30.8 C
Jakarta
spot_img

Perempuan dalam Pusaran Konflik Suriah: Hidup di Tengah Kekerasan Sistematis

Artikel Trending

KhazanahTelaahPerempuan dalam Pusaran Konflik Suriah: Hidup di Tengah Kekerasan Sistematis
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Konflik di Suriah kembali berkobar. Sorak gembira masyarakat karena sudah menang melawan rezim diktator dan otoriter . Setelah bertahun-tahun menghadapi pemberontak, rezim Assad tumbang di tangan pemberontak pasukan Hay’at Tahrir al-Syam (HTS). Pasukan HTS berhasil merebut kota-kota yang dikuasai oleh Assad, yakni: Aleppo, Homs, dan Damaskus. Perlu diketahui bahwa, HTS, sebelumnya dikenal sebagai Front Nusra, kelompok sayap resmi Al-Qaeda dalam perang Suriah, hingga kemudian memutuskan hubungan pada tahun 2016.

Tidak heran ketika rezim Assad berhasil ditumbangkan oleh Assad, kaum ekstremis menganggapnya sebagai revolusi Syam. Seruan jihad global dan menegakkan khilafah, bisa dipastikan terus menggema karena kemenangan HTS. Oleh karena itu, upaya pencegahan agar radikalisme, ekstremisme tidak semakin menyebar di Indonesia, perlu terus diperkuat melalui literasi dan edukasi tentang akar masalah konflik yang berada di Suriah, termasuk kemenangan HTS.

Meski demikian, di balik dari kekhawatiran yang terus hidup pasca kemenangan HTS, salah satu kelompok yang sampai hari ini menjadi korban berlapis di negara konflik tersebut adalah perempuan. Mengapa demikian? Di negara konflik, di mana terjadi peperangan, perempuan kerapkali dijadikan tumbal dari segala persoalan yang terjadi. Pelecehan, pemerkosaan ataupun kekerasan seksual, menjadi salah satu hal lumrah yang didapat oleh perempuan ketika tinggal dalam sebuah negara konflik. Tidak hanya itu, akan ada banyak perempuan yang menjadi ibu tunggal, di mana peran tersebut sangat rentan untuk mengalami pelecehan seksual, ekonomi, dll.

Berdasarkan laporan BBC yang diterbitkan pada tahun 2018, perempuan-perempuan di Suriah dieksploitasi secara seksual oleh pria-pria yang menyaluarkan bantuan atas nama PBB dan lembaga bantuan internasional. Para pekerja lembaga bantuan internasional yang datang memberikan makanan dan minuman meminta imbalan dengan layanan seksual.

Ketergantungan terhadap lembaga bantuan internasional, karena perempuan mengalami kekerasan ekonomi, menjadikan perempuan tidak mandiri, sehingga pilihan untuk melakukan layanan seksual kepada pemberi bantuan, sering menjadi pilihan satu-satunya dan terakhir, untuk bertahan hidup di tengah pusaran konflik yang terjadi. Tidak hanya itu, nasib buruk juga menimpa para pengungsi perempuan yang juga mendapatkan perlakuan diskriminasi hingga pelecehan.

BACA JUGA  Terorisme: Menghasut dengan Janji Surga dan Negara Islam yang Sempurna

Tulane, seorang ibu tunggal dari Suriah yang mengungsi bekerja di Turki, mengaku bahwa pilihan hidupnya menjadi seorang juru masak dengan penghasilan yang kecil (red: di bawah UMR) dan menghidupi 6 anak, kerapkali mendapatkan eksploitasi seksual dan ekonomi. Sang suami meninggalkan dirinya dan Kembali ke Suriah karena tidak tahan dengan kondisi perekonomian yang kecil. Sedangkan Tulane, memutuskan tidak kembali ke Suriah karena pendidikan anak-anaknya akan terhambat serta harus berjuang melawan kelaparan, pelecehan dan xenophobia.

Tidak hanya Tulane, Lamya (bukan nama sebenarnya), tinggal di sebuah tempat yang dekat dengan limbah tersebut, mengaku tidak memiliki pilihan hidup yang lain, karena rumah lamanya selalu dirampok. Menjadi ibu tunggal dan hidup di negara orang sebagai pengungsi, membuat dia mendapatkan ancaman menjadi korban pelecehan seksual. Di tempatnya bekerja, ia harus bertahan di tengah ancaman menjadi korban pelecehan seksual, selain kekerasan ekonomi yang terus menghantui. Kehidupan semacam itu, terpaksa dijalaninya karena untuk masa depan dirinya dan anak-anaknya dibandingkan dengan kembali ke Suriah.

Kisah-kisah serupa akan terus berdatangan dari perempuan Suriah. Dengan cerita yang berbeda tapi serupa, perempuan Suriah hidup di tengah ketakutan ancaman, dan masa depan kelam menghadapi problematika hidup di negara konflik. Perempuan Suriah mengalami berbagai kekerasan, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, hingga kekerasan finansial. Kondisi ini juga tidak lepas dari pengabaian perlindungan terhadap kondisi kehidupan perempuan, yang rentan menjadi korban kekerasan.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru