Radikalisme dan terorisme bukanlah ‘proyek’ politik, sebagaimana yang dituduhkan oleh sementara kalangan dan tokoh. Artinya, radikalisme dan terorisme benar dan terjadi dalam kelompok tertentu. Hal ini tercermin dari beberapa tokoh yang getol menyuarakan jihad dengan mengangkat perang, bom bunuh diri adalah jalan menuju surga, mudah melabeli orang lain kafir, dan masih banyak lainnya.
Bertolak dari fenomena di atas, petinggi Majlis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus ulama nusantara, yakni KH. Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa kegaduhan bangsa adalah karena ulah kaum radikal dan intoleran. Dan senada dengan itu, media dakwah seperti www.www.harakatuna.com/harakatuna menjadikan radikalisme dan terorisme sebagai fokus kajiannya, dengan harapan, radikalisme dan terorisme dapat dilawan dengan cara mendidik umat melalui tulisan yang mencerahkan dan menyejukkan.
Jika menguak sejarah, sebenarnya wacana radikalisme bukanlah hal yang baru. Rasulullah saw, pernah bersabda: “Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya.” (HR. Muslim).
Pada zaman Ali bin Abi Thalib telah dikenal kelompok “khawarij”, yakni orang-orang yang keluar dari golongan Ali dan menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar. Inilah akar dari intoleransi dalam kancah agama, sehingga berkembang ke arah kekerasan atau yang -sekarang- dikenal dengan istilah “radikalisme”. Laku khawarij yang disebut oleh Suaib Didu (2006) sebagai akar radikalisme dalam Islam itu (kembali) dipraktikkan di era sekarang ini. Tak ayal, sementara kalangan mengistilahkannya sebagai neo-khawarij.
Ironisnya, kekerasan yang bernama radikalisme itu kini sudah masuk dalam ranah strategis, yakni kalangan pemuda yang terpelajar. Bahkan, di suatu daerah, paham radikal justru sengaja ditanamkan pada anak-anak yang sedang melakukan proses belajar di ruang kelas. Seperti yang disampaikan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, “Pengalaman dari apa yang terlaporkan di Komnas Perlindungan Anak, itu anak-anak yang di ruang kelas dalam proses belajar mengajar itu ditanamkan paham-paham itu.” (kompas.com, 03/11/17).
Baca juga: Santri dan Jihad Zaman Now
Dengan penanaman paham radikal yang kian menjamur, tentu perlu ada penanganan yang serius. Jika radikalisme dibiarkan mendarah dalam daging segolongan orang, tentu akan berbahaya bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, paham radikal dalam konteks agama seringkali memicu konflik dan mengacaukan keamanan negara serta akan memicu lahirnya terorisme. Implikasi terkecil dari radikalisme adalah dapat menghilangkan rasa harmonis dan memecah kedamaian.
Menanti Kontribusi Santri
Untuk itu, dalam rangka mencegah paham radikal masuk ke dalam ranah yang lebih luas nan strategis, perlu ada peran santri dalam menangkal paham radikal yang kini kian berkembang. Sebab, santri lah yang -dianggap- memiliki kedalaman dalam ilmu agama. Santri mondok di lembaga pesantren dalam kurun waktu beberapa tahun lamanya. Sementara itu, pesantren telah memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi di masyarakat. Tentu saja, ketika santri hendak menyeru umat pada kebaikan, masyarakat akan menaruh kepercayaan. Pada saat itulah, santri sebagai generasi penerus para kyai, generasi penerus para pendakwah agama, harus mengambil peran dalam hal ini.
Melalui santri yang agamis sekaligus tradisionalis, masyarakat tentu sangat mengharapkan kontribusi santri dengan menjadi tameng dari paham-paham yang tidak humanis, seperti paham radikal. Dalam menangkal tersebarnya paham-paham yang tidak diinginkan, maka santri dapat melakukan beberapa hal sebagai tauladan dan penyeru kedamaian.
Pertama, santri bersikap tidak fanatik pada satu golongan. Sikap fanatik akan mencetak gap yang sangat renggang antar satu umat dengan umat lain. Sikap fanatik juga sangat berpotensi memunculkan pertikaian. Dan sikap inilah yang menjadi cikal-bakal radikalisme dan terorisme.
Contoh yang paling menjadi tranding topic pada era saat ini adalah sikap fanatisme Front Pembela Islam (FPI). Fanatisme pada agama sudah terpatri dalam benak seluruh anggota FPI, sehingga FPI acap kali menggunakan kekerasan dalam pengakuannya sebagai pembela Islam. Salah satu bentuk fanatisme FPI terlihat pada saat aksi konvoi penertiban. Karena gairah emosi yang tinggi, FPI sampai tak lagi memiliki kepedulian pada kondisi masyarakat sekitar. Pada akhirnya, FPI mengambil tindakan kasar dan bahkan sampai ada korban tabrak lari akibat dari pertikaian yang sangat tidak tertib (Ramadhan, 2013). Tindakan kasar yang bermotif fanatik inilah yang harus dihindari agar tidak semakin menjadi-jadi.
Kedua, santri tidak mudah melabeli orang lain kafir. Seperti melabeli orang yang tak segolongan dengan label “kafir” atau gelar buruk lainnya. Karena kecenderungan manusia pada umumnya, apabila mendengar label yang tidak disukainya maka akan membalas dengan hinaan yang serupa. Akibat buruk dari sikap saling menghina adalah timbul amarah antar golongan yang kemudian berujung pada kekerasan.
Baca juga: Jihad Literasi Punya Peran Penting Tangkal Radikalisme Agama
Dalam konteks inilah, santri memiliki peran signifikan dalam memberikan pencerahan dan arahan kepada masyarakat; bahwa yang berhak memberikan stempel seseorang itu kafir atau munafik hanyalah Allah.
Ketiga, santri mendakwahkan pemahaman keislaman secara komprehensif, tidak parsial. Syafii Maarif sering memberikan uraian bahwa salah satu dari sekian penyebab radikalisme-terorisme adalah pemahaman ayat dan hadis secara parsial. Tidak jarang kemunculan terorisme adalah dari kesalahan memahami maksud dari ayat-ayat al-Quran. Sehingga pada akhirnya, Islam dijadikan sebagai kambing hitam. Contoh ayat yang sering dijadikan dalih oleh para teroris adalah al-Quran Surat at-Taubah ayat 123: “Hai sekalian orang-orang yang beriman, bunuhlah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu dan hendaklah mereka merasakan kekerasan dai padamu. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At-Taubah, 123).
Bagi umat Islam yang masih polos dan awam terhadap agama, jika mendengar seruan jihad dengan cara membunuh tentu saja akan bersemangat melakukan, karena meyakini bahwa inilah perintah Tuhan. Padahal, jihad dengan cara membunuh hanya berlaku bagi umat yang memiliki budaya perang, seperti pada masa Rasulullah saw, dan pada masa dinasti-dinasti setelahnya. Ayat-ayat model ini haruslah diterangkan secara menyeluruh, agar tidak ada lagi tragedi pengeboman ataupun bom bunuh diri di tengah keramaian dengan beralasan mentaati perintah al-Quran.
Keempat, santri menyuarakan bahwa radikal bukanlah langkah yang tepat dalam mensyiarkan ajaran agama. Peran ini bisa santri implementasikan melalui tulisan di media massa baik cetak maupun elektronik. Karena pada saat ini, media telah menjadi trand setter dan ajang dakwah yang paling mudah dijangkau oleh semua kalangan di seluruh dunia, termasuk di bumi Indonesia. Dengan menuangkan tulisan-tulisan tentang cara dakwah yang tepat, boleh jadi dapat meminimalisir atau bahkan melenyapkan paham radikal yang sangat mengganggu ketentraman dunia.
Dari keempat peran santri dalam menangkal paham radikal, tentu akan semakin berjalan dengan lancar jika masyarakat ikut melakukan peranan yang sama. Setidaknya peran santri terbantu oleh masyarakat yang juga mensyiarkan sikap tidak fanatik, sikap tidak mudah mengkafirkan, dakwah secara komprehensif dan meramaikan media sosial dengan tulisan-tulisan yang tidak mengandung unsur keberpihakan terhadap golongan tertentu. Semoga keempat peran santri yang didukung oleh masyarakat, dapat menangkal paham-paham radikal. Sehingga, tidak ada lagi tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Siti Nur Halimah, Penulis adalah pengajar di Pesantren Darul Quran Putra Fatahillah Jakarta.