakan dalam memahami segala sesuatu.

Pesantren tradisonalis mempunyai sumbangsih besar dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh besar dalam kalangan pesantren, KH. Wahid Hasyim menjadi salah seorang yang berkontribusi dalam merumuskan Pancasila dalam sidang BPUPKI bersama Bung Karno dan bapak pendiri bangsa lainnya.

Akan tetapi, pada kisaran tahun 1970an, muncul model baru pendidikan pesantren di Indonesia. Menurut Norhaidi Hasan (2007) dalam penelitiannya berjudul The Salafi Madrasas in Indonesia menjelaskan bahwa pesantren dengan corak baru di Indonesia ini dipengaruhi oleh organisasi transnasional dari Arab Saudi. Pesantren ini merupakan bagian dari upaya gerakan ekspansi salafi wahabi yang didukung oleh petro dolar hasil minyak Saudi. Upaya wahabisasi ini masuk ke Indonesia diperantarai oleh tokoh yang bernama Ja’far Umar Thalib.

Tokoh ini merupakan salah satu kunci dalam persebaran wahabisasi di Indonesia. Bahkan, selain menjadi tokoh kunci dalam pengembangan pesantren salafi di Indonesia, ia menjadi perantara bagi koneksi gerakan radikalisme di Timur Tengah dengan gerakan radikalisme Islam di Indonesia.

Asal mula interaksi kalangan Islam di Indonesia dengan gerakan wahabi salafi dan sekaligus menjadi titik awal masuknya pesantren model salafi adalah ketika kelompok alumni Masyumi yang dibredel oleh pemerintah orde baru Suharto. Saat itu, karena dilarang oleh negara untuk melakukan aktivitas politik, kemudian mereka terlibat dalam perang Afganistan melawan Uni Soviet.

Radikalisme Transnasional

Interaksi kelompok alumni Masyumi dengan Timur Tengah tersebutah yang kemudian memperkenalkannya dengan gerakan radikalisme transnasional. Kemudian setelah pulang ke Indonesia mereka dengan dibantu oleh gerakan salafi wahabi dari Arab Saudi untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan keislaman di Indonesia.

Bentuk nyata dari afiliasi kelompok Islam alumni Masyumi dengan Arab Saudi adalah didirikannya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada masa Orde Baru. Agenda lanjutan dari pembentukan pendidikan Islam di Indonesia yang bercorak wahabi tersebut adalah dengan didirikanlah Lembaga Pendidikan Islam Arab (LIPIA). LIPIA merupakan kampus di Jakarta yang mempromosikan ajaran-ajaran salafi wahabi di Indonesia.

Seiring dengan mulai banyak orang Islam yang kuliah di LIPIA, kemudian alumni-alumni LIPIA mulai ada yang melanjutkan pendidikan keislamannya di Arab Saudi. Di antara mereka ada yang berkuliah di King Saud University dan Ummul Qura’. Dari ajaran salafi wahabi yang mereka dapatkan dari kampus di Arab Saudi tersebutlah kemudian mulai menyebarkan ajaran salafi wahabi di Indonesia.

Sebagian dari mereka mulai ada yang mendirikan pesantren dengan kurikulum yang diadaptasi dari ajaran salafi wahabi Arab Saudi. Mereka mengajarkan pemikir-pemikir wahabi mereka. Mulai Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al Jauziyah hingga Bin Baz. Dari kegiatan pendidikan di pesantren salafi di Indonesia sangat terlihat mirip dengan model doktrinasi salafi wahabi di Arab Saudi.

Pesantren salafi mempunyai karakteristik yang eksklusif dari lingkungan sekitar pesantren. Pendidikan yang eksklusif tersebut berbeda dengan model pesantren tradisionalis dalam kalangan NU yang justru malah terlibat aktif berinteraksi dengan lingkungan di sekitar pesantren.

Salafi; Penyakit Lama

Masuknya pesantren salafi di Indonesia ternyata juga mempengaruhi dunia sosial politik Indonesia sejak masa reformasi tahun 1998 yang lalu. Karena karakteristik pendidikannya yang eksklusif tersebut membuat para keluaran pesantren salafi sangat tegang dalam menyikapi keberagaman yang ada di Indonesia. Para alumni pesantren salafi mempunyai kontribusi besar bagi kampanye menyalah-nyalahkan kelompok Islam yang berbeda dengan yang lainnya.

Bentuk kampanye pembid’ahan dan menyalahkan kelompok Islam yang berbeda dengan mereka. Ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh gerakan salafi di Arab Saudi. Upaya pembid’ahan dan kampanye negatif inilah kemudian berkembang jadi diskriminasi dan persekusi kepada kelompok minorotas Islam di Indonesia.

Pengaruh dari pesantren salafi yang paling ekstrem mempengaruhi situasi sosial dan politik Indonesia adalah banyak dari alumni pesantren salafi yang menjadi eksponen gerakan terorisme di Indoensia. Banyak muncul pelaku teror dari pesantren salafi ini disebabkan oleh pendidikan pesantren mereka yang eksklusif dan doktrin keislaman yang anti kebhinekaan.

Dengan demikian, masuknya pendidikan keislaman ala salafi wahabi di Indonesia ternyata malah tidak memberikan kontribusi positif bagi bangsa kita. Berbeda dengan pesantren tradisionalis ala NU yang memberikan kontribusi besar bagi kebangsaan kita. Malah justru pesantren salafi banyak menjadi eksponen kampanye kebencian dan gerakan terorisme di Indonesia. Masuknya pesantren tersebut di Indonesia malah memberikan ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.[]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru