29.9 C
Jakarta
Array

Perdamaian Antara Rukyat dengan Hisab?

Artikel Trending

Perdamaian Antara Rukyat dengan Hisab?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perdamaian Antara Rukyat dengan Hisab?

Oleh: KH. Afifudin Muhajir*

Dalam menentukan awal bulan ramadhan dan bulan syawal untuk memulai dan mengakhiri puasa, sampai saat ini jumhur (mayoritas ulama) berpedoman pada rukyat. Yg dimaksud adlh melihat bulan baru (هلال) dengan mata kepala (رؤية بصرية)، bukan penglihatan ilmiyah (رؤية علمية) dg menggunakan perhitungan (حساب).

Bila penglihatan riil dengan mata kepala tidak terjadi meski karena terhalang awan mereka menggenapkan bulan Syakban/Ramadhan menjadi 30 hari.

Dasar mereka adalah hadis riwayat Abu Hurairah Ra bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غمّ عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما. متفق عليه

Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal, jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan Syakban menjadi 30 hari. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis riwayat Ibnu Umar ra, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له

Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (Ramadan) dan janganlah kamu berhenti berpuasa sehingga kamu melihat hilal Syawal, jika jika hilal tertutup bagimu maka…

Bagi jumhur, sabda Nabi (فاقدروا له) merupakan tafsir/penjelasan terhadap sabda Nabi pada hadits yg pertama (فأكملوا عدة) yg bermakna: sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari.

Seorang imam besar dari kalangan ulama Syafi’iyah, Abul Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij mengkompromikan dua riwayat hadits di atas dengan menggunakan pendekatan yang dalam istilah sekarang disebut dg teori multi dimensi (نظرية تعدد الأبعاد), yaitu bhwa sabda Nabi (فاقدروا له) bermakna: “perkirakanlah hilal itu dg menghitung posisi-posisinya”. Ini ditujukan kpd mereka yg oleh Allah dianugerahi pengetahuan tentang hisab, sedang sabda Nabi (فاكملوا عدة) ditujukan kpd mereka yang awam di bidang ilmu itu. (Fatawa Qardhawy).

Yang menarik adalah pendapat imam Taqiyuddin Assubky yang diakui memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Pendapat beliau dalam masalah ini antara lain dikemukakan oleh Assayyid Abu Bakar Syatha di dalam hasyiyah I’anah al-Thalibin:

(فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته ، قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لان الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع.

Jika satu orang atau dua orang bersaksi bahwa dia/mereka telah melihat hilal sementara secara hisab hilal tidak mungkin terlihat, maka menurut Assubky kesaksian itu tdk diterima, karena hisab besifat pasti sedangkan rukyat bersifat dugaan, tentu yg bersifat dugaan tdk bisa mengalahkan yg pasti.

Substansi dari pendapat ini ialah bahwa hisab menjadi dasar dalam rangka menafikan, tdk dlm rangka menetapkan.

الحساب حجة في النفي لا في الإثبات

Assayyid Abu Bakar Syatha mengomentari pendapat imam Assubky dengan mengatakan:

والمعتد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحساب

Menurut pendapat yang mu’tamad, kesaksian tersebut diterima, karena pendapat ahli hisab tidak mu’tabar (tidak masuk hitungan).

Alasan Imam Assubky : (لان الحساب قطعي والرؤية ظنية) untuk menolak rukyat ketika bertentangan dengan hisab perlu digarisbawahi kemudian ditarik ke kondisi saat ini di mana ilmu astronomi modern telah begitu maju dn akurasinya benar-benar meyakinkan (قطعي). Dengan ilmu ini, para ahli astronomi bisa memprediksi terjadinya gerhana beberapa ratus tahun sebelum terjadinya dengan sangat akurat menyangkut tahun, bulan, minggu, hari dan jam, bahkan menitnya.

Dg begitu akurat (قطعي)nya ilmu astronomi saat ini maka rukyat yg semula bersifat dugaan kuat (مظنونة)، ketika bertentangan dg hisab turun menjadi sesuatu yg diragukan (مشكوك فيها), bahkan

hanya bersifat asumsi saja (موهومة).

Pendapat imam Assubky ini merupakan jalan tengah(المنهج الوسطي), sekaligus menjadi ajang perdamaian antara yang fanatik rukyat dengan yg fanatik hisab.

Jika pemerintah berpegang pda pendapat ini maka tidak perlu menyiapkan tenaga dan biaya yang cukup besar yang dibutuhkan untuk melakukan pemantauan hilal (الترائي)، ketika seluruh ahli hisab/astronomi sepakat mengatakan bahwa hilal tidak mungkin dirukyat.

* Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru