31.7 C
Jakarta

Pergeseran Peran Perempuan sebagai Tradwives Menjadi Invisible Rules dan Ideological Supporters dalam Aksi Radikal Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPergeseran Peran Perempuan sebagai Tradwives Menjadi Invisible Rules dan Ideological Supporters dalam...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Paradigma traditionalist dalam kajian gender memandang perempuan sebagai subjek yang hanya melakukan aktivitas pada ranah domestik seperti menjaga anak-anak, memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Perspektif gender yang terbentuk secara sosial dan disosialisasikan kepada peradaban manusia tersebut, kini menemui pergeserannya. Terhadap aksi radikal terorisme, utamanya.

Para perempuan kini sudah lagi tidak statis, masyarakat global kini memandang gender perempuan sudah tidak lagi sebagai tradwives dalam suatu kehidupan rumah tangga, namun, rupa-rupanya perempuan kini telah mengembangkan potensinya untuk mematahkan pandangan tradisionalis atas itu.

Perempuan yang mengkategorisasikan dirinya sebagai tradwives (singkatan: traditional wives), neologisme wanita yang memilih peran tradisionalnya atau ultra-tradisional dalam pernikahan menjadi seorang istri di dalam rumah dan harus tunduk pada otoritas suaminya. Perempuan sebagai tradwives adalah perempuan dengan intuisi “true calling” yang tidak memiliki penghasilan atau tidak bekerja, namun melakukan pekerjaan dilingkungan rumah tangga seperti menjaga anak-anak dan suami, merawat rumah, memasak, Dll. Serta menjunjung tinggi patriarchy system.

Pergeseran peran dan pengembangan potensi ini, juga terasa dilakukan oleh para perempuan yang terindikasi terpapar radikal dan berpotensi melakukan aktivitas terorisme. Mereka kini cenderung memiliki kekuatan diri, kemauan dan kemampuan besar sebagai kombatan. Hal ini merupakan pergeseran peran perempuan terpapar ini dari subjek yang menangani aktivitas di wilayah domestik atau tradwives, kini bergeser menjadi invisible rules (melakukan inisiatif dan tidak menyebarkan upaya kepada umum) dan ideological supporters (pendukung ideologi) yang siap menjadi kombatan berperang demi mendirikan daulah Islamiyah (versi mereka).

Berdasarkan data ICSVE Research Reports 2017, Tercatat sejak Tahun 2012 lebih dari 6.000 orang telah melakukan perjalanan ke Suriah dan Irak dari Balkan Barak dan Asia Tengah, di mana 15% nya adalah perempuan. Persentase ini menunjukan kehadiran perempuan dalam kontribusinya mengembangkan ideologi khilafah di ISIS.

Dalam laporan UN Women dalam Women in Preventing And Countering Violent Extremism oleh Anne Speckhard, Ph.D pada 2021, mengemukakan jarangnya Pemerintah mempertimbangkan kemungkinan peran perempuan sebagai pendukung proaktif, perekrut, maupun faktor pendorong para perempuan ini mendukung dalam proses pendanaan, bergabung dengan kelompok radikal terorisme dan setia sedia melakukan aksi terorisme. Speckhard menambahkan, Perempuan ini juga bertanggungjawab atas pendirian ISIS dan agresivitas perekrutan simpatisan di seluruh dunia secara online maupun offline.

Valentina Gintings, seorang Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA pada sesi Media Talk tentang ‘Perlindungan Perempuan dari Paham Terorisme dan Ekstremisme’, Rabu (06/04/2021) menuturkan, perempuan dan anak dapat berada dalam 3 posisi pada pusaran terorisme, pertama sebagai kelompok rentan terpapar, kedua sebagai korban, dan ketiga sebagai pelaku. Ia juga menambahkan ada beberapa faktor penyebab perempuan rentan dilibatkan dalam aksi terorisme, yaitu karena faktor budaya patriarki, ekonomi, dan akses informasi.

Singkatnya, Valentina menegaskan bahwasanya budaya patriarki membuat perempuan harus mengikuti apa yang dikatakan oleh suami, ketergantungan perempuan dalam sisi ekonomi dan tidak bisa independen kecuali dengan support bidang ekonomi dari suami, serta doktrinasi internal dalam keluarga yang menjadikan perempuan ini berideologi radikal.

Di Indonesia, pelibatan secara sengaja yang dilakukan oleh para perempuan yang terafiliasi dengan kelompok radikal terorisme menunjukkan keseriusannya sebagai ideological supporters untuk ber-amaliyah (menurut versinya) demi tegaknya ‘daulah islamiyah’ yang dijanjikan ISIS.

Melihat kembali pada beberapa kasus yang terjadi selama 1 dekade terakhir, seperti halnya: kasus deportan Anggi Indah Kusuma yang melakukan percobaan teror di Istana Negara tahun 2017, Siska Nur Azizah dan Dita Siska Millenia yang ditangkap saat mau menyusup ke Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok pada Selasa, 22 Mei 2018, Dewi bersama suaminya, Lukman yang tergabung dalam kajian Vila Mutiara melakukan bom bunuh diri pada 28 Maret 2021 di depan gereja Katedral Makassar, Zakiah Aini yang bersenjata kala itu melakukan aksi penyerangan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, pada Rabu, 31 Maret 2021. Terdapat beberapa aksi kekerasan lainnya yang berbasis radikal terorisme yang juga dilakukan oleh perempuan terpapar di Indonesia.

BACA JUGA  Arrogance Religiosity: Problem Beragama Karbitan yang Harus Dilawan

Ini adalah bukti konkret dimana radikalist terorisme perempuan atau perempuan yang terpapar menunjukkan kekuatannya (mungkin tujuannya) untuk menghilangkan diskriminasi perempuan atas laki-laki dalam mengambil keputusan untuk melakukan aksi teror. Serta jelas, bahwa perempuan terpapar ini tidak hanya bisa dikatakan sebagai yang terkena tipu daya, namun juga bisa dengan sadar dan agresif melakukan perekrutan hingga aksi terorisme.

Sering kali, perempuan hanya dilihat sebagai korban kekerasan ekstremisme. Dan terlalu bias mengatakan perempuan pelaku aksi radikal terorisme dianggap sebagai “followers” atau pengikut suaminya. Namun pada kenyataannya melihat dari fenomena di atas, perempuan memainkan banyak peran salah satunya yaitu terlibat dalam pendanaan aksi terorisme hingga aktif menjadi kombatan. Keterlibatan para perempuan terpapar ini juga diindikasikan sebagai alat propaganda guna menunjukkan kekuatan para simpatisan kelompok teroris ke khalayak umum. Secara, mereka melakukan kesemua aksi dukung dibawah radar bahkan tidak jarang cenderung luput dari pengawasan.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan firman Allah dalam Surat Al-Anfal ayat 27:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Ayat ini menjelaskan amanat dan tanggungjawab yang dipercayakan kepada seseorang. Jelas maknanya, dalam firman Allah ini, Allah menjadikan kodrat seorang istri harus bisa mengatur rumah tangganya dengan suaminya dan anak-anaknya agar menjadi keluarga yang harmonis. Namun faktanya, para perempuan terpapar ini mengetahui, lantas mereka seakan-akan tidak tahu atau mengabaikan tanggungjawabnya.

Jika perempuan bisa menjadi specific push and pull factors dalam perekrutan simpatisan baru secara online maupun offline dan dalam melakukan aksi terorisme, women empowerment atau kekuatan perempuan ini juga bisa difungsikan untuk peace building dan menurunkan level radikal terorisme di lingkungan terdekatnya dan masyarakat secara umum.

Untuk itu, Keberadaan perempuan, bisa menjadi kekuatan besar dalam upaya kontra radikal terorisme seluruh keluarganya termasuk suaminya. Perempuan terpapar ini juga perlu diberikan tempat, rehabilitation treatment dan reintegrasi yang ‘equal’ dengan para pria eks dalang aksi teroris di Indonesia. Fenomena ini membutuhkan respon cepat dari Pemerintah, kontribusi proaktif masyarakat, untuk pencegahan dan penanggulangan secara efektif. Dalam upaya menjaga keutuhan NKRI dari kejahatan kemanusiaan yang bernama TERORISME.

Secara umum, dengan mempromosikan perempuan sebagai bagian dari agen perdamaian serta mengakui kehadiran kontribusi mereka terhadap pencegahan aksi radikal terorisme akan menghasilkan penghormatan tertinggi untuk peran seorang perempuan di wilayah yang terdampak aksi terorisme. Serta sebagai langkah antisipasi atas ancaman yang mungkin timbul di masa depan.

Lebih spesifik, dengan memberikan pendekatan, pemberdayaan, pendidikan (training), serta dukungan penuh di bidang ekonomi, perencanaan, dan pemulihan pasca aksi teror untuk para perempuan yang terpapar dan berpotensi terpapar paham radikal terorisme mampu memberikan hasil positif bagi masyarakat dan perempuan itu sendiri.

Dari fenomena ini pula, para pemikir terkait dengan women empowerment dan development di Indonesia perlu menganalisis dan mengidentifikasi para perempuan yang terpapar dalam konteks dan perspektif gender. Mulai dari para perempuan terpapar ini tergabung dalam kelompok radikal terorisme – menjadi radikal – kemudian melakukan pendekatan pencegahan – menjadi penyintas – kemudian mentransformasikan ideologi radikal mereka kedalam inisiatif-inisiatif baru yang berguna untuk upaya kontra terorisme di Indonesia.

Upaya ini sebagai bentuk kontribusi terhadap Pengarusutamaan gender (PUG) dunia dan juga menginisiatifkan perempuan dalam berbagi perannya sebagai pencegah, pendukung, pelaku, dan penyintas atas aksi kontra radikal terorisme di Indonesia sesuai dengan norma gender internasional tentang perempuan, perdamaian dan keamanan.

Mari kita dorong Pemerintah untuk sesegera mungkin tidak hanya melakukan dialog lintas Lembaga dan organisasi yang fokus menangani isu perempuan dan terorisme, namun juga menciptakan serta mengimplementasikan kebijakan kontra terorisme yang berdampak langsung terhadap perempuan dan organisasi perempuan di Indonesia.

Demi memperkuat perlindungan hak-hak perempuan, pemberdayaan perempuan, serta mampu mengetahui dan menanggulangi situasi perempuan yang menolak untuk mengikuti anggota keluarganya bergabung dalam kelompok radikal terorisme agar tetap dalam NKRI.

Siska A., M.Han
Siska A., M.Han
Pengamat dan Analis Kajian Gender dan Kontra Radikalisme Terorisme

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru