28.2 C
Jakarta
Array

Permusuhan Adalah Kedzaliman

Artikel Trending

Permusuhan Adalah Kedzaliman
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tanpa mengutip data dan pendapat pengamat politik ternama sekalipun, masyarakat Indonesia mengetahui bahwa tahun 2018 merupakan tahun politik. Sebagaimana yang sudah-sudah, tahun perhelatan atau kontestasi pemilihan kepala daerah syarat dengan konflik. Hal ini sangat mungkin terjadi manakala kubu-kubu yang berkompetisi, menggunakan cara-cara keji guna melancarkan “nafsunya” untuk menduduki kursi tertinggi di masing-masing daerah.

Cara keji dan haram nyatanya sulit dihindarkan. Meskipun demikian, tidak menjadikan pemerintah, instansi yang berwenang, dan warga negara, semakin pesimistis. Artinya, segala kemungkinan pasti akan terjadi. Namun, hal-hal yang tidak diinginkan wajib diminimalisir, bahkan ditekan sedemikian rupa.

Satu hal yang harus menjadi perhatian khusus untuk menciptakan tahun 2018 sebagai tahun damai adalah mengedukasi masyarakat, mengarahkan agar mereka tercerahkan. Tidak termakan gorengan isu yang sengaja diciptakan agar kegaduhan mencuat kepermukaan. Ya. Edukasi bahwa berbeda, entah berbeda pilihan, pandangan politik, afiliasi, dan lain sebagainya itu dijadikan atau dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Singakt dan tegas kata, perbedaan adalah realitas empirik yang tidak bisa dihindarkan. Oleh sebab itu, kita harus menyikapi perbedaan itu dengan elegan, santai, dan damai.

Dalam kesempatan kali ini, penulis akan menguaraikan perbedaan yang mengarah pada permusuhan dalam perspektif keagamaan. Perspektif ini sangat diperlukan mengingat di Indonesia, agama ditempatkan di urutan pertama. Selain itu, orang Indonesia terknal taat beragama. Dengan realitas seperti itu, perspektif agama diharapkan menjadi pegangan dan edukasi bagi masyarakat, terutama masyarakat awam.

Baik. Perbedaan yang mengarah pada permusuhan sejatinya disebabkan karena rasa persaudaraan antar sesama tidak terjalin kuat. Oleh sebab itu, Badi’uzzaman Said Nursi dalam Maktûbât mengajak orang-orang beriman untuk menjalin rasa persaudaraan dan mencintai antar sesama dalam beberapa aspek. Beberapa aspek ini, apabila benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka pertikaian, konflik dan sejenisnya itu, tidak akan terjadi, sekalipun komposisi masyarakatnya plural.

Pertama, permusuhan adalah salah satu kedzaliman dalam pandangan hakikat. Dalam konteks kompetisi, sifat yang secara otomatis sifat iri, benci, dan permusuhan seringkali mengindap dalam diri masing-masing kompetitor, baik pendukung maupun yang maju. Maka, dalam konteks dan kondisi seperti ini, prinsip dan pedoman yang harus dijunjung tinggi adalah orang beriman merupakan satu bangunan “Robbani” dan “Perahu Ilahi”.

Said Nursi ketika menjelaskan poin pertama ini, beliau mengumpamakan orang-orang yang beriman yang hatinya dipnenuhi rasa kebencian dan permusuhan dengan kisah yang cukup menggelitik. Disebutkan bahwa Said Nursi meminta kepada orang beriman untuk membayangkan seorang yang beriman sedang berada di dalam sebuah kapal atau rumah bersama sembilan orang yang tak bersalah dan seorang pelaku kejahatan. Kemudian orang beriman itu melihat seorang yang berusaha menenggelamkan kapal atau meruntuhkan rumah itu. Melihat kondisi demikian, tentu orang beriman ini akan berteriak sekeras mungkin untuk memprotes kedzaliman yang dilakukan oleh orang itu. Sebab, kata Nursi, tidak ada aturan yang membolehkan untuk menenggelamkan kapa itu selama ada satu orang yang tak bersalah, meskipun di dalamnya terdapat sembilan pelaku kejahatan.

Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah atau perumpamaan di atas adalah, bahwa jangan hanya karena ia mempunyai satu sifat buruk (karena saingan) yang membuat kita tidak senang atau merasa dirugikan, sementara ia memiliki sembilan atau bahkan dua puluh sifat baik, maka kita tidak patut memusuhi dan mendengkinya.

Permusuhan dan kedengkian sudah membawa dan mendorong manusia untuk menenggelamkan perahu eksistensinya dan membakar bangunan wujudnya (Nursi, 2017: 454). Maka, memproduksi berita hoax sejatinya—selain motif ekonomi—merupakan awal kedengkian terhadap kelompok lain. Oleh sebab itu, dalam konteks Pilkada misalnya, mari utamakan gagasan,  adu pemikiran yang mencerahkan, konsep, dan ide-ide kreatif.

Kedua, permusuhan adalah kedzaliman dalam pandangan hikmah. Orang hikmah mengatakan bahwa cinta dan permusuhan adalah dua hal yang berlawanan, seperti cahaya dan kegelapan. Oleh sebab itu, rasa cinta harus dipupuk sedemikian rupa. Jika cinta lebih dominan dan cinta itu telah menancap di dalam hati, maka rasa permusuhan akan berubah menjadi permusuhan artifisial, bahkan bisa bebalik menjadi rasa kasih sayang.

Oleh sebab itu, orang hikmah selalu mengatakan bahwa antara sesama muslim, terdapat banyak ikatan dan kesamaan. Maka, yang dikedepankan adalah persatuan dan persaudaraan yang berlandaskan pada rasa cinta. Berbeda dengan orang zalim. Ia berpaling pada tali-tali ikatan, dan kemudian mengedepankan hal sepele.

Ketiga, permusuhan adalah kedzaliman dalam pandangan al-Qur’an. Dalam Surat Al-An’am ayat 164, Allah berfirman: “Dan seorang yang berdosa, tidak akan memikul dosa orang lain.” Said Nursi menjelaskan ayat ini. Bahwaayat ini berisi tentang keailan mutlak, yaitu tidak boleh menghukum seseorang atas kesalahan orang lain. Bahwa memendam kebencian, dan permusuhan terhadap mukmin adalah kedzaliman yang besar. Dan kedzaliman merupakan cerminan dari ketidakadilan.

Keempat, permusuhan dan perpecahan membahayakan kehidupan sosial. Dalam al-Matsnawi ar-Rumi, sebagaimana dikutip Said Nursi, menceritakan keterlibatan Imam Ali dalam suatu perang. Dalam suatu peperangan, Imam Ali terlibat perang tanding dengan salah seorang jawara kaum musyrik. Tak tanggung-tanggung, imam Ali pun mengungguli lawannya itu. Namun ketika Ali hendak membunuhnya, lawan tersebut meludahi wajah Imam Ali. Akhirnya, Imam Ali membebaskan dan meninggalkannya (Nursi, 2017:466).

Rasa penasaran pun menghantui jawara kaum musyrik itu atas sikap Ali. Lantas ia bertanya: “ Mengapa engkau tidak membunuhmu?” Imam Ali menjawab: “Awalnya, aku ingin membunuhmu karena Allah. Namun, ketika engkau meludahiku, aku pun marah. Karena pengaruh nafsu telah menodai keikhlasanku, aku pun tidak jadi membunuhmu.” Lantas orang Musyrik berujar: “Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu sehingga engkau segera membunuhku. Jika agamamu begitu suci dan tulus, sudah pasti ia adalah agama yang benar.”

Cerita di atas syarat dengan pesan yang mendalam, bahwa fanatisme, keras kepala dan kedengkianlah yang menyebabkan perpecahan. Jika Imam Ali mengedepankan egoisme, maka jawara kaum musyrik tidak akan bisa melihat dunia lagi. Oleh sebab itu, tegas Nursi, jika kalian benar-benar menginginkan kehidupan yang mulia, dan menolak menjadi tawanan kehinaan, sadarlah dan kembalilah pada akal sehatmu. Masuklah ke dalam benteng suci, ukhuwah islamiyah, sebagaimana difirmankan Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beiman bersaudara.” (QS. Al-Hujarat, 10).

M. Najib, aktif pada Bidang Sosial-Keagamaan, Tinggal di Jakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru