29.9 C
Jakarta

Pesantren Kehidupan Diva (Bagian XXVI)

Artikel Trending

KhazanahOpiniPesantren Kehidupan Diva (Bagian XXVI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Selamat datang seorang pembicara yang tulisannya baru nongol di tingkat nasional! Diva Rizka Maulia.” Seorang moderator mempersilakan Diva naik ke atas panggung.

Sore itu sehabis jamaah Ashar, Diva diminta oleh Pesantren Annuqayah untuk menjadi pembicara pada acara seminar motivasi di sebuah aula pesantren. Audiens duduk bak lautan. Yang hadir tak hanya santri putri, tapi juga santri putra. Baru kali ini Diva berdiri di depan santri putra. Semangat Diva berapi-api, apalagi harapan dalam hati terdalam hadir sosok Fairuz.

Diva memulainya dengan salam kemudian menyapa penonton. Suara bergemuruh menyesaki ruangan. Semua mata menyorot sosok Diva. Siapa pun pasti tak mau melepas pandangannya. Siapa pun membenarkan. Diva sosok yang menarik, pintar, dan hafidzah tiga puluh juz Al-Qur’an. Banyak yang berkeinginan kenal dekat dengan Diva, tapi sebagian santri yang berharap itu merasa keder duluan, takut ditolak sehingga berujung patah hati.

Santri yang nakal bersuit-suit tiada henti. Begitulah kehidupan pesantren. Diva tidak menghiraukan dan tetap fokus sebagai pembicara. “Aku bukan orang hebat. Tidak seperti kalian yang sudah bertahun-tahun belajar di pesantren. Aku baru beberapa bulan.” Diva bersikap rendah hati di depan para audiens yang fokus mendengarkan. Suara Diva lantang menyesaki ruangan.

“Aku belajar di pesantren dengan modal ketekunan dan kesabaran. Orang pintar yang tidak tekun akan dikalahkan oleh orang bodoh yang tekun. Aku termasuk orang yang tidak begitu pintar. Aku hanya punya bekal ketekunan.”

Terjeda sebentar. Diteguk air gelas di atas meja. Kemudian ceritanya dilanjutkan, sehingga penonton semakin termotivasi.

“Aku terlahir dari orangtua yang belajar dari nol. Awal-awal dahulu, Abah dan Ummi hidup terlunta-lunta. Hampir setiap malam Abah dan Ummi menyisihkan waktu shalat Tahajud untuk memohon kepada Allah agar dipermudah segala impiannya, termasuk yang diimpikan anak-anaknya. Di siang hari Abah dan Ummi fokus bekerja, berdagang sana-sani. Sehingga, makin kedepan rezeki orangtua makin membaik. Dan, alhamdulillah sekarang Abah dan Ummi tidak kerepotan untuk banting tulang kembali.”

Suara nakal santri tidak terdengar kembali. Seketika suasana jadi sunyi, seakan mereka dibawa tenggelam dalam cerita Diva yang mengharukan.

“Abah dan Ummi mengajari Diva banyak hal. Kata Abah, hasil tidak membohongi proses. Keberhasilan hanya menghampiri orang yang menjemput, bukan menunggu. Bahkan, Ummi berpesan : ‘Masa depanmu, Nak, ada di tanganmu sendiri. Ummi dan Abah hanya mensupport, tapi kalau kamu tidak memulai, masa depanmu tidak akan terwujud’.”

BACA JUGA  Ini Kriteria Profetik Calon Pemimpin yang Wajib Diketahui

Pesan-pesan Abah dan Ummi masih kuat dalam ingatan Diva, sehingga setiap waktu pesan bijaksana itu terus menginspirasi Diva untuk terus belajar.

“Sahabat santri,” ucapnya, “bermimpilah untuk hidupmu. Aku masih mengingat pesan novelis Andrea Hirata: Bermimpi dan berdoalah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu itu. Betapa indahnya mimpi sampai Tuhan ikut berperan menjaga mimpi itu. Bahkan, dalam buku Sang Alkemis Paulo Coelho menulis: Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.

Diva mengakhiri presentasi yang panjang lebar, sehingga semangat yang mati bangkit kembali. Seorang moderator mengulas sekilas dari apa yang disampaikan Diva tadi. Kemudian mempersilakan kepada para audiens untuk menyampaikan sekelumit pertanyaan. Seorang santri berpeci hitam mengajungkan tangan. Dipersilakan untuk bertanya dan menyebut namanya. Dia Faried Muhammad. Banyak santri memanggilnya Kang Madrid, karena penggemar sepak bola Real Madrid. Setiap ada pertandingan Real Madrid, Kang Madrid selalu melanggar keluar pesantren sekedar nonton di tetangga terdekat. Anehnya, dia selalu selamat dari geledahan pengurus pesantren.

“Ukhti Diva yang keren,” goda Kang Madrid dan di-cie-cie-in oleh para santri yang lain, “Bagaimana cara membingkai mimpi yang hanya terbayang di angan-angan?”

Pertanyaan ini terkesan menarik. Kadang orang punya keinginan yang banyak, tapi kadang seiring pergantian waktu, mimpi itu jadi hilang dan terlupakan.

Diva menjelaskan, “Tulislah. Tulis di mana saja, termasuk di kertas yang udah kusut. Karena, yang terjadi adalah yang tertulis. Maka, tulislah mimpi itu. Sebelum belajar di pesantren aku tidak punya bakat menulis. Sukanya hanya membaca. Tapi, pas sampai di sini aku kenal dengan Kak Nadia. Dia guru pertamaku. Kemudian diperkenalkan dengan pesantren ini yang mengajarkan dunia menulis. Akhirnya, aku jatuh cinta untuk menulis sehingga jadilah impian terindah jika aku jadi penulis sehebat M. Quraish Shihab yang diimpikan Abah, maka aku tulis impian itu, aku masih ingat saat aku menulis mimpi itu, aku belum bisa apa-apa. Okey, that’s it.

Banyak pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Dijawablah dengan pengalaman Diva sendiri sehingga para penanya terinspirasi dari cerita yang sederhana. Berakhirlah acara seminar. Banyak yang meminta tanda tangan tak ubahnya artis yang baru naik daun.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru