28.9 C
Jakarta

Pesan Demokrasi terhadap Demonstrasi Irak dan Lebanon

Artikel Trending

AkhbarInternasionalPesan Demokrasi terhadap Demonstrasi Irak dan Lebanon
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kini, perkembangan demonstrasi di dua negara, yaitu, Irak dan Lebanon semakin hari semakin masif. Di tengah kekhawatiran berlanjutnya kekerasan. Masyarakat sipil (civil society), kaum milenial, mahasiswa, dan siswa-siswi sekolah menengah pun turun dalam aksi unjuk rasa anti-pemerintah tersebut. Hal ini dilakukan, karena mereka menghendaki perlunya reformasi politik terhadap sistem demokrasi. Yang tidak mampu memberikan rasa keadilan, kesetaraan bagi semua kalangan, ras, dan kelompok, serta agama.

Dalam pantauan penulis, di media al-Jazeera.net, selama tiga minggu terakhir jumlah demonstran di Irak. Yang meninggal itu berjumlah 13 orang, serta ratusan warga yang terluka akibat serangan gas air mata. Demo anti-pemerintah di Irak ini semakin menyebar hingga 10 provinsi, termasuk ke wilayah Baghdad. Jika demo ini tidak direspon cepat oleh pemerintah, maka impact yang muncul semakin membahayakan negara itu sendiri.

Kemelut Demokrasi Irak dan Lebanon

Ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja para pejabat ini yang memicu sebab demokrasi Irak menjadi memburuk. Bagaimana tidak, rakyat sudah merasa muak dengan maraknya korupsi. Ditambah lagi, pelayanan publik yang amburadul, dan pengangguran terus terjadi di mana-mana. Seluruh komponen masyarakat, khususnya kaum milenial nampaknya sudah kehabisan darah kesabaran dalam menyaksikan kinerja para elite yang egois. Tanpa memperhatikan nasib generasi bangsanya di masa mendatang.

Ihwal yang mengkhawatirkan kita bersama dalam demo Irak ini, adalah ditakutkan adanya oknum yang tidak bertanggung jawab. Terutama yang ingin meregangkan hubungan antara Sunni dan Syi’ah. Oleh karena itu, pemerintah harus ekstra waspada jika ada pihak yang kerap menyinggug narasi negatif tentang komunitas Sunni dan Syi’ah. Sebab itu, selama ini, hubungan antar dua komunitas tersebut sangat baik dan bersaudara.

Sedangkan di Lebanon, puluhan ribu demonstran memadati ibu kota negara, yaitu Beirut. Para demonstran yang berlangsung sejak awal Oktober lalu itu, nampaknya semakin berkepanjangan dan sangat sulit diprediksi kapan berakhirnya? Mereka menginginkan perubahan terhadap sistem politik di negaranya. Karena, selama ini, sistem yang dianut telah menyebabkan Lebanon terperosok pada kondisi krisis ekonomi. Yaitu, krisis yang pernah singgah di negeri kita Indonesia pada tahun 98-an.

Di samping itu, kedatangan ratusan ribu pengungsi Suriah di Lebanon. Sungguh menjadikan politik dan ekonomi di sana semakin berat. Alhasil, suara para demonstran yang semakin hari semakin jadi tersebut berhasil menurunkan Perdana Menterinya, yaitu Saad al-Hariri dari kursi eksekutif. Ia turun dari jabatannya dengan dalih menghargai keinginan saudara-saudaranya setanah air, terutama desakan dari masyarakat sipil.

BACA JUGA  Polisi Italia Tangkap Terduga Teroris ISIS di Bandara Roma

Namun, meski Saad sudah turut mundur dari jabatan eksekutif. Para demonstran tetap antusias turun memadati kota-kota besar di Lebanon. Karena itu, substansi tuntutan demontran selama ini bukan hanya pergantian Perdana Menteri. Melainkan adalah perubahan sistem yang mampu merespon aspirasi warga yang sekarang dianggap belum terpenuhi.

Padahal, dari sisi politik kekuasaan, Lebanon dibagi secara merata dengan model; Perdana Menteri dipegang oleh Sunni. Sedangkan, presidennya dipegang langsung oleh Kristen Maronite, dan parlemen oleh Syi’ah. Uniknya, di awal pembentukan, sistem politik seperti ini mampu meredam konflik antar suku dan agama yang dahulu pernah mengalami perang sipil Lebanon. Namun, dalam tenggang waktu yang bersamaan. Para demonstran memandang sistem ini tidak mampu memenuhi problem riil yang dihadapi oleh warga Lebanon.

Menata Ulang Model Demokrasi

Selain memerlukan penataan ulang atas kecacatan demokrasi Irak dan Lebanon. Juga, ketidakmampuan pejabat sekarang ini terlihat dalam menjalankan demokrasi yang tidak berjalan normal sesuai aspirasi masyarakat. Kini, terbukti demokrasi saat ini tidak mampu mewujudkan keadilan, dan kehidupan masyarakat yang lebih makmur. Bahkan, para elit negara pun menikmati kursi singgasana kekuasaanya yang semakin hari semakin menjauh dari lapisan warganya. Dengan begitu, pantaslah rakyat bergejolak.

Setiap demokrasi mengajarkan kita agar seluruh warga negaranya memiliki mendapatkan hak kesetaraan dalam pengambilan putusan yang dapat mengubah nasib mereka. Sebab, jalan yang selalu ditempuh adalah mereka yang sudah bosan dengan janji-janji manis yang disampaikan saat kampanye. Lalu demikian, lupa ketika terpilih. Hal seperti ini mungkin hampir terjadi di setiap negara, termasuk di Indonesia. Seolah-olah bagaikan kacang yang lupa pada kulitnya.

Kelompok-kelompok yang mendapatkan mandat kepercayaan rakyat dalam mengelola urusan publik harus mewujudkan kepentingan bersama. Karena pada hakikatnya, mereka hanya representasi dari masyarakat luas, terlepas dari kelompok, sekte, aliran, dan agamanya. Dan sekali lagi, kepentingan bersama harus diutamakan daripada kepentingan kelompok tertentu dalam mewujudkan keadilan serta kemakmuran bagi semua warganya. Tanpa harus kemudian membeda-bedakan identitas maupun simbolnya.

Oleh: Ridwan Bahrudin

Penulis, adalah Mahasiswa S2 Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru