26.3 C
Jakarta
Array

Pernikahan Anak dan Poligami

Artikel Trending

Pernikahan Anak dan Poligami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pernikahan anak dan poligami adalah dua isu yang terus dibicarakan sepanjang waktu. Isu ini melekat dalam kehidupan umat manusia, karena menyangkut nasib libidonya. Yang parah, mereka tidak segan-segan meligitimasi keliaran libido dengan ajaran agama. Agama dijadikan tameng persembunyian keserakahan rezim libido.
Perlu ditegaskan bahwa baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits tidak ada perintah atau anjuran untuk melakukan poligami atau menikahi anak di bawah umur. Dasar mereka hanyalah penafsiran atas apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Lalu, mereka klaim sebagai sunnah dan ittiba’ pada Nabi SAW. Tentu banyak yang dirayakan, karena libido menemukan legitimasinya.

Jika itu penafsiran, baiklah kita tafsirkan lagi ya…

Jika poligami dianggap sunnah, karena Nabi Muhammad SAW melakukannya, maka saya bertanya kenapa monogami juga tidak dipandang sebagai sunnah? Bukankah Nabi SAW monogami selama 28 tahun bersama Khadijah binti Khuwailid. Durasi waktu monogami Nabi SAW lebih lama 3,5 lipat ketimbang poligaminya yang hanya sekitar 8 tahun saja. Dari sisi lamanya Nabi SAW melakukan, lebih sunnah mana: poligami atau monogami? Jawaban saya, jelas monogami.

Poligami yang dilakukan Nabi SAW ini bukan ajaran, tapi budaya. Sebab, sebelum Islam datang poligami sudah marak dipraktikkan. Nabi tidak memerintahkan dan menganjurkan poligami, tapi Nabi SAW menjalaninya sebagai laku budaya sebagaimana budaya lain. Jika ajaran, tentu Nabi SAW tidak marah ketika anaknya Fathimah hendak dipoligami. Nabi SAW sangat marah ketika Ali bin Abi Tholib didorong untuk mempoligami Fathimah.

Nabi SAW sendiri setia pada satu orang istri (monogami) dengan Khadijah binti Khuwailid. Nabi SAW melakukan poligami setelah istri pertamanya wafat. Saat poligami, Nabi SAW menikah dengan janda-janda semuanya, kecuali Aisyah. Bahkan istri pertama Nabi SAW juga seorang janda. Karena bagi Nabi SAW, perkawinan bukan hanya soal seks, tapi membangun kehidupan dan peradaban.

Jika Anda ittiba’ pada Nabi SAW, kenapa Anda melakukan poligami dengan gadis-gadis, bukan dengan janda-janda? Mengapa pula Anda poligami saat
istri pertama Anda masih segar bugar, padahal Nabi melakukannya setelah istri pertama wafat? Sekali lagi, berarti Anda tidak ittiba’ kepada Nabi SAW. Sesungguhnya Anda sedang mencari legitimasi keliaran libidomu saja.

Soal nikah anak di bawah umur, Anda selalu merujuk pada pernikahan Nabi SAW dengan Aisyah. Hei… Tahukah Anda bahwa Nabi SAW menikah bukan hanya dengan Aisyah, tapi dengan banyak perempuan. Semua perempuan yang dinikahi Nabi SAW berstatus janda, termasuk istri pertamanya, yang berusia lebih dari 40 tahun. Nabi SAW sendiri menikah pertama kali pada usia 25 tahun dengan Khadijah yang berusia 40 tahun.

Jika Anda menganggap sunnah menikah dg gadis, karena Nabi SAW melakukannya, kenapa Anda tidak memandang sunnah menikah dengan janda? Padahal semua istri Nabi SAW berstatus janda, kecuali Aisyah. Kenapa Anda tidak ittiba’ pada Nabi SAW dengan menikahi janda?

Nabi SAW juga menikah dengan Khadijah binti Khuwailid yang berusia 40 tahun dan dengan Saudah binti Zam’ah yang berusia 60an, kenapa hanya usia Aisyah yang selalu dijadikan kesunnahan?

Nabi SAW juga menikah pertama kali dengan janda lebih tua 15 tahun, kenapa praktik ini tidak Anda jadikan sebagai kesunnahan?

Nah, sekarang sudah ketahuan kan bahwa apa yang disebut sunnah dan ittiba’ itu jika cocok dengan selera libidomu saja. Jika tidak cocok dengan nafsu libidomu, tidak Anda bahas, apalagi diakui sebagai kesunnahan.

Sekarang sudahlah gak perlu lagi bilang bahwa poligami adalah sunnah dan perkawinan anak di bawah umur juga sunnah. Ini semua adalah rekayasa penafsiran untuk meligitimasi selera libido mu saja yang liar.

Perlu diketahui bahwa Nabi SAW itu sangat respek dan menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Tidak mungkin Nabi SAW menyakiti dan melukai hati perempuan, apalagi istrinya sendiri. Nabi SAW bersabda, ana khairukum li ahliy (saya adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku).

Kita perlu meninjau kembali cara pandang kita terhadap perilaku Nabi Muhammad SAW. Kita harus berani menegaskan: (1) Bahwa Nabi menikahi Aisyah tidak dalam usia 6 atau 9 tahun, tapi 17 atau 18 tahun (berdasarkan fakta sejarah). Oleh karena itu, perkawinan anak di bawah umur tidak dikenal dalam Islam. (2) Poligami bukan ajaran Islam, tapi budaya yang sudah berkembang sebelum Islam datang. Islam merespons poligami dengan ajaran keadilan. (3) Tujuan perkawinan bukan untuk pelampiasan libido, melainkan membangun ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan keluarga yang penuh dengan cinta kasih. (4) Poligami dan menikahi anak di bawah umur adalah kekerasan terhadap perempuan.

Marzuki Wahid

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru