Harakatuna.com – Sering diolok-olok sebagai kaum kolot, menutup mata terhadap realitas, bahkan sering dicap sebagai teroris. Ditambah peradaban yang kian bergerak dan arus pertemuan antar budaya tak terelakan lantas bagaimana pesantren yang notabene identik dengan ketradisionalan merespon hal tersebut. Terlebih pada hal pendidikan dan ideologi yang terus melakukan pembaruan dan berusaha masuk pada bangsa-bangsa dunia ketiga seperti Indonesia.
Menghargai warisan para leluhur, para pejuang, dan para ulama merupakan suatu karakteristik mendasar bagi pesantren yang tentunya sangat begitu menghargai jasa-jasa para pendahulunya. Cermin kebijaksanaan tersebut digunakan pula untuk meneropong masa depan yang nampak cerah.
Bagaimana tidak, segenap usaha tersebut dapat mengelaborasi segenap pengalaman bersama bangsa ini serta memilih dan memilah budaya-budaya yang belum tentu sesuai dengan corak bangsa kita ini yang arusnya saat ini tak dapat terbendung oleh siapapun.
Selain itu, sikap memiliki atas tradisi bangsa kita ini terus dipelihara, dimakmurkan dan dikembangkan oleh kaum sarungan tersebut. Menilik masa lalu, dalam tradisi tulis menulis, tepatnya kesusastraan, tradisi tersebut dapat dipelihara, karya-karya diabadikan, disebarluaskan melalui huruf yang bahkan pemilik aksaa tersebut yakni orang arab tak mengetahuinya, yakni melalui Arab Pegon.
Hal itu menandakan bahwa pesantren membawa identitas kultural yang khas, tidak copy-paste terhadap budaya manapun. Pada kurun abad 17-18 M, pesantren menjadi suatu tempat bagi para sastrawan untuk menghasilkan karya-karya besarnya. Banyak sekali karya sastra yang lahir pada zaman tersebut.
Sebut saja sastrawan cum pujangga keraton seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsito yang merupakan santri-santri pesantren yang banyak melahirkan manuskrip-manuskrip berbobot dengan berbagai bentuk seperti kakawin, serat dan babad.
Sastra pesantren tidak hanya menyimpan tulisan yang mendayu dan indah bila diucapkan, namun juga menyimpan makna yang mendalam bagi keagamaan pesantren yang sesuai dengan cita-cita sosial.
Sikap etika atau akhlak juga menjadi suatu nilai mutlak bagi karakteristik bangsa kita ini. Perihal tersebut juga terinternalisasi dalam berbagai karya sastra pesantren. Peran pesantren dalam dunia sastra pun tidak dapat dipungkiri.
Mengingat berbagai nama penyair tersohor di negeri ini berasal dari kaum santri, seperti Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Gus Mus dan lain sebagainya. Belakangan juga muncul novelis seperti Abidah el-Khaliqiy dan kawan-kawannya yang juga berkiprah di dunia kesusastraan Indonesia.
Maka dari itu, kiprah luar biasa dari pesantren yang menjadi arus utama kesusastraan Nusantara juga berpengaruh dalam pengembangan bahasa Nusantara melalui khazanah kosa-kata dan istilah yang berkosmologi pesantren.
Dengan itu, identitas ke-Nusantaraan atau ke-Indonesiaan yang dikiprahkan oleh pesantren begitu kuat dan harus diakui.
Pesantren memperlakukan anak didiknya dalam segenap totalitasnya, dari segi fisik, batin, individu, sosial, dalam hidup privat, pembentukan pribadi yang utuh, dalam hidup dan pergaulan bermasyarakat dan berbangsa hingga persiapan untuk hidup di akhirat kelak, yang semuanya disesuaikan dengan segenap kebutuhan bangsanya ini.
Hubungan dialogis antara guru dan murid di pesantren pun berbeda dengan sekolah formal yang ada pada saat ini. Hubungannya pun sangat erat. Tidak hanya diajarkan ketrampilan namun juga kepribadian.
Soetomo pun yang pernah nyantri di sebuah pesantren di Surabaya, menganggap pesantren sebagai wahana penggemblengan rakyat dan pembangunan mental populisme-kebangsaan.
Sang Guru atau lazim dikenal dengan Kiai mengawasi para murid (santri) selama 24 jam penuh. Sehingga makna pendidikan begitu terinternalisasi dan diimplementasikan. Istilah desa-kala-patra atau penyesuaian terhadap waktu dan tempat begitu menancap dan dijiwai oleh para santri. Hal tersebutlah yang membuat para santri nantinya tidak menjadi kagetan dan pongah terhadap realitas.
Sistem kepatuhan terhadap sang guru pun sangat kental menjiwa seorang murid. Sendhiko dawuh merupakan sikap yang terus dipegang erat oleh para murid. Dalam relasinya, sang murid harus patuh terhadap segala perintah dari sang guru.
Kerap kali pesantren tradisional yang dituduh sebagai lembaga pendidikan tertutup dan menolak ilmu-ilmu umum, namun apakah benar demikian. Sangat wajar bila ujar-ujar tersebut dilontarkan oleh orang yang sama sekali tidak tahu tentang pesantren. Padahal, dalam pesantren walaupun tidak mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti di sekolah formal namun beban materi yang dipelajari pun tidak jauh berbeda dari ilmu-ilmu umum.
Apalagi dengan penguasaan bahasa Arab yang begitu mahir para santri dapat menjelajah khazanah intelektual jagad raya lebih luas ketimbang murid-murid yang tidak menempuh pendidikan pesantren.
Kita mengetahui pula, peran pesantren dalam mengusir para penjajah. Terbukti dari peristiwa heroik resolusi jihad yang dinakhodai KH. Hasyim Ashari yang menginstruksikan seluruh santri seantero Nusantara untuk berjihad membela tanah air. Alhasil kemerdekaan diperjuangkan secara penuh totalitas oleh para santri dan kiai.
Dengan sistem demikian, sistem pendidikan yang berporos kepatuhan penuh totalitas akan sangat mudah dalam mengoordinir para santri dari seluruh penjuru Nusantara serta kukuh pada identitas bangsa dan berpegang erat pada mimpi-mimpi bangsa yang tentunya berjiwa kemanusiaan dan ketuhanan.