30.1 C
Jakarta

Peran Kelompok Radikal dalam Perintah Wajib Pakai Jilbab

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPeran Kelompok Radikal dalam Perintah Wajib Pakai Jilbab
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Islam adalah agama yang terbuka terhadap aneka perbedaan dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Tapi, Islam berubah dari fitrahnya ketika agama ini berada di tangan orang yang salah, yakni kelompok radikal (kelompok yang tertutup cara berpikirnya dan bersikap keras dalam menyampaikan ajaran agamanya).

Ada banyak ajaran Islam yang disampaikan dengan keliru oleh kelompok radikal. Sehingga, menghadirkan pemahaman yang menyesatkan terhadap orang banyak, tak terkecuali orang Islam sendiri. Salah satu dari ajaran yang disalahpahami ini adalah jilbab. Memang isu klasik soal jilbab, bahkan banyak ulama, termasuk ulama Nusantara yang mengomentari seputar jilbab. Sebut saja, Prof. M. Quraish Shihab.

Baru-baru ini ada sebuah kasus seorang siswi SMAN 1 Banguntapan yang mengadu ke ORI karena dipaksa memakai jilbab. Dari caranya saja sudah keliru, yaitu “pemaksaan”. Islam bukan agama yang gemar memaksa manusia untuk membenarkannya. Tidak keliru jika disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena, sudah jelas mana yang benar dan mana yang keliru. Memaksa termasuk perbuatan yang melanggar syariat Islam.

Ada banyak alasan mengapa orang cenderung memaksakan pemakaian jilbab kepada perempuan, meski kadang kepada perempuan non-muslim. Pertama, kurangnya pengetahuan tentang hukum pemakaian jilbab. Memang di dalam Al-Qur’an disebutkan perintah memakai jilbab bagi perempuan mukmin. Akan tetapi, yang perlu diketahui dan selalu diingat bahwa perintah itu bukanlah perintah wajib, melainkan anjuran saja. Karena, jilbab yang disinggung dalam Al-Qur’an hanyalah cara untuk membedakan perempuan merdeka dengan perempuan budak.

Tujuan untuk membedakan status sosial antara perempuan merdeka dan perempuan budak dalam perintah jilbab tidak bisa diklaim sebagai perintah agama yang permanen (qath’i). Yang jelas, perintah itu memiliki hukum yang luas dan relevan dengan situasi dan kondisi di mana perintah itu disampaikan. Jika berada di pesantren yang lingkungannya agamis, perintah memakai jilbab menjadi wajib bagi santri putri. Sebaliknya, jika berada di luar pesantren tepatnya di lingkungan yang bebas semisal di perkotaan atau di negara yang bukan Islam seperti di Eropa, perintah memakai jilbab tidak wajib, melainkan suka-suka saja alias “mubah”.

BACA JUGA  Perbedaan Muhammadiyah dengan NU dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, Mana yang Benar?

Kedua, kepentingan politik. Banyak kelompok yang memainkan isu agama dalam kontestasi politik ini. Sebut saja, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini, meski sudah lama dibubarkan, masih tetap eksis dalam mengkampanyekan berdirinya Negara Islam (Daulah Islamiyah). Konsep negara semacam ini jelas berlawanan dengan konsep negara kebangsaan sekarang ini. Bahkan, saking parahnya kelompok radikalis itu mengklaim bahwa negara bangsa termasuk negara kafir.

Klaim negara kafir, bagi kelompok radikalis, menunjukkan bahwa negara itu wajib diperangi dan dihalalkan darahnya orang yang membelanya. Jadi, perintah wajib pakai jilbab termasuk bagian dari cara kelompok radikalis dalam memainkan isu agama dalam politik mereka. Meski, mereka sendiri kadang mengklaim bahwa itu perintah agama. Padahal, klaim semacam itu tidak benar.

Sebagai penutup, hentikan memainkan isu agama dalam politik. Jangan kaitkan agama dalam persoalan politik. Karena, itu akan membawa kepada kemafsadatan yang berlawan dengan tujuan (maqashid asy-syar’iyyah) agama, yaitu terwujudnya kemaslahatan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru