31 C
Jakarta

Peran Sayyid, Antagonis atau Protagonis?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPeran Sayyid, Antagonis atau Protagonis?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejak lama saya berencana untuk membahas masalah yang super sensitif ini. Namun keterbatasan kemampuan terutama selalu mengurungkannya. Namun niat itu kali ini sudah tidak terbendung lagi karena beberapa faktor dan peristiwa khususnya yang dialami oleh Habib Rizieq Shihab yang terkesan keras, bermuatan hate-speech dan over-rated dalam berpidato.

Tanpa berpretensi melakukan justifikasi, apologi dan pembelaan atau memojokkan salah satu pihak, izinkan saya, memberikan sebuah analisis sederhana.

Kata ‘sayyid’ adalah bentuk kata kerja (ism fa’il) yang berasal dari kata baku (mashdar) ‘siyadah’ atau kata kerja lampau ‘sada‘ (dengan fathah dan alif setelah huruf sin), berarti ‘menguasai’ dan ‘memimpin.

Karena penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul-Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan yang terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat ‘sayyid’.

Artinya, gelar ini bukanlah semata-mata penghargaan dan pemujaan simbolik, namun juga isyarat dan mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka yang merasa berasal dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan diri sebagai abdi dan pemandu umat.

Sayyid sejati sangat berjiwa rakyat, peka terhadap derita umat, dan pantang dilayani apalagi minta disanjung. Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena kontribusi dan pengorbanan mereka demi umat.

Apabila peran dan kontribusi nir-laba ini tidak lagi diberikan, pada seorang alawi tidak patut menunggu orang memanggilnya dengan ‘sang pemimpin’ (sayyid). Artinya, ada kalanya seorang alawi tidak menyandang predikat ‘sayyid’.

Ke-alawi-an dapat pula dilihat dari dua perspektif, yaitu ke-alawi-an biologis, dan ke-alawi-an ideologis. Ke-alawi-an jenis pertama dan kedua bisa terhimpun dalam satu sosok, sehingga tidak semua alawi biologis menyandang ke-alawi-an ideologis, begitu pula sebaliknya.

Salman Farisi, sahabat yang berasal dari ras non-Arab, telah diangkat oleh sebagai ‘alawi ideologis’ dengan sabdanya yang terkenal, “Salman dari kami, Ahlul-Bait”. Hanya saja, alawi ideologis (non biologis) tidak bisa diperlakukan sama dengan alawi biologis dalam bidang fikih.

Sebaliknya ‘sayyid’ yang membenci mazhab Ahlubait dan menghahalkan darah para penganutnya adalah ‘Kan’an’ (miniatur dari putra Nabi Nuh as).

Pesoalan ini menjadi memalukan dan memilukan mana kala tendensi negatif menjadi salah satu faktor di balik pewacanaannya. Isu kesayyidan telah memakan banyak korban dan menggerus militansi bahkan merenggangkan hubungan emosional kepada para tokoh Ahlul-Bait apabila diungkapkan dengan diksi yang sangat dangkal dan ambigu.

BACA JUGA  Melawan Narasi Ekstremisme Melalui Media Islam Moderat

Harus diakui, predikat ‘sayyid’ di Indonesia telah menjadi beban determinan. Bagaimana tidak, sering kali kesalahan seseorang bisa ditimpakan atas sebuah predikat atau bahkan atas sebuah keluarga besar dan argumentum ad hominem kerap menjadi senjata yang sangat efektif. Bila itu terjadi, maka kesayyidan adalah bencana karena diperlakukan sebagai dosa bersama.

Tidak sedikit generasi alawi yang cenderung membenci kodrat diri sendiri (baca: kesayyidan yang diperoleh secara determinan) demi menegaskan bahwa apabila sikap kritis alawi terhadap prilaku sesama alawi lebih menjamin kebersihan dari bias atau tendensi negatif yang sangat kontra-produktif.

Saya sendiri dan beberapa teman yang merasa sesak karena ‘ketiban’ kesayyidan telah memulai sebuah gerakan auto-kritik yang tidak kalah ‘pedas’ dibanding dengan orang-orang yang tidak ketiban beban ini.

Lalu mengapa isu ini masih saja mencuat ke permukaan? Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah ragam latar belakang orientasi keagamaan masyarakat Indonesia, termasuk tradisi dan pola interkasi terhadap kominitas alawi yang berimplikasi terhadap intensitas yang beragam menyangkut persoalan kesayyidan

Setiap alawi haruslah sadar bahwa kesayyidan bukanlah alat dongkrak kesombongan, apabila ia bukan anugerah dan bintang jasa, setidaknya para non sayyid juga tidak menjadikannya sebagai jurus mematikan setiap kali terjadi polemik. Kasarnya, kalau bukan anugerah dan berkah, paling tidak, jangan jadi bencana.

Menjadi alawi (sayyid biologis) bukanlah pilihan. Dan karena ia bukan pilihan, maka seseorang tidak layak dicemooh, didengki atau dijadikan sebagai alasan untuk sombong dan pongah.

Sopir metromini yang ugal-ugalan tidak patut dicemooh karena kebatakannya, namun layak ditegur karena caranya mengemudi mobil. Ia tidak memilih menjadi sihombing atau Ginting.

Demikian pula orang yang berkulit hitam atau bertubuh pendek, tidak layak dicemooh atau ditertawakan, karena itu bukanlah sesuatu yang diperoleh karena kerja keras atau prestasi.

Bila seorang alawi (sayyid) melakukan perbuatan tercela, maka yang patut dicela bahkan, bila perlu dihukum karena perbuatannya, bukan karena kesayyidannya.

Tabik.

Yusuf Mahdi
Yusuf Mahdi
Aktivis PMII dan Penikmat Kajian Filsafat-Tassawuf

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru