26.2 C
Jakarta
Array

Perang Semesta Melawan Ideologi Terorisme

Artikel Trending

Perang Semesta Melawan Ideologi Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kemajuan teknologi melalui media internet membuat program penyebaran paham terorisme makin mudah dan makin sulit dilacak. Pola radikalisasi menjadi kian modern dan menyebar tanpa banyak tatap muka. Tak jarang juga, ia juga melibatkan organisasi yang sebetulnya masih “abu-abu” keterikatannya dalam menanamkan ideologi terorisme. Akibatnya, sejumlah penduduk Indonesia rela berbuat kekerasan dengan mengatasnamakan kepercayaan dan bahkan ada juga yang mau melakukan bunuh diri dengan bom di tempat-tempat umum.

Faktor Penyebab

Melawan ideologi terorisme harus dimulai dengan memahami faktor yang menjadi penyebab kemunculannya. Dalam konteks ini, terdapat tiga teori yang dapat menjelaskan factor penyebab kemunculan ideologi terorisme.

Pertama, teori struktural. Teori ini mengaitkan terorisme dengan sebab-sebab eksternal seperti politik, sosial, budaya, dan ekonomi.  Faktor tersebut berupa akumulasi kekecewaan kelompok radikalis, terutama yang berkaitan dengan kegagalan elite dalam merealisasikan penegakan hukum (law enforcement) dan cita-cita politik Islam. Ini dapat dipahami karena gerakan keagamaan bercorak radikal selalu memiliki agenda politik seperti mendirikan negara Islam dan formalisasi syariah.

Kedua, teori psikologi. Teori ini menjelaskan motivasi seseorang sehingga terpesona dengan gerakan terorisme. Melalui penjelasan psikologi dapat diketahui latar belakang sosial dan kejiwaan pelaku terorisme, mulai proses rekrutmen, pengenalan, kepribadian, penanaman ideologi, hingga motivasi anggotanya.  Misalnya, ditemukan fakta bahwa pelaku terorisme adalah mereka yang mengalami keterasingan sosial (alienasi). Dalam kondisi ini, tak heran para pelaku terorisme dengan sukarela mereka siap menjadi ”pengantin” untuk melakukan bom bunuh diri. 

Ketiga, teori pilihan rasional. Teori ini menjelaskan adanya kalkulasi untung rugi yang menjadi pertimbangan pelaku terorisme. Artinya, dalam teori ini, diperoleh penjelasan bahwa faktor cost and benefit bisa juga menjadi pertimbangan pelaku. Fakta itu menunjukkan adanya alasan ekonomi di balik keberanian mereka bergabung dengan gerakan radikalisme. Meskipun, ada juga individu yang tergoda masuk jaringan terorisme dengan pertimbangan keagamaan (baca: keinginan masuk surga), misalnya ingin mati syahid.

Tidak Memberikan Kesempatan

Berkaitan dengan keinginan untuk melawan penyebaran ideologi terorisme di negeri ini, hal yang harus dilakukan ialah tidak memberikan kesempatan terhadap munculnya tindakan radikal. Keinginan itu akan tercapai jika faktor-faktor yang menjadi pemicu terorisme berhasil diminimalkan. Termasuk persoalan ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, dan politik serta kepentingan elite.

Kita pahami, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh dari terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Ini terlihat dari maraknya kasus korupsi oleh elite politik dan logika hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Di sisi lain, ekonomi Indonesia juga masih sangat jauh dari kondisi sejahtera. Oleh sebab itu, pemerintah harus saling bahu-membahu mewujudkan hal tersebut guna mencegah adanya tindakan terorisme yang dilakukan oleh warga negara Indonesia (WNI).

Hanya saja, selain hal tersebut, kita juga perlu menegakkan pilar-pilar civil society di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, kita bisa menanamkan serta menerapkan prinsip sikap waspada radikalisme dengan senantiasa mengedepankan sikap cinta damai dan toleransi (tasamuh). Sebab, Hrair Dekmejian (1980) pernah menjelaskan bahwa gerakan teroris memiliki tiga sifat: merata (pervasiveness), memiliki banyak pusat (polycentrism), dan berjuang terus-menerus (persistence). 

Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pertama, membentengi keluarga dari bahaya ideologi terorisme. Pemahaman agama di keluarga harus makin ditingkatkan agar tidak mudah dipengaruhi kelompok teroris. Misalnya, pemahaman tentang jihad dan hijrah harus benar. Sehingga tidak mudah dimanipulasi pihak lain. Bahkan, dalam Islam yang benar, mengurus keluarga, bekerja, mendidik anak pun termasuk kategori jihad.

Kedua, mendorong peran masyarakat untuk saling mengawasi komunitas di sekitarnya. Mereka ibarat CCTV yang beroperasi selama 24 jam yang berfungsi mengontrol komunitas/tetangga di sekitarnya. Ini sebagai bentuk strategi membangun sistem deteksi dini (cegah-tangkal). Tentunya, jaringan teroris tidak akan bisa beraksi atau membentuk kelompok di daerah tersebut apabila ada kesadaran masyarakat untuk melakukan pendekatan dan mengingatkan tetangganya apabila terdapat gerakan yang dicurigai adalah bentuk terorisme. Selain itu, para ketua RT dan RW sebagai ujung tombak institusi pemerintah di tingkat komunitas harus lebih memperhatikan warga yang tinggal di lingkungan sekitar. Jangan sampai ada warganya yang akhirnya terpengaruh ideologi terorisme.

Ketiga, aparat keamanan harus makin peka atas potensi gangguan keamanan yang dilakukan kelompok menyimpang. Badan intelijen pun harus makin cerdas mengendus situasi. Hal ini karena zaman yang kian canggih telah membuat pelaku terorisme melakukan regenerasi ideologi terorisme secara canggih pula. Inilah yang kemudian membuat banyak orang tertipu dan tercuci otaknya sehingga rela melaksanakan tindakan terorisme. 

Untuk itu, hal yang tidak kalah pentingnya untuk diwujudkan adalah aparat keamanan harus memperlakukan secara baik mereka yang direkrut kelompok menyimpang sebagai korban. Karena yang perlu kita tangkap dan hancurkan adalah aktor intelektualnya. Mereka yang menjadi korban bisa jadi telah dicuci otaknya sehingga tidak sadar mereka rela melakukan tindakan-tindakan terorisme yang menyimpang.

Dengan memasifkanupaya-upaya tersebut, serta didukung dengan sinergi setiap elemen masyarakat, kita bisa melaksanakan perang semesta melawan terorisme. Dengan cara begitulah, Indonesia akan benar-benar aman dari bahaya ideologi terorisme. Wallahu a’lam.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru