31.3 C
Jakarta

Perempuan, Layangan Putus, dan Relasi Resiprokal dalam Berkeluarga

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan, Layangan Putus, dan Relasi Resiprokal dalam Berkeluarga
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Series Layangan Putus viral di kalangan masyarakat maya Indonesia. Hadirnya series dari adaptasi novel karya Mommy ASF yang berjudul sama tersebut berangkat dari kisah nyata dengan tema keluarga dengan kronik perselingkuhan. Hadirnya series dengan tema yang diangkat serta ditunjang kemampuan akting pemainnya mampu mengaduk emosi penonton utamanya perempuan, sehingga jadwal tayang series ini demikian ditunggu-tunggu.

Perempuan dalam Layangan Putus

Tokoh Aries menjadi Public Eenemy masyarakat maya karena karakter manipulatif tapi romantis dengan kecukupan materi dalam pernikahannya dengan Kinan. Ia kemudian hadir dengan membawa Lidya sebagai orang ketiga dalam cerita pernikahannya. Namun dalam tulisan ini, penulis tidak hanya ingin menguliti drama perselingkuhan tokoh Aries dalam series tersebut. Yang mana dalam series tersebut kita tahu bahwa ada tokoh lain seperti Miranda yang hadir sebagai tokoh perempuan karier yang sukses dalam pekerjaannya, di mana ia juga melakukan tindakan yang sama.

Perselingkuhan dalam series ini tidak sekadar membicarakan kesenjangan gender berbasis maskulinitas lelaki hanya karena ia mampu memenuhi unsur finansial pasangan dengan manajemen berbagi kasih, melainkan sebuah masalah diri yang bersarang pada diri pelaku penyelingkuh yang membutuhkan legitimasi atau pengakuan. Maka itu, melalui viralnya series Layangan Putus dengan benang merah perselingkuhan, penulis memakai momentum ini sebagai tirai analisis resiprokal berkeluarga dalam memandang fenomena perselingkuhan sebagai sumber permasalahan keluarga.

Perselingkuhan bukan hal baru, sehingga hadirnya series Layangan Putus menjadi salah satu prototipe potret ringkihnya komitmen berkeluarga masyarakat kita. Perselingkuhan dilakukan hampir semua lapisan masyarakat, tak hanya dilakukan oleh Aries atau Miranda, yang dalam series ini hadir dari kalangan masyarakat yang memiliki kemelimpahan ekonomi. Perselingkuhan bisa terjadi dari kalangan bawah dengan beragam motif guna memperoleh kesenangan diri.

Perselingkuhan  merupakan  salah  satu  sumber permasalahan dalam perjalanan kehidupan keluarga. Sejalan dengan hal tersebut, imbas dari masalah ini mampu menghadirkan permasalahan baru karena rusaknya komitmen berkeluarga. Dan ini terjadi pada keluarga siapa saja, lebih-lebih keluarga yang melimpah harta.

Dalam hal in, kita perlu menggarisbawahi bahwa keluarga sebagai ruang bersosialisasi di mana nilai-nilai kehidupan dan karakter bermasyarakat secara dasar diajarkan. Orang tua baik ayah maupun ibu memiliki peran sentral yang sama dalam memberikan pengajaran dan pendidikan karakter terhadap anak-anaknya, kendati pengajaran tersebut dicerminkan dalam keseharian. Maka, hal dasar yang harus kita pahami bahwa pernikahan adalah gerbang berkeluarga yang membutuhkan komitmen jangka panjang. Berkeluarga membutuhkan visi-misi yang sama untuk diperjuangkan.

Pilar Penyanggah Rumah Tangga

Keluarga sebagai sebuah bangunan yang menggelar bahtera sering dimaknai sebagai separuh ibadah. Maka ibadah tersebut hanya dapat dicapai dengan upaya memperoleh ridha Allah, salah satunya dengan menghormati jiwa setiap anggota keluarga. Menurut Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubaadalah (2019), kebahagiaan dalam pernikahan akan tercapai dengan pilar-pilar penyangga kehidupan rumah tangga agar visi berkeluarga tercapai. Pilar-pilar penyangga rumah tangga tersebut tentu merujuk pada Alquran sebagai sumber dasar.

BACA JUGA  “Kita Layak Berperang”: Mindset Perempuan Aktor Terorisme

Pertama, komitmen pada ikatan janji yang kokoh sebagai amanah Allah Swt (Miitsaaqan ghaliizhan, QS. an Nisaa’ [4]: 21); Kedua, prinsip berpasangan dan kesalingan (Zawaaj, QS. al-Baqarah [2]:187 dan QS. ar-Ruum [30]:21); Ketiga, perilaku saling memberi kenyamanan/kerelaan (Taraadhin, QS. al-Baqarah [2]: 233); Keempat, saling memperlakukan dengan baik (Mu’aasyarah bil maruf, QS. an-Nisaa’ [4]:19), Kelima adalah kebiasaan saling bermusyawarah (Musyaawarah, QS. al-Baqarah [2]: 233).

Kelima pilar tersebut membutuhkan peran bersama dalam praktik keseharian untuk terus bersinambung, demi visi dan tujuan berkeluarga dapat dirasakan bersama. Dengan begitu pernikahan adalah sebuah ikatan yang senantiasa membutuhkan kesediaan untuk saling membahagiakan, bukan mencari bahagia semata apalagi sepihak. Dalam konteks Islam, kebahagiaan yang maslahah akan terwujud jika dapat terjalin dengan mempertimbangkan pemenuhan aspek agama, jiwa, akal pikiran, harta, serta terawatnya keturunan.

Perempuan dalam Islam

Dalam halnya memandang masalah perselingkuhan, ada sederat pertanyaan yang bisa kita ajukan untuk dipakai sebagai pertimbangan dasar. Bagaimana pandangan agama dalam memandang perselingkuhan yang menciderai komitmen perjanjian pernikahan? Bagaimana jiwa anggota keluarga apabila perselingkuhan dilakukan? Bagaimana akal pikiran mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan dari tindakan perselingkuhan? Bagaimana stabilitas ekonomi dan harta keluarga saat berkomitmen dalam keluarga utuh dan bayangan akan hadirnya orang baru dalam keluarga? Bagaimana pandangan keturunan apabila kondisi tersebut terjadi atau juga bagaimana nazab anak yang lahir dari perempuan perselingkuhan yang penuh drama? Bagiamana membaca relasi perempuan dan laki-laki mutakhir?

Sejauh yang saya amati dari pola kehidupan para penyintas perselingkuhan, yang terjadi justru keribetan dan keributan dalam keluarga.

Dengan begitu, dalam konteks maqashid syariah adalah suatu jalan mempertimbangkan kemaslahatan keluarga guna terbentuknya keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Upaya ini jika diterapkan oleh setiap pasangan dalam keluarga bisa jadi mampu menghalau nafsu duniawi yang menggelincirkan diri.

Barangkali, cara ini juga efektif sebagai kontrol diri dalam membentuk kultur yang seolah menyalahkan orang yang datang sebagai pengganggu. Kita tahu bahwa kultur masyarakat kita kerap mengkambinghitamkan orang lain dengan label pelakor dan pembinor, ketimbang tingkatan paling dasar dalam mengenali diri yaitu intropeksi diri.

Dalam fase perselingkuhan hal yang dapat kita lihat dalam tayangan Layangan Putus, misalnya kecenderungan  untuk  pasangan dalam merahasiakan  sesuatu, bertindak  defensif  (bersikap bertahan), serta kebiasaan untuk selalu melakukan kebohongan.

Layangan putus sebagai tayangan viral yang dibicarakan banyak orang, semoga menjadi tontonan yang dapat kita ambil sari pati dan pesan moralnya. Dengan kemampuan menyaring dan memilah setiap tontonan artinya kita dapat memastikan hal apa yang tidak perlu kita jadikan tuntunan menjadi referensi dalam bersikap. Dengan begitu, kita sejatinya sedang berikhtiar untuk menciptakan nuansa yang bahagia, juga memberi kebahagiaan tanpa mengusik kebahagiaan milik orang lain. Semoga.

Dian Meiningtias
Dian Meiningtias
Lulusan Pendidikan Matematika IAIN Tulungagung dan menempuh Magister Hukum Keluarga Islam di kampus yang sama. Kini aktif di desa menemani dan mengisi Badan Permusyawaratan Desa sebagai keterwakilan perempuan, serta berbagai aktivitas sosial pemberdayaan masyarakat di Trenggalek.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru