33.2 C
Jakarta
Array

Perlukah Fikih Muamalah ala Indonesia?

Artikel Trending

Perlukah Fikih Muamalah ala Indonesia?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mantan Direktur Utama Bank Syariah Mandiri (BSM), Yuslam Fauzi sebagaimana dilansir dalam laman Republika Online pernah menegaskan bahwa perbankan syariah di Indonesia harus memiliki fikih muamalah sendiri. Ia menilai bahwa fiqkih muamalah yang keindonesiaan itu menjadi amat penting untuk kemajuan bank syariah di Indonesia ke depan

Apa yang diungkapkan Yuslam Fauzi di atas amatlah mendesak dalam konteks perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Dewasa ini, fenomena penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan syariah semakin berkembang pesat. Di sektor lembaga keuangan bank dikenal dengan perbankan syariah, sedangkan di sektor lembaga keuangan non-bank terdiri dari lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

Meskipun Indonesia terlambat dalam memulai praktik keuangan syariah, namun perlahan tapi pasti Indonesia menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Dalam industri perbankan syariah, misalnya secara kualitatif maupun kuantitatif menggambarkan performa bisnis yang menjanjikan bahkan jumlah bank umum yang menawarkan layanan syariah di Indonesia melebihi Malaysia.

Namun demikian, harus diakui dalam hal tertentu, masih terdapat beberapa kendala fundamental yang dihadapi para praktisi ekonomi syariah. Terutama dalam aplikasi teori dan konsep fikih muamalah yang menjadi landasan hukum  atas produk dan transaksi lembaga keuangan syariah. Ada semacam kehati-hatian-untuk tidak mengatakan takut-menerapkan prinsip dasar fikih muamalah klasif dalam transaksi modern yang sangat mungkin belum tersentuh fatwa atau komentar para ulama’ terdahulu terkait keabsahannya.

Belum lagi, fakta masing-masing negara memiliki karakteristik tersendiri dalam pengembangan ekonomi islam menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Praktik perbankan syariah di Indonesia, misalnya sangat berbeda dengan perbankan syariah di negara-negara lain. Begitu pula dengan produk-produk ekonomi islam lainnya, semuanya memiliki kebijakan dan karakteristik tersendiri yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Wacana Fiqh Muamalah dalam Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia, wacana fiqh muamalah bercita rasa Indonesia sejatinya tidak hanya dimaksudkan untuk pengembangan lembaga keuangan syariah semata. Tapi jauh lebih penting ingin menegaskan bahwa konsep dan teori fiqh muamalah tersebut bersifat dinamis dan progresif. Artinya aplikasi teori fiqh muamalah itu hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat di lapangan.

Realita menunjukkan, perkembangan kehidupan dan peradaban manusia lebih progresif dan semakin kompleks dibandingkan dengan ketentuan otentik para ulama’ dan syariah. Sehingga akan muncul deviasi diantara keduanya. Artinya, banyak transaksi modern yang belum dibedah oleh para ulama’ tersebut.

Selain itu, seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah yang dilakukan tidak terdapat miniatur dari ulama’ klasik. Yaitu transaksi tersebut merupakan trobosan baru dalam dunia modern. Dalam hal ini kita memang harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan substantif atau tidak dengan kaidah fiqh?Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah (dibolehkan).

Prinsip Dasar dalam Ekonomi

Tentunya, setiap aktivitas ekonomi harus berlandaskan kepada sumber hukum ekonomi islam dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi islam dalam berijtihad atas suatu fenomena agama. Dalam ekonomi islam, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi dengan bermuamalah (baca; interaksi antar sesama manusia dalam bidang ekonomi). Prinsip-prinsip ekonomi islam yaitu (1) pada asalnya aktivitas ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkan, (2) aktivitas  ekonomi tersebut hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (‘antaradin), (3) kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatang maslahat dan menolak mudharat (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid), dan (4) dalam aktivitas ekonomi tersebut terlepas dari unsur gharar, riba, kedhaliman, dan unsure lain yang diharamkan berdasarkan syara’.Dengan demikian, prinsip-prinsip ini harus dijadikan sebagai aturan dalam melaksanakan aktivitas ekonomi.

Berpijak pada realitas perubahan sosial dalam bidang muamalah yang terus berkembang cepat akibat dari akselerasi globalisasi, maka pengajaran fiqh muamalah tidak cukup secara apriori bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik semata, sebab formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah  banyak yang mengalami irrelevansidengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan tersebut harus diformulasi kembali agar menjawab segala problem  dan kebutuhan ekonomi keuangan modern.

Rumusan fiqh muamalah yang lengkap, berlimpah dan mendetail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama’ terdahulu dalam memecahkan dan menjawab tantangan ekonomi di zamannya. Tentunya, formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau tidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya (Muslim Gunawan, 2010).

Alhasil, konsep dan formulasi fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zamannya, tempat, dan situasi kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif tentunya dalam koridor syariah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru