27.9 C
Jakarta

Peristiwa Terorisme dan Motif yang Melatar-belakanginya

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPeristiwa Terorisme dan Motif yang Melatar-belakanginya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Pada hari Rabu (07/12/2022) bom bunuh diri meledak di Polsek Astana Anyar Bandung. Terlepas identitas pelakunya, tindakan semacam itu jelas termasuk dalam aksi-aksi terorisme. Semua agama, lebih-lebih Islam, tegas melaknat aksi kejahatan ini, meskipun pelakunya sering mengatasnamakan agama sebagai dalih. Larangan agama ini jelas beriringan dengan misi yang dibawanya: menegakkan nilai-nilai kemanusian. Terorisme jauh dari nilai-nilai kemanusian (tidak manusiawi).

Bukan kali pertama aksi-aksi terorisme terjadi di Indonesia. Serangkaian aksi terorisme di negara merah putih ini, berdasarkan pengamatan Musdah Mulia dalam bukunya, Ensiklopedia Muslimah Reformis, meliputi: Bom Bali I (Oktober 2002); Bom Bali II (tahun 2005), pengeboman beberapa kedubes asing di Jakarta, objek vital asing, hotel JW Marriot, dan berbagai pengeboman lain yang terjadi secara sporadic di beberapa wilayah Indonesia. Aksi terorisme pertama kali di Indonesia terjadi pada tahun 2000, yaitu di beberapa gereja di Jakarta tepat pada malam Natal. Pelakunya adalah Dulmatin, Imam Samudra, Muklas, Edi Setiono dan Umar Patek.

Serangkaian aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia tersebut memiliki korelasi dengan akar pandangan radikal Osama Bin Laden. Osama beserta Jaringan Al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan merupakan “dalang” penyerangan terhadap Gedung World Trade Center (WTC) tanggal 11 September 2001. Peristiwa ini menelan korban sebanyak 5.700 sipil. Selain itu, Osama juga pernah mengeluarkan dua fatwa yang berkaitan dengan radikalisme-terorisme: Fatwa pertama pada tahun 1996 berbunyi seluruh orang muslim di dunia harus memutuskan hubungan dengan orang-orang kafir yang zalim, termasuk meninggalkan gaya hidup kebarat-baratan (western oriented). Fatwa kedua pada tahun 1998 berisi seluruh muslim di dunia wajib memperjuangkan tegaknya Islam secara murni dan mewujudkan kembali khilafah global yang akan menaungi seluruh umat Islam di bawah satu kekuasaan serta menjunjung tinggi syariat Allah.

Kedua fatwa Osama tersebut jelas berorientasi pada radikalisme dan terorisme. Orientasi radikalismenya terlihat dari fatwa yang mendorong umat Islam memutus tali persaudaraan dengan orang-orang kafir (biasanya sebutan “kafir” ini menunjuk orang non-muslim atau orang muslim yang bukan kelompoknya) dan memerintahkan umat Islam meninggalkan gaya hidup kebarat-baratan, seperti pandangan liberal, sekuler, dan lain-lain (demokrasi bisa termasuk yang dimaksud di dalamnya, karena demokrasi itu dianggap bukan bagian dari syariat Islam dan jelas produk manusia).

Sedangkan, orientasi terorisme Osama jelas terlihat pada fatwanya yang mengajak untuk memperjuangkan tegaknya Islam secara murni dan mewujudkan kembali khilafah global. Perjuangan atas tegaknya Islam dan khilafah sekarang diimplementasikan dalam organisasi yang berbeda, yang “agak” ekstrem hingga “sangat” ekstrem. Biasanya organisasi yang agak ekstrem adalah Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani pada tahun 1953. Organisasi ini sangat getol mengkampanyekan berdirinya Negara Islam berbasis sistem Khilafah. Ideologi HT ini kemudian masuk ke Indonesia pada tahun 1983 dibawa oleh Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mubalig sekaligus aktivis Hizbut Tahrir yang berbasis di Australia.

BACA JUGA  Politik Dinasti Jokowi, Apakah Dibenarkan oleh Agama?

Sedangkan, organisasi yang sangat ekstrem adalah organisasi-organisasi teroris. Organisasi ekstremis ini pertama kali di Indonesia adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dibentuk oleh Ba’asyir pada tahun 2000. Ba’asyir ini, sejauh analisis Musdah Mulia, memiliki keterkaitan dengan Osama dengan indikasi yang menguatkan berupa nada pidatonya pada pembukaan kongres pertama MMI. Ba’asyir dengan terang menyerukan dakwah dan jihad. Ba’asyir juga menekankan pentingnya memiliki ruhul jihad (cinta jihad dan cinta mati syahid) serta pengetahuan fiqhul qital yang dipahaminya sebagai usaha-usaha untuk memberi pelajaran taktik dan strategi perang dan melatih keahlian menggunakan senjata.

Motif di balik aksi-aksi terorisme itu sangat beragam. Motif pertama, motif anti Barat terjadi antara tahun 2000-2009, meskipun pada tahun 2003 bom bunuh diri di Kedubes Australia oleh Heri Gholun dilatarbelakangi oleh motif balas dendam atas vonis pelaku Bom Bali. Motif kedua, motif anti-thaghut atau perang terhadap musuh Islam yang terjadi pada tahun 2011-2016, bahkan sampai detik ini. Sasaran terorisme adalah negara, lebih spesifiknya institusi kepolisian karena dianggap sebagai representasi negara yang menghalangi kegiatan para teroris, maka dari itu tidak heran jika bom bunuh diri terjadi di Polres Bandung itu.

Sebagai penutup, penting bangsa ini diberi pemahaman tentang materi kebangsaan yang benar, agar mereka tidak terjebak pada radikalisme dan terorisme yang berpotensi merugikan diri pelaku dan orang lain. Materi kebangsaan ini dapat menyadarkan bangsa ini tahu bahwa mencintai tanah air merupakan bagian dari ajaran Islam. Lebih dari itu, bangsa ini diberi materi Islam moderat, karena dengan cara inilah mereka tahu bahwa Islam melarang pembunuhan (pengeboman dan bom bunuh diri sebagai tindakan terorisme) dan mendorong manusia saling menghormati satu sama lain, meskipun beda agama, karena sejatinya semua manusia adalah bersaudara.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru