26.2 C
Jakarta

Pers dan Risalah Profetik

Artikel Trending

KhazanahOpiniPers dan Risalah Profetik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Revolusi digital berhasil menggeser peranan pers dalam dunia komunikasi dan informasi massa. Kehadiran perangkat digital seperti smartphone, dengan beragam fitur media sosial di dalamnya, mendorong terjadinya ledakan informasi. Intensitas informasi di dunia maya ini sangat sulit untuk dibendung dan dikendalikan. Akibatnya, informasi yang dikomsusi oleh publik melebihi taraf kebutuhan. Risalah profetik pun menjadi kabur, dalam pers itu sendiri.

Kehadiran medsos memudahkan setiap individu untuk mengakses informasi secara cepat. Dalam waktu yang bersamaan, seseorang bisa menjadi produsen, distributor, dan konsumen informasi. Namun di balik akselerasi informasi ini, berita hoaks sangat mudah masuk ke dalam ruang publik. Kebohongan dan kebenaran saling berkelindan mengkonstruksi sebuah realitas sosial bernama post-truth.

Menurut Mastel (2019), wabah hoaks 2019 di Indonesia—yang tersebar di media sosial—mencapai 87,50%. Persentase ini menegaskan bawah medsos tetap menjadi saluran aktif akselerasi hoaks. Dari sisi konten, hoaks di medsos memuat wacana politik sebesar 93% dan narasi bernuansa SARA sebesar 72,6%. Kuantitas hoaks yang besar itu berbanding lurus dengan jumlah pengguna media sosial. Semakin banyak pengguna media sosial, semakin besar potensi hoaks yang diproduksi.

Kehadiran hoaks di tengan-tengah masyarakat Indonesia dapat memicu munculnya ketegangan dalam sektor sosial, politik, agama dan budaya. Sejak Pilpres 2014, hoaks semakin masif digunakan sebagai alat propaganda politik sehingga memicu konflik berbasis politik identitas (echo chamber).

Lebih dari itu, Syahputra menyatakan bahwa hoaks yang politis akan membentuk kecemasan eksplosif atau spiral kebencian di tengah-tengah publik, sehingga ruang-ruang demokrasi kita dijejali dengan narasi kebencian yang sentimental (2019: 20).

Hoaks yang sarat narasi kebencian dan pemelintiran kebenaran akan mencemari akal sehat publik, baik di dunia maya ataupun nyata. Hoaks tidak hanya menjadi musuh pers semata, melainkan menjadi musuh seluruh warganet Indonesia. Oleh karenanya, eksistensi pers di era revolusi digital tidak bisa digantikan peranannya oleh kehadiran media baru bernama medsos.

Risalah Profetik

Era post-truth ditandai dengan kebimbangan media mainstream dalam menghadapi berita hoaks yang tersebar di media sosial (Syuhada, 2017). Merespon persoalan hoaks, pers sebagai pilar keempat dari demokrasi Indonesia harus melakukan transformasi untuk melawan beragam berita hoaks. Pers harus meneguhkan kembali citranya sebagai sumbu kebenaran informasi bagi masyarakat demokrasi.

Persoalannya, pers Indonesia dewasa ini mengalami permasalahan etik. Euforia pasca reformasi menghasilkan relasi kuasa antara media dan kepentingan politik sektarian. Relasi ini membuat pers kehilangan perannya sebagai corong demokrasi. Produk berita yang disajikan cendrung tendensius dan tidak objektif. Berkaitan dengan persoalan ini, pers perlu mereaktualisasikan sembilan elemen jurnalisme dalam aktivitasnya.

BACA JUGA  Urgensi Pendidikan Karakter sebagai Tameng Kontra-Radikalisme Daring

Menurut pandangan Franz Magnis Suseno (2015), pers boleh memiliki tujuan dan harapan. Akan tetapi, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk menumbalkan sikap independensi dan kebenaran demi kepentingan golongan. Dalam konteks revolusi digital, informasi yang disajikan pers harus berpihak pada kebenaran semata, sehingga fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial dapat terealisasikan secara nyata.

Dalam kaitan dengan kebenaran, para jurnalis Muslim memiliki peran besar untuk membangun narasi peradaban masyarakat Indonesia. Dengan berpengang teguh kepada prinsip dasar ajaran Islam yakni hak atau kebenaran, jurnalis Muslim dapat menerapkan prinsip etik profetik ke dalam jurnalisme profetik sebagai counter narrative atas hoaks.

Jurnalisme Keadilan

Jurnalisme profetik adalah jurnalisme yang mengemban tugas kenabian, yakni menyampaikan risalah kebenaran berdasarkan takwa demi tegaknya keadilan (justice), kesejahteraan (prosperity), perdamaian (peace), dan nilai kemanusiaan yang universal (universal humanity). Di era revolusi digital, jurnalisme profetik dapat memanfaatkan media digital sebagai saluran diseminasi nilai kerahmatan Islam.

Menurut Parni Hadri (2014) spiritualitas menjadi basis utama dari jurnalisme profetik. Kinerja jurnalisme kenabian adalah mengumpulkan, mengolah bahan-bahan dan menyiarkannya dalam bentuk informasi berbasis cinta. Berpihak kepada kebenaran dan bebas SARA, dengan melibatkan fisik, intelektual, dan spiritual dalam menyajikan informasi. Seorang jurnalis profetik dituntut memiliki kecerdasan intelektual, sosial dan spiritual.

Jurnalisme profetik juga meneladani empat nilai etik Nabi Muhammad SAW yang ternyata sesuai dengan fungsi media. Yakni shiddiq (menyampaikan, to inform), amanah (melakukan kontrol sosial, social kontrol), fathanah (mendidik, to educate), dan tabligh (menghibur, to entertain). Meminjam konsep profetik Kuntowijoyo (2001), jurnalisme profetik mengemban misi humanisasi (amar ma’ruf), pembebasan (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah).

Pada era digital, peran dan fungsi pers tidak berubah kecuali bentuk platform media. Lewat media online, jurnalisme profetik bisa mengakselerasi penyembaran berita faktual sekaligus humanis untuk menepis hoaks dan narasi kebencian. Akan tetapi, perlawanan terhadap hoaks juga memerlukan kesadaran literasi masyarakat. Publik harus melakukan validasi dan klarifikasi sebelum membagikan informasi. Sejak dini, publik harus memupuk budaya kritis dalam bermedia.

Hari ini, revolusi digital mensyaratkan tranformasi nilai-nilai pers yang selaras dengan misi kenabian. Tidak bisa dipungkiri, pers memiliki kapasitas untuk menjadi kekuatan perubahan sosial alternatif. Dalam konteks ini, jurnalisme Islami berupaya mentransformasikan nilai-nilai Islam yang universal ke dalam praktik komunikasi dan informasi massa yang lebih humanis dan toleran. Dengan demikian, akal publik akan selalu tercerahkan dan ruang interaksi sosial akan selalu kondusif, terbebas dari hoaks.

Rahmat
Rahmat
Ketua Ikatan Alumni Al-Amien Prenduan (IKBAL) Kordinator Daerah Yogyakarta Periode 2019-2020

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru