Judul: Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur, Penulis: Hilful Fudhul Sirajuddin Jaffar, Penerbit: IRCiSoD, Cetakan: Oktober 2020, Tebal: 132, Peresensi: Willy Vebriandy.
Bagaimana islamisasi Nusantara terjadi, hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Para sejarawan masih berbeda pendapat mengenai kapan dan bagaimana islamisasi itu berlangsung. Pandangan dominan menyebut, bahwa awal mula islam berkembang di Nusantara karena dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Pendapat ini dikemukakan oleh orientalis terkenal Snouck Hurgronje.
Teori Gujarat walaupun menjadi pandangan arus utama, teori tersebut mendapat bantahan dari banyak orang. Ahmad Baso dalam bukunya berjudul Islamisasi Nusantara: Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo (Studi tentang Asal-Usul Intelektual Islam Nusantara), secara terang-terangan membantah teori Gujarat.
Menurut Baso, islam masuk ke Nusantara bukan dari India, tapi langsung dari Arab karena dibawa oleh para wali keturunan Rasulullah. Bahkan, proses islamisasi itu sendiri sudah terjadi sejak zaman Khalifah Usman bin Affan, dengan dibuktikan oleh laporan Cina tentang utusan Khalifah ke Istana Cina di tahun 651 M. Laporan ini menunjukan kalau orang Islam sudah berlalu-lalang di kawasan Asia Selatan hingga Tenggara sejak zaman Khalifah Usman bin Affan. Artinya islamisasi sudah dimulai sejak saat itu.
Sejarawan Azyumardi Azra juga membantah teori Gujarat. Dalam satu artikel di Majalah Tempo, edisi 23 Mei 2020, berjudul, Wali, Islamisasi, dan Unifikasi Nusantara, ia menyebut bahwa teori Gujarat harus ditolak karena tidak sesuai fakta sejarah. Azyumardi lalu menggagas teori mata air islamisasi Nusantara.
Teori ini berpandangan bahwa islam di Nusantara menjadi titik temu dan titik silang lintas samudera dan lintas benua. Dia menjadi lokus besar pertukaran agama, sosial budaya, ekonomi perdagangan, dan ilmu pengetahuan. Maksudnya Islam datang dari berbagai mata air hingga membentuk sesuatu yang kemudian disebut Islam Nusantara.
Mata air ini ada yang besar ada yang hanya tetesan. Mata air terbesar datang dari Arab, meliputi wilayah Hijaz, Mesir, dan Irak. Teori ini membantah pandangan yang menyebut bahwa islamisasi Nusantara terjadi semata karena pengaruh dari Gujarat, India.
Mana pendapat yang benar, tidak ada yang tahu. Namun yang pasti, banyaknya pendapat mengenai bagaimana awal mula islamisasi Nusantara terjadi, menunjukan bahwa topik ini merupakan kajian yang belum selesai dan akan selalu berjalan dinamis ke depannya.
Buku Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur (2020), karya Hilful Fudhul Sirajuddin Jaffar, adalah satu dari sekian produk intelektual paling mutakhir yang mencoba menjawab berbagai pertanyaan mengenai bagaimana islamisasi Nusantara terjadi. Dalam buku terbarunya ini, Hilful menelusuri bagaimana terjadinya proses islamisasi di Nusantara/Indonesia dengan fokus pada wilayah bagian timur.
Kajian yang Hilful lakukan merupakan kajian yang tidak terlalu populer dalam khazanah keislaman di tanah air. Umumnya publikasi mengenai islamisasi Nusantara, hanya berkutat pada islamisasi yang terjadi di Jawa dan Sumatera. Kajian mengenai islamisasi untuk wilayah timur masih cukup minim ditemui.
Hilful sendiri mengakui, bahwa bisa jadi minimnya literatur yang secara lengkap dan detil mengkaji Islam di wilayah timur diakibatkan oleh minimnya tradisi kearsipan, sehingga membuat para sejarawan sedikit sekali menuliskan tentang penyebaran Islam di wilayah timur [hlm. 25]. Hal itulah yang coba Hilful jembatani dalam buku pertamanya ini.
Buku Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur, merupakan buku kumpulan tulisan yang memotret bagaimana dinamika islamisasi di Indonesia timur. Meski bentuknya kumpulan tulisan, namun buku ini memberi kerangka berpikir yang berguna untuk melihat bagaimana islamisasi terjadi di timur. Hilful mendasarkan tulisannya kepada berbagai naskah lokal serta sejarah lisan yang berkembang di timur.
Menurut Hilful, proses islamisasi yang terjadi di timur tidak bisa dilepaskan dari jejaring Wali Songo yang ada di Jawa. Hal itu dibuktikan dengan munculnya tokoh sentral dalam pengislaman beberapa daerah timur, berupa Datuk ri Bandang yang merupakan murid dari Sunan Giri, seperti termuat dalam naskah Panombo Lombok [hlm. 11]. Peran Sunan Giri inilah yang oleh Hilful dikupas lebih jauh dalam berbagai tulisannya.
Dalam proyek islamisasi Indonesia timur, Sunan Giri menjadi tokoh kunci dalam proses tersebut. Dalam proses islamisasi di Lombok misalnya, terdapat naskah bernama Panombo Lombok yang menceritakan mengenai bagaimana islam menyebar di daerah itu. Dalam naskah tersebut, dikatakan bahwa islam di Lombok disebarkan langsung oleh Sunan Giri.
Sedangkan menurut naskah BO Sangaji Kai dikatakan bahwa islam masuk di sana melalui utusan dari Gowa, yaitu Datuk ri Bandang. Walaupun ada perbedaan, tapi tetap saja Sunan Giri menjadi tokoh kunci penyebaran islam di timur, karena Datuk ri Bandang adalah murid dari Sunan Giri [hlm. 29].
Hal tersebut menjadi bukti bahwa jejaring Wali Songo tidak saja hanya sebatas di Jawa, akan tetapi sampai ke luar Jawa, seperti di Makassar, Bima, dan Lombok sesuai dengan yang tercatat pada naskah masing-masing daerah. Realita demikian menjadi informasi penting untuk melihat bagaimana Islam berkembang di Nusantara.
Islam tidak menyebar melalui perang atau todongan senjata. Islam justru menyebar melalui peran para ulama yang saling berjejaring dalam menyebarkan islam. Artinya penyebaran islam di seluruh nusantara semuanya terhubung satu sama lain. Entah terhubung oleh garis keturunan atau hubungan keilmuan.
Apa yang Hilful tulis dalam Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur, menunjukan bahwa islam menyebar melalui jaringan para ulama yang secara keilmuan berujung kepada Sunan Giri. Hal ini secara tidak langsung membantah asumsi yang termuat dalam film Jejak Khilafah (2020) yang menyebut bahwa Islam di Nusantara berhasil menyebar karena pengaruh dinasti Turki Usmani. Faktanya dalam naskah lokal, islamisasi di Nusantara justru dilakukan oleh para ulama dari tanah Nusantara sendiri.
Buku Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur adalah buku penting yang dapat menjadi pembuka atau pengantar untuk memulai kajian lebih komprehensif mengenai bagaimana islamisasi terjadi di Nusantara. Buku ini dapat menjadi pemantik untuk membuat kajian sejenis mengenai bagaimana proses islamisasi berlangsung di berbagai kawasan lain di Nusantara, tidak hanya di bagian timur seperti yang Hilful Fudhul lakukan.