26.1 C
Jakarta

Inilah Perbedaan Antara Iddah dan Ihdad dalam Islam

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamInilah Perbedaan Antara Iddah dan Ihdad dalam Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perkawinan merupakan masalah yang lumrah bagi kehidupan manusia, karena disamping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk keluarga, perkawinan juga merupakan kodrati manusia untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Sebenarnya sebuah perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia dengan manusia yaitu sebagai hubungan keperdataan, tetapi perkawinan juga memuat unsur sakralitas yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya. Hal ini terbukti bahwa semua agama mengatur tentang pelaksanaan perkawinan dengan peraturannya masing- masing, termasuk peraturan iddah ketika mengalami perceraian dan kematian suami.

Begitu juga menurut Islam perkawinan adalah perikatan suci antara pria dan wanita sesuai yang telah ditentukan oleh Allah untuk hidup bersama, guna untuk mencapaimasyarakat yang mulia.Perkawinan merupakan akad yang sangat kuat untuk mematuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Sebagaimana yang Allah nyatakan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 21 :“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. (An- Nisa [4] : 21)

Islam menghormati perempuan sebagai manusia yang mempunyai peran sebagai isteri, ibu, bahkan sebagaiseorang anggota masyarakat.Keberadaan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya maka dia wajib melaksanakan ‘iddah dan ihdād.Adapun yang dimaksud dengan ‘iddah dan Ihdād telah jelas dipaparkan definisinya masing masing didalam kitab kitab klasik karangan ulama-ulama Syāfi’iyyah terdahulu, sebagai mana yang diterangkan oleh Syaikh Zainuddin Ahmad ibn Abd Al-Aziz Al-Malibarydidalam kitab Fath Al-Mu’innya dalam mendefinisikan ‘iddah sebagai berikut :

وهي شرعا مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها من الحمل أو للتعبدولتفجعها على زوج مات

Artinya :

“‘Iddah menurut syara’ ialah : Masa menunggu buat wanita (tercerai), untuk bisa diketahui rahimnya bebas kandungan, atau untuk ta’abbud atau belasungkawanya atas kematian sang suami”. (Zainuddin Ahmad ibn Abd Al-Aziz Al-Malibary, Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurrah Al-‘in bi Muhimmah Al-Din, Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014,  h. 523.)

Sedangkan definisi ihdādsebagai berikut:

ترك لبس مصبوع لزينةوإن خشن

Artinya: “Meninggalkan pakaian yang berwarna sebagai perhiasan sekalipun itu kain kasar” ( Zainuddin Ahmad ibn Abd Al-Aziz Al-Malibary, Fath Al-Mu’in…, h. 526).

Syarian Iddah untuk Menghindari Kekerasan Pada Perempuan

Dalam Islam, fenomena  ‘iddah dan ihdād sudah ada sejak sebelum datangnya islam, sebagaimana yang terjadi pada perempuan yang ditinggal mati suaminya.Ketika suami meninggal mereka menerapkan aturan yang sangat kejam, sang istri harus menampakkan rasa duka cita yang mendalam atas kematian suaminya. Ini dilakukan dengan cara mengurung diri dalam kamar kecil yang terasing. Mereka juga dituntut memakai baju hitam yang sangat jelek. Mereka juga dilarang melakukan beberapa hal, seperti berhias diri, memakai harum-haruman,mandi,memotongkuku,memanjangkanrambut,dan menampakkan diri di hadapan khalayak. Itu dilakukan setahun penuh.

BACA JUGA  Apakah Boleh Menjual Ginjal untuk Biaya Kampanye?

Diskriminasi kaum perempuan mulai berubah sejak datangnya agama Islam.Derajat kaum perempuan banyak yang terangkat karena datangnya agama Islam. Perempuan yang pada mulanya tidak mendapat warisan setelah Islam datang mendapatkan warisan, walaupun besarnya hanya separuh dari besarnya warisan laki-laki, sebagaimana yang tercantum dalam surat An-Nisa ayat 11 :

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An-Nisa [4] : 11)

Begitu juga praktik poligami yang tanpa batas, setelah Islam datang dibatasi menjadi empat istri, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran sebagai berikut:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilaman kamu mengawininya), Maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi:  dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”. (An-Nisa [4] : 3)

Beranjak dari itu, Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu tunggu dan berkabung bagi seorang isteri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan diri perempuan.Sesuai dengan keterbatasan dan kesederhanaan piranti teknologis pada waktu itu dan pertimbangan etis moral lainnya, dibuatkanlah suatu ketentuan yang disebut ‘iddah dan Ihdād.

Para Ulama Syāfi’iyyah sepakat bahwa wajib hukumnya melaksanakan ihdād pada masa ‘iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya.Para fuqaha berpendapat bahwa perempuan yang sedang ber-ihdād dilarang memakai perhiasan, berdekatan dengan plaki-laki yang bukan mahram, dan melakukan semua perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.

 

 

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru