Harakatuna.com – Perkembangan teknologi digital telah membawa banyak manfaat bagi kehidupan modern. Namun, di sisi lain, teknologi juga menciptakan tantangan baru, terutama bagi perempuan. Salah satu tantangan utama adalah penyebaran mispersepsi gender yang berujung pada kejahatan berbasis gender.
Fenomena tersebut meliputi penyebaran konten negatif, pelecehan daring, hingga penggiringan opini yang merugikan perempuan. Dunia digital, yang seharusnya menjadi ruang demokratis dan inklusif, justru jadi lahan subur bagi praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Kejahatan berbasis gender di dunia digital mencakup berbagai bentuk, seperti doxing (pembukaan identitas pribadi korban), revenge porn, pelecehan verbal di media sosial, hingga penyebaran informasi yang salah atau bias tentang perempuan. Sebagai contoh, perempuan kerap menjadi target utama fitnah berbasis gender yang bertujuan merusak reputasi mereka.
Menurut data dari UN Women, satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan berbasis gender di ruang digital. Pelecehan sering terjadi di platform media sosial, tempat perempuan diserang karena penampilan, pendapat, atau status sosial mereka. Lebih parahnya lagi, pelaku bersembunyi di balik anonimitas dunia maya, sehingga sulit untuk diidentifikasi dan ditindak secara hukum.
Mispersepsi gender di dunia digital biasanya bermula dari stereotip yang telah lama mengakar di masyarakat. Contohnya adalah anggapan bahwa perempuan tidak kompeten di bidang tertentu, bahwa peran perempuan hanya terbatas di ranah domestik, atau bahwa perempuan yang vokal dianggap “tidak tahu tempat.”
Anggapan-anggapan tersebut menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi perempuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam diskusi daring. Akibatnya, banyak perempuan yang memilih untuk membatasi kehadiran mereka di dunia maya demi menghindari serangan atau stigma negatif. Hal itu merugikan perempuan secara personal dan menghambat kemajuan masyarakat dalam mencapai kesetaraan gender itu sendiri.
Pandangan Ulama
Imam Ghazali, seorang cendekiawan besar Islam, memiliki pandangan mendalam tentang pentingnya menjaga kehormatan manusia. Dalam karya utamanya, Ihya’ Ulum al-Din, Imam Ghazali menegaskan bahwa menjaga kehormatan seseorang adalah kewajiban setiap orang. Ia berpendapat bahwa kehormatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, merupakan salah satu aspek utama dari maqasid syariah (tujuan utama syariah).
Dalam konteks itu, kejahatan berbasis gender di dunia digital jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Penyebaran fitnah, pelecehan verbal, dan penghancuran reputasi perempuan adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai agama. Imam Ghazali juga mengingatkan bahwa lidah dan pena (atau dalam konteks modern, kata-kata digital) adalah senjata yang paling tajam jika digunakan untuk keburukan.
Ibnu Qayyim Al-Jawziyah juga menyoroti pentingnya menjaga kehormatan perempuan. Dalam kitabnya, Ad-Da’ wa Ad-Dawa’, ia menyebutkan bahwa fitnah terhadap perempuan tidak saja merusak personalnya tetapi juga sosialnya. Fitnah semacam itu, jika dibiarkan, dapat menghancurkan keharmonisan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Islam memandang serius dosa-dosa yang merugikan kehormatan perempuan, termasuk melalui media digital.
Al-Mawardi, seorang ulama fikih dan pemikir politik Islam, turut menekankan pentingnya keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Ia berpendapat bahwa setiap orang memiliki hak untuk dilindungi dari ancaman dan pelecehan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Al-Mawardi percaya bahwa negara memiliki peran penting dalam melindungi warganya dari kejahatan semacam itu, termasuk dengan memberlakukan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan digital.
Keterlibatan Aktif Masyarakat
Dunia digital dengan segala kecanggihannya kadang membawa malapetaka, termasuk fenomena kejahatan berbasis gender. Untuk mengatasi kejahatan tersebut, diperlukan pendekatan yang holistis, melibatkan masyarakat, hukum, dan teknologi. Beberapa langkah dapat dilakukan. Peningkatan literasi digital merupakan langkah strategis yang sangat penting dalam mengurangi penyebaran mispersepsi gender di dunia digital.
Literasi digital itu soal kemampuan menggunakan perangkat teknologi, di samping pemahaman mendalam tentang etika bermedia sosial, cara melindungi data pribadi, dan konsekuensi hukum dari tindakan seperti pelecehan, penyebaran fitnah, atau ujaran kebencian. Pendidikan literasi digital seharusnya menjadi bagian integral dari kurikulum di sekolah dan program pelatihan masyarakat.
Selain itu, perlu diadakan lokakarya dan seminar yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat untuk memperluas pemahaman mereka tentang ancaman kejahatan digital dan bagaimana cara mengatasinya. Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi pengguna internet yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab.
Dalam upaya memerangi kejahatan berbasis gender di dunia digital, penegakan hukum juga memegang peranan penting. Pemerintah harus menunjukkan komitmen yang tegas dalam melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender di dunia maya. Di Indonesia, misalnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat menjadi instrumen yang efektif jika diterapkan secara adil, tanpa diskriminasi, dan transparan.
Namun, banyak kasus menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum kerap bias, sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pelatihan aparat penegak hukum agar mereka dapat menangani kasus kekerasan digital dengan lebih profesional. Selain itu, pengadilan harus memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku untuk memberikan efek jera dan menunjukkan bahwa kejahatan digital tidak akan ditoleransi.
Perusahaan teknologi juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial dalam memerangi kekerasan berbasis gender di dunia digital. Meta dan X harus proaktif dalam melindungi penggunanya. Algoritma yang digunakan untuk moderasi konten perlu terus disempurnakan agar lebih sensitif terhadap konten bermuatan kekerasan atau pelecehan.
Selain itu, platform digital harus menyediakan mekanisme pelaporan yang lebih efektif dan ramah pengguna, sehingga korban dapat melaporkan kasus pelecehan dengan mudah dan merasa dilindungi. Penegakan kebijakan terhadap akun-akun anonim yang menyebarkan kebencian juga perlu diperkuat, termasuk dengan mengharuskan validasi identitas pengguna tertentu untuk meminimalisir penyalahgunaan. Dengan langkah tersebut, platform digital dapat menjadi ruang yang lebih aman dan inklusif.
Di sisi lain, kampanye kesadaran juga sangat diperlukan untuk memerangi stereotip gender yang menjadi akar masalah kekerasan di dunia digital. Organisasi masyarakat sipil, komunitas perempuan, dan aktivis online perlu terus menyuarakan pentingnya kesetaraan gender. Kampanye dapat berbentuk seminar, diskusi daring, hingga kampanye media sosial yang melibatkan figur publik untuk menarik perhatian lebih banyak orang.
Narasi-narasi positif tentang peran perempuan dalam masyarakat perlu diperkuat untuk melawan stereotip lama yang membatasi peran mereka. Misalnya, kampanye yang mempromosikan perempuan di bidang sains, teknologi, dan kepemimpinan dapat memberikan inspirasi kepada generasi muda untuk menembus batasan-batasan yang selama ini ada.
Fenomena kejahatan berbasis gender di dunia digital tidak sekadar merugikan perempuan secara personal tetapi juga berdampak pada struktur sosial secara keseluruhan. Mispersepsi gender yang terus berkembang akan memperlebar kesenjangan sosial dan merusak harmoni masyarakat. Pandangan para ulama seperti Imam Ghazali, Ibnu Qayyim, dan Al-Mawardi memberikan pelajaran penting tentang pentingnya menjaga kehormatan dan martabat setiap Muslim.
Nilai-nilai tersebut menegaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan bukan saja tanggung jawab moral tetapi juga kewajiban agama. Dalam konteks era digital, nilai-nilai tersebut harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, regulasi, dan tindakan nyata.
Membangun dunia digital yang lebih adil, inklusif, dan bermartabat memerlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan perusahaan teknologi. Semua pihak harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem digital yang aman dan mendukung keberagaman. Dengan langkah-langkah kolektif, dunia digital dapat menjadi ruang yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan, sehingga memberikan manfaat maksimal bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.