33.2 C
Jakarta
Array

Penyair Muda dan Larangan Menulis Terus-menerus

Artikel Trending

Penyair Muda dan Larangan Menulis Terus-menerus
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

/A/

Di hadapan pembaca, puisi tersaji bak menu makanan asing yang susah diterima lidah orang-orang pedesaan. Dan puisi sebagai salah satu karya sastra masih kerap disebut-sebut hanya milik sekelompok orang. Selain para penyair, tentu para penikmat sastra yang barangkali tak semuanya mafhum jenis karya sastra satu ini.  Kendati demikian, bisa sama-sama kita persaksikan bahwa puisi terus menunjukkan keberadaannya di tengah pusaran perkembangan sastra yang kian riuh di negeri kita.  Penyair-penyair muda terus-menerus lahir dari rahim ibu pertiwi. Untuk menyebut satu di antaranya, Aji Ramadhan.

Siang itu (16/4/16), kantin Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) cukup ramai oleh perbincangan yang menyisipi sela demi sela kunyahan makanan yang telah dipesan para pengunjung. Kami memilih lesehan di salah satu sudut wisma seni TBJT untuk menggenapi janji ganjil pertemuan. Adalah lelaki bernama lengkap Aji Syaiful Ramadhan yang telah lebih dulu sampai di tempat. Udara di sekitar berayun-ayun mengiringi permulaan perbincangan yang menggairahkan.

Aji, demikian sapaan karib lelaki kelahiran Gresik 22 Februari 24 tahun silam itu mengeluarkan sejumlah jilidan yang tidak lain adalah kumpulan puisinya dari tahun ke tahun. Perkembangan puisi Aji bisa dirasakan dari pembacaan atas arsip-arsip puisinya yang telah digolongkan berdasarkan tahun penulisannya. Ia juga mengkliping puisi-puisi salah satu koran kenamaan yang terbit setiap akhir pekan.

“Kalau mau nulis puisi, ya minimal tahu puisi-puisi sekarang itu bagaimana. Ini (kliping koran, pen) untuk belajar bagaimana puisi-puisi yang dimuat koran saat ini,” tutur lelaki yang suka mengenakan paduan kaos oblong dan celana pendek itu sembari menunjukkan kliping korannya.

/A/

Pertamakali menulis puisi saat duduk di bangku sekolah dasar, Aji kecil kala itu mendapat tugas dari gurunya untuk menulis puisi. Satu puisi berhasil ditulisnya, lalu ibunya meminta ayahnya untuk membaca puisi karya Aji.

Ini jelek. Wis gak usah nulis puisi. Gak usah ngumpulkan tugas,” demikian Aji menirukan ucapan ayahnya waktu itu. Sejak saat itu Aji tak pernah lagi menulis puisi. Ditambah, ia membenarkan pandangannya bahwa menulis puisi adalah pekerjaan perempuan. Entah bagaimana mulanya, yang jelas ia kemudian berpandangan demikian.

Ketika tahu ayahnya menulis puisi, pandangan Aji kecil ihwal puisi perlahan-lahan pudar. Meski saat itu Aji tak tahu bagaimana puisi-puisi yang ditulis ayahnya. Pernah suatu kali, saat itu ia ada di tahun pertama Sekolah Menengah Atas (SMA), ia diajak ayahnya pergi ke Solo dan bertemu dengan sastrawan Joni Ariadinata dan Sanie B. Kuncoro. Itu merupakan titik awal perkenalannya dengan dunia sastra. Dari situ, Aji mulai suka menulis. Puisi pertamanya ia kirimkan ke akun facebook dua orang teman ayahnya, satu sastrawan yang berdomisili di Jember dan Hanna Fransisca dengan alasan hanya dua orang itu teman sastrawan ayahnya yang ia kenal. Aji membubuhkan catatan dalam puisi yang dikirimkannya. “Jangan bilang-bilang ayah”. Dua hari kemudian, Aji diajak ayahnya ke warnet. Mardi Luhung, demikian yang kita kenal sebagai sastrawan kenamaan menantang anaknya itu untuk menulis puisi di komputer di salah satu bilik warnet. Kalau Aji saat itu tidak bisa menuliskan puisi, Mardi mengklaim bahwa Aji menyontek. Klaim Mardi tak terbukti.

Satu pekan sekali Aji menyodorkan puisi-puisi yang ditulisnya kepada ayahnya. Hingga pada pekan yang ke sekian ayahnya berujar supaya Aji tidak melulu menulis, tetapi membaca. Sebab kalau hanya menulis terus-menerus yang terjadi justru tulisannya kian jelek. Demikian Aji mengenang ucapan ayahnya. Aji sempat tak percaya dengan ucapan tersebut, sebelum akhirnya imbauan yang sama dilontarkan om Joni (demikian Aji menyebut sastrawan Joni Ariadinata). Juga Afrizal Malna ketika suatu kali mereka bertemu di Madura. Aji yang sebelumnya hanya membaca buku-buku puisi (itupun tak banyak jumlahnya) mulai membaca buku-buku lintas genre. Dari puisi, ia mulai membaca-baca prosa, juga novel-novel. Dan harus diakui ia pun suka.

Ketika ditanya tentang kegemaran membaca, ia mengaku kegemarannya membaca berbagai jenis buku bermula ketika ia kelas dua SMA. Yang dihindarinya justru buku karya ayahnya, sebab di tanah kelahirannya puisi Aji tetap dikatakan mirip dengan puisi Mardi Luhung.

/A/

Semester pertama kuliah, ia mendapat kabar dari Han Gagas bahwa puisinya dimuat koran Tempo. Aji yang saat itu sedang berada di Gresik bingung bukan kepalang. Bersama ayahnya ia mencari koran sampai Surabaya. Begitu mendapati koran tersebut, ayahnya berkata, “wong puisimu elek ngene kok dimuat”. Ayahnya menunjukkan bagian-bagian mana saja yang disebutnya jelek. Sejak pemuatan itu, Aji tak pernah lagi menunjukkan puisi yang ditulisnya kepada ayahnya. Ia tetap militan menulis, hingga puisinya yang berikutnya dimuat koran Kompas edisi Minggu 1 Juni 2014, 8 Maret dan 6 Desember 2015.

Penyair yang pernah menulis buku Sang Perajut Sayap (2011) dan Sepatu Kundang (2012) ini membalik rumus dengan mengirimkan karya-karyanya langsung ke media-media besar semacam Tempo dan Kompas itu membuka tabir proses kreatifnya ihwal menulis puisi.  Bagi mahasiswa jurusan Desain Interior Institut Seni Indonesia (ISI) Solo yang sedang menggauli skripsi itu, ide menulis puisi ia dapat dari berbagai hal. Mulai dari keseharian, buku, film, juga mitos-mitos. Ia pernah menulis puisi yang ide dasarnya tentang kepala ayam, konon ia begitu menyukai kepala ayam goreng yang biasa ditemukan di angkringan-angkringan. Pun, pernah ia marah pada dosennya, lalu muncullah puisi berjudul “Toko Baju”. Puisi telah menjadi pilihan Aji untuk berkata-kata. Tsah!

*Rizka Nur Laily MuallifaPembaca tak khusyuk. Mengeja kata di Diskusi Kecil Pawon, Kisi Kelir, dan Bentara Muda Solo. Berpamrih di @lailymuallifa.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru