32.9 C
Jakarta

Perempuan, Hukum Perkawinan, dan Hal yang Tidak Selesai

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan, Hukum Perkawinan, dan Hal yang Tidak Selesai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebagai sesuatu yang sifatnya diklaim sakral, terkadang hukum Islam—secara spesifik fikih—diterima begitu saja tanpa dipertanyakan ulang. Hal tersebut kemudian memunculkan sebuah anggapan untuk tidak melakuan evaluasi terhadap hukum Islam. Mulai dari yang umum hingga mengenai kasus-kasus yang parsial, umapama di mana posisi perempuan di dalam hukum Islam itu sendiri.

Ketika membahas hukum Islam dan perempuan secara spesifik, salah satu yang mungkin menarik untuk dikaji tidak lain pada bagian pernikahan. Musabab nalar yang dianut sistem pernikahan kita masih terkesan patriarkis, maka dapat diasumsikan eksistensi perempuan yang terpinggir.

Dengan bahasa lain yang lebih sederhana, bahwa posisi perempuan di dalam pernikahan seringkali pasif. Posisi seperti ini jelas kurang ideal, apalagi tatkala kita menggunakan pendekatan kesetaraan gender. Posisi pasif seorang perempuan dapat kita lihat dari sistem perceraian, nusyuz, dan lain semacamnya. Apalagi ketika sampai ke dalam pembahasan bahwa yang wajib memimpin dan membina rumah tangga adalah pria.

Tentu nalar demikian masih terkesan bias gender dan tidak meletakkan perempuan dalam relasi yang setara di dalam pernikahan. Untuk melihat hal tersebut dan melakukan pembacaan ulang, kita tidak perlu membangun hukum baru. Sebab hukum di Indonesia, secara spesifik Undang-undang Perkawinan(selanjutnya UUP) nomor 1 tahun 1974, jelas membahas hal itu.

Poin besar yang perlu ditilik di dalam hal ini tidak lain adalah poligami. Hingga detik ini poligami adalah salah satu tema yang tidak pernah padam untuk digaungkan. Bahkan, tren belakangan menunjukkan beberapa ustaz yang dengan semangat mengadakan pelatihan-pelatihan. Ini bisa dijadikan argumentasi bahwa masih banyak pegiat hukum Islam—untuk tidak menyebut dai—yang berpandangan bahwa poligami adalah sesuatu yang dengan mudah dilakukan.

Memang, dasar argumentasi mereka bisa diklaim kokoh musabab menggunakan An-Nisa’[4]:3. Yang jika diterjemahkan secara literal justru hal tersebut dengan sangat mantap memberikan legitimasi pada kebolehan beristri dua, tiga, bahkan empat.

Tetapi jika hal itu ditimbang ulang menggunakan kacamata maqashid as-syariah, tentu akan memberikan konklusi yang berbeda. Hipotesis dan klaim umum yang dikembangkan maqashid as-syariah tidak lain menjadikan kemaslahatan sebagai landasan.

Teori  yang mencapai klimaksnya di tangan as-Syatibi ini sebetulnya melalui proses yang lumayan panjang. Sebelumnya  teori tersebut juga telah dideklarasikan oleh Al-Juwaini dan diteruskan oleh hujjatul Islam, al-Ghazali. Pada intinya, teori ini mengerucut pada semangat kemaslahatan yang harus diperhatikan ketika membaca dan menggali hukum dari nas.

BACA JUGA  Perempuan dan Keadilan Gender: Sebuah Telaah Ulang

Senada dengan itu, apa yang terkandung di dalam UUP juga turut serta memberikan sumbangan baru pada hukum perkawinan Indonesia. Yang dalam istilah Abd. Halim(2019) dianggap sebagai sebuah produk hukum Islam yang bernuansa Indonesia. Lalu, apa yang menjadi hal yang cukup istimewa di dalam UUP tersebut? Tidak lain adalah posisi perempuan, yang dalam hemat saya, lebih dilihat dan dipertimbangkan.

Sebagai contoh, dalam kasus poligami yang dalam UUP diatur sedemikian ketat. Berbeda dengan pandangan yang meniscayakan bahwa syarat untuk poligami hanya adil semata. UUP malah makin dipersempit dan ruang gerak poligami dibatasi. Kemudian muncul, persetujuan izin istri, dan hal lain semacamnya yang turut memperkuat asas dalam hukum perkawinan Indonesia, yakni asas monogami.

Pandangan dan perspektif hukum ini bukan langsung dengan mulus diterima. Beberapa pihak banyak yang menentang dan menganggap bahwa pernikahan adalah hal yang privat dan negara tidak boleh ikut campur. Padahal pernikahan memiliki banyak aspek lain, mulai dari sosial, kegamaan, dan bahkan budaya. Tidak presisi jika hanya menganggap bahwa pernikah itu privasi yang negara sendiri tidak boleh masuk.

Apalagi keterlibatan negara dengan tangan hukumnya di sini dengan iktikad baik, untuk memberikan kesejahteraan terhadap kedua belah pihak yang terlibat kontrak. Makanya, di dalam hukum perkwinan kita, percerain itu ditekan sekecil mungkin—kendati saat ini masih banyak yang bercerai. Itu dimaksudkan agar kesejahteraan keterunan dapat terjamin dan terakomodir dengan baik. Berbeda kasusnya nanti tatakala perceraian justru dibuat sangat longgar.

Di saat yang sama, istri juga punya hak untuk menggugat cerai manakala seorang suami tidak memenuhi hak-haknya. Beberapa hal yang telah dikemukakan di atas, mulai dari izin poligami hingga gugatan cerai seorang istri, memperlihatkan bahwa dinamika hukum perkawinan kita bergerak ke arah yang positif.

Tidak melulu menjadikan perempuan sebagai objek pasif yang keberadaannya tidak didengar, melainkan juga sebagai pelaku (subjek) aktif. Memang tidak akan pernah cukup sampai di situ, bahwa masih banyak orang yang dengan mudah beranggapan poligami sunnah secara mutlak.

Serta jika terdapat sedikit perdebatan terkait hal tersebut adalah hal yang lumrah. Pada akhirnya dinamika hukum perkwinan ini belum selesai dan terus menuju ke arah yang lebih baik serta akomodatif terhadap kepentingan semua pihak, lebih-lebih perempuan. Wallahu a’lam.

Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh
Pegiat literasi dan berdomisili di Yogyakarta. Tercatat sebagai mahasiswa Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga sekaligus bergiat di Garawiksa Institute. Anggitannya telah tersebar di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Harian Merapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dll. Bisa ditemui di surel [email protected] atau Twitter rofqil@bazikh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru