29.8 C
Jakarta
Array

Peran Strategis Ulama Indonesia Masa Kini

Artikel Trending

Peran Strategis Ulama Indonesia Masa Kini
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam membangun bangsa yang maju besar dan beradab, agama memiliki peran yang sangat besar. Sebagai organisasi sosial keagamaan, sejak dulu ulama-ulama berperan sangat besar dalam mengayomi dan membangun masyarakat, baik melalui pendidikan, dakwah dan lain sebagainya.

Peran ulama yang sedemikian besar itu diemban oleh para ulama tidak lain karena ulama adalah pewaris dari ajaran nabi (al ulama waratsatun anbiya). Rasululullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya ulama itu pewaris nabi, sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad Al Hakim, Al Baihaqi dan Ibnu Hibban).

Sementara tugas ulama selain liyatafaqqahu fiddin, mengggali, merumuskan dan mengembangkan pemikiran keagamaan, juga memiliki tugas yang tidak kalah pentingnya dan bahkan sangat strategis yang berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaaan yaitu tugas liyundziru qaumahum (membangun masyarakat) yakni membentuk kepribadian.

Dalam kaitan dengan masalah masyarakat, Ulama masa kini memiliki beberapa tugas. Pertama adalah pembangunan mental-spiritual, pembentukan kepribadian atau karakter masyarakat (character building) dan nation state building (wawasan kebangsaan dan kenegaraan) ini sangat penting agar lahir kader atau masyarakat yang memiliki sikap, memiliki ketegasan, memiliki prinsip serta memiliki tanggung jawab baik terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia dan terhadap bangsa dan Negara.

Karena itu para ulama memiliki tugas kedua yaitu nation building (pembangunan bangsa). Dengan adanya pembantukan karakter itulah pembangunan bangsa bisa dilaksanakan dan ini merupakan modal dasar bagi membangun Negara. Dengan nation building ini maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani, karena memiliki kepribadian nasional yang kokoh, sehingga bisa berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa beradab yang lain.

Tugas ketiga adalah criticism buiding (membangun sikap kritis), ini sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Allah SWT berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110).

Sebagaimana sering ditegaskan bahwa sikap ulama terhadap negara taat mutlak bahwa negara harus dijaga dan dibela, tetapi terhadap pemerintah yang ada ulama menerapkaunn prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sementara dalam melakukan amar ma’ruf sendiri perlu menggunakan etika, “Amar ma’ruf bil ma’ruf.”(Barangsiapa mengajak kebaikan maka dengan cara yang baik pula).

Sikap kritis Ulama dalam mendukung atau mengkritik pemerintah ini didasari oleh pertimbangan etis, bukan oleh pertimbangan politis, karena itu akan dilakukan terus walaupun Ulama sudah banyak di Partai Politik dan Ormas, namun ulama memang memiliki tugas moral atau etis. Pun demikian dalam mencegah kemunkaran (nahi munkar) dengan cara yang baik juga (nahi munkar bil ma’ruf).

Kembali pada upaya character building dan nation building, ini merupakan langkah yang sangat mendesak saat ini, karena ini merupakan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ketika sekolah dan lembaga pendidikan lain termasuk lembaga kebudayaan yang ada tidak melakukan tugas ini.
Sementara gelombang globalisasi yang begitu besar menghancurkan sendi-sendi bangsa ini di semua sektor kehidupan, sehingga terjadi kemerosotan moral dan lunturnya karakter. Penanaman rasa cinta tanah air dan bangga terhadap sejarah serta peradaban sendiri itu dilakukan karena berdasarkan pertimbangan bahwa: “barang siapa tidak memiliki tanah air dan tidak mencintai tanah air, maka tidak memiliki sejarah, barang siapa tidak memiliki sejarah maka tidak memiliki memori dan karakter”.

Bagi orang atau bangsa yang tidak memiliki memori maka dia akan menjadi bangsa tidak memiliki karakter, dan bangsa yang tidak memiliki karakter akan kehilangan segalanya. Politiknya akan hilang, peradabannya akan merosot dan aset ekonominya pun akan dijarah bangsa lain akhirnya akan menjadi bangsa yang miskin dan tidak terhormat. Inilah pentingnya menanamkan rasa cinta tanah air, dan karena itu tidak henti-hentinya, ulama-ulama Indonesia sejak jaman dahulu menanamkan rasa cinta tanah air.

Penegasan pada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI ini merupakan bentuk paling nyata dari rasa cinta tanah air tersebut. Itulah sebabnya ditegaskan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Dalam pengertian itulah agama ditempatkan sebagai unsur mutlak dalam nation dan character building. (Pidato Ketua Umum PBNU KH Said Agil Siraj, di acara Harlah NU ke 89).

Pentingnya pendidikan karakter ini tentu menjadi kewajiban para ulama untuk membentuk kader-kader pejuang umat. Syarat-syarat berjuang bagi umat Islam di zaman sekarang menurut Prof Dr Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah” (spiritualisme sosial) dengan: (1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci al Qur’an; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad SAW melalui sunnah dan Sirah Nabawiyah (membaca biografi Nabi); (3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti ulama dan tokoh Islam yang zuhud; (4) Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al Qur’an dan sunnah dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah.

KH Sahal Mahfudz dalam bukunya, Nuansa Fiqih Sosial, telah mengisaratkan akan adanya kemungkinan munculnya kekhawatiran berlebihan, yang dapat menimbulkan keputusasaan dan sikap pesimis di kalangan umat terhadap gejala kekosongan ulama, sehingga akan mendorong persiapan sedini mungkin.

Pembicaraan kali ini menyangkut ulama. Tidak sembarang orang boleh dan mampu memberikan kriteria ulama, karena ia memiliki nilai lebih yang sering kali tidak dapat dijangkau oleh keawaman umat. Saya hanya menggunakan kriteria dan batasan ulama menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin yang menyebutkan, ulama adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, alim dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu-ilmu ukhrawi, senantiasa ikhlas karena Allah dan faqih dalam segala aspek kemaslahatan umat.

Dari kriteria itu, yang seringkali tidak dipahami secara benar adalah sebutan “faqih” bagi ulama. Ada dua pengertian yang hampir sama, yakni faqih dan mutafaqqih. Faqih secara harfiah berarti seorang yang alim fiqih. Sementara mutafaqqih adalah orang yang menguasai fiqih. Kedudukan faqih berada di atas mutafaqqih, karena di dalam mengkaji masalah-masalah fiqih seorang faqih tidak hanya memahami teks-teks kodifikasi fiqih yang sudah matang, tetapi juga melalui kajian-kajian suplementer, seperti ushul al-fiqh, qowa’id al-fiqh, dan ishtilah al-fuqaha’.

Sedangkan mutafaqqih adalah seorang yang hanya menguasai masalah-masalah yang telah terbukukan dalam kitab fiqih yang ada. (KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS).

Mengapa isu krisis ulama muncul? Barangkali melalui tarikan garis historis yang panjang kita akan dapat menyimak munculnya isu itu. Semenjak beberapa abad yang lalu, konsep fiqih yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia sempat menjadi sumber nilai. Fiqih tidak saja berlaku sebagai norma yang berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan sebagian konsep tersebut telah dianggap sebagai subkultur yang telah menyatu dengan kehidupan yang ada.

Kecenderungan seperti ini sebagai hasil nyata dari kemampuan para ulama yang telah mencoba memasyarakatkan fiqih, dengan pendekatan kultural sedemikian rupa, sehingga perubahan budaya dengan nilai-nilai Islami dari ajaran fiqih berjalan beriringan begitu mulus tanpa menimbulkan kerawanan yang berarti. Secara konvensional, ajaran-ajaran fiqih itu dimodifikasi oleh para ulama sedemikian rupa sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya.

Membicarakan masalah ulama, konsep-konsep dan keadaan masyarakat yang berbudaya fiqih tentu tidak mungkin lepas dari membicarakan eksistensi pesantren yang telah memberikan kontribusi paling besar bagi pembudayaan fiqih itu sendiri. Sejak berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaqquh fiddin yang begitu kuat, mengakar dan sekaligus diterima oleh masyarakat pada zamannya. Lembaga ini memang lahir di tengah-tengah masyarakat kelas bawah, sehingga warna konvensional sangat pekat tampak dalam sikap, langkah dan pemikiran pesantren.

Namun justru berangkat dari kesederhanaan demikian, pesantren menjadi lebih mudah mengakomodasikan nilai-nilai fiqih ke dalam kehidupan yang ada. Bagaimanapun, masyarakat lebih suka menerima hal-hal yang tidak terlalu asing, aneh, dan berkesan baru serta modern bagi segala aspek perilaku kehidupannya. Masyarakat pada masa itu cenderung menolak apa saja datang dari penjajah, tentu saja bercorak modern, baru dan asing. Hal ini malah semakin mendukung langkah pesantren dalam mengkonsumsikan ajaran-ajaran fiqih.

Sebagai lembaga tafaqquh fiddin, pesantren membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu yang bermuara pada pendalaman masa’il diniyah (masalah-masalah agama). Ilmu-ilmu fiqih paling kuat mempunyai manfaat dalam hal itu, karenanya pesantren menjadi getol mengkajinya ketimbang ilmu-ilmu yang lain, meski tidak berarti meninggalkannya. Kekentalan eksistensi pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin berjalan beberapa abad lamanya sampai suatu saat ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan bentuk pendidikan baru yang benama sekolah, untuk mengimbangi pengaruh pesantren.

Perubahan pun tak terelakkan lagi. Pesantren juga mengimbangi sistem klasikal yang dimiliki oleh sekolah dengan mendirikan lembaga pendidikan dalam pesantren yang bertitel madrasah, yang secara harfiah adalah terjemahan dari sekolah.

Pada mulanya, pesantren dengan madrasahnya itu, meski wilayah garapannya bertambah akan tetapi justru semakin memantapkan eksistensinya di tengah masyarakat. Madrasah sebagai wujud pengembangan pesantren, juga tetap menitikberatkan tafaqquh fiddin sebagai garapan utamanya. Hanya saja, sistem dan metodenya berbeda dengan pesantren tradisional (salaf). Madrasah-madrasah pesantren pada waktu itu belum mengenal sertifikasi bagi setiap lulusannya dan juga akreditasi sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan lain.

Baru ketika mulai diperkenalkan pendidikan guru agama oleh pemerintah yang diikuti dengan pengangkatan guru negeri dengan gaji tetap, maka mulai tampak pergeseran nilai-nilai ikhlas, dari menuntut ilmu li wajhillah menjadi karena hanya sekedar mencari ijasah. Dampaknya, eksistensi pesantren menjadi kabur, bahkan hilang identitasnya secara perlahan.

Fenomena pergeseran nilai semacam itu tidak bisa semata-mata diartikan sebagai kemunduran pesantren secara total. Sampai saat ini masih cukup banyak ditemukan pesantren tradisional, baik di Jawa maupun luar Jawa, meski profilnya tentu saja tidak seperti yang ada pada tahun 60-an ke belakang, di mana para alumnus pesantren masih dapat digolongkan sebagai mutafaqqih. Pergeseran tersebut hanya merupakan kasus secara individual, yang menimpa para insan pesantren dan bukan secara kolektif.

Lalu di mana letak krisis ulama terjadi? Kembali kepada kriteria al-Ghazali tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita bisa melihat dan menyimak nilai-nilai ikhlas telah tercederai oleh faktor-faktor eksternal. Produk yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah alumnus-alumnus pesantren yang kurang representatif untuk disebut ulama. Memang, kita tidak bisa mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor eksternal.

Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangnya animo santri sekarang ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan ada beberapa pihak yang mencoba mencari jalan pintas di dalam mengkaji ilmu-ilmu agama dengan jalur penterjemahan kitab-kitab kuning, yang tentu saja tidak akan bisa sama persis dengan aslinya. Ini tidak kecil efek negatifnya, apalagi bagi orang yang telah berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada reduksi dan kemerosotan yang sangat terasa, sebagai kesenjangan yang kentara dan tidak mustahil akan berubah menjadi satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren.

Problematika itu sebenarnya bisa dicarikan solusi dengan pemahaman yang mendalam tentang ilmu agama, dimana teks-teks narasi kitab kuning semestinya menjadi kontekstual bahkan aktual dalam menjawab problematika persoalan-persoalan sosial umat itulah letak fiqh sosial mampu menjadi jembatan solusi dari masalah-masalah yang timbul antara ulama’, umara dan ummat.

Isu krisis ulama agaknya pernah coba dihadapi dan ditanggulangi oleh beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari setengah dasawarsa yang lalu dengan berbagai lembaga negara dengan melibatkan banyak ulama di dalamnya, MUI, ICMI bahkan Dewan Ekonomi Syariah. Ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama dalam kehidupan yang semakin menuntut peran ulama lebih besar lagi.

Meskipun banyak pihak yang kurang sependapat dengan isu kekosongan ulama, akan tetapi jumlah kuantitas umat yang kian bertambah, tentu tidak akan cukup hanya dihadapi dengan jumlah pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi langkah tersebut ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan menggeser posisi sentral ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah.

Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan serius bagi para ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat terhadap kebutuhan adanya lembaga kader “fuqaha” (ahli-ahli fiqih) yang rapih dengan manajemen dan pendanaan yang memadai.

Sudah sangat perlu sebuah formulasi lembaga yang ideal bagi penempaan kader-kader fuqoha’ yang alami, zuhud dan ikhlas itu Alhamdulillah pula, gaung yang ada terus bersambut. Pihak-pihak yang merasa terkait kemudian mencoba untuk berpartisipasi. Sebagai contoh, lahirlah madrasah aliyah program khusus yang diprakarsai Departemen Agama bahkan sampai Ma’had Aly (Program Sarjana setara S-1) yang tentu saja peserta didiknya harus lulus SMA atau Aliyah atau sederajat di berbagai Pondok Pesantren terkemuka di seluruh Indonesia.

Itu adalah salah satu jawaban dimana lulusan pesantren dapat setara dengan formalisasi Lulusan Sarjana Agama Perguruan Tinggi Islam, ini patut kita sambut dengan positif thingking. Sebab itu jauh lebih baik daripada hanya sekedar mencari ijazah program takhasus atau ujian sertifikasi untuk penyetaraan program pendidikan.

Bahkan di kota-kota besar seluruh Indonesia beberapa Mahad Aly sudah membuka program S-2 (Pasca Sarjana)) dengan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Islam dalam dan luar negeri. Tentu saja kalau program pendidikan semacam itu dibuka yang disesuaikan dengan standarisasi (disamakan) dengan Standart Perguruan Tinggi Negeri dan pengawasan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi yang baik dan ketat serta tidak jor-joran, kita khusnudzon, program ini akan banyak membuka celah bagi lulusan pesantren atau lembaga swasta untuk masuk jenjang pedidikan tinggi ini. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi kebutuhan. Kita masih menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat sekalian. (*)

Aji Setiawan, mantan aktivis PMII UII Yogyakarta, dan mantan wartawan Majalah Islam Al-Kisah tahun 2004-2011.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru