30 C
Jakarta

Pentingnya Penanaman Toleransi Beragama pada Pemuka Agama di Wilayah Pedesaan

Artikel Trending

KhazanahTelaahPentingnya Penanaman Toleransi Beragama pada Pemuka Agama di Wilayah Pedesaan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kenangan pada bulan September lalu adalah kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia yang dinanti oleh seluruh umat Katolik di Indonesia dan masyarakat secara umum. Kedatangan Paus dianggap sebagai tonggak penting dalam sejarah hubungan antaragama untuk menjaga perdamaian di tengah kondisi masyarakat di beberapa negara yang penuh konflik dan senjata. Paus Fransiskus sangat vokal dalam membela kaum papa dan kaum tertindas yang seringkali menjadi korban oleh kelompok-kelompok kuasa yang tidak bertanggung jawab.

Salah satu momentum yang dilakukan oleh Paus pada saat kunjungan ke Masjid Istiqlal, salah satu tempat kunjungannya. Di situ, terdapat Deklarasi Istiqlal. Deklarasi ini menyorot isu yang menjadi perbincangan dunia, khususnya Indonesia. Beberapa isu yang disorot, di antaranya: pertama, fenomena global dehumanisasi. Fenomena ini ditandai dengan merebaknya kasus kekerasan, konflik yang membawa banyak korban. Kedua, isu eksploitasi manusia atas alam yang sudah berkontribusi terhadap perubahan ikllim, bencana alam, pemanasan global, dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi.

Deklarasi ini menyerukan komitmen kerukunan umat beragama untuk saling bahu-membahu mengatasi kedua krisis tersebut. Seruan bahwa: “nilai yang dianut oleh tradisi agama kita harus dimajukan secara efektif untuk mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian yang melanda dunia kita…” merupakan keberpihakan yang jelas. Deklarasi ini juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa telah terjadi penyalahgunaan agama mengakibatkan terjadinya konflik yang merusak kemanusiaan dan eksploitasi terhadap alam.

Tidak hanya itu, deklrasi ini juga menegaskan bahwa agama juga punya potensi besar untuk mengatasi krisis tersebut lewat “…keyakinan dan ritualnya yang memiliki kapasitas khusus untuk menyentuh hati manusia dan dengan demikian menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap martabat manusia…”

Apabila dua isu di atas direfleksikan secara mendalam, maka kedatangan Paus bukanlah sebuah bentuk toleransi yang kebablasan, seperti apa yang dikatakan oleh kelompok Islam transnasional yang menyebarkan propaganda. Melalui kedatangan Paus, kita sebagai umat manusia, diingatkan untuk merefleksikan ajaran agama kepada praktik kehidupan yang humanis dan senantiasa menjaga alam, agar tidak menjadi manusia yang perusak.

Refleksi mendalam dari kedatangan Paus, sebenarnya perlu dirayakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dari sekian banyak permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia, kita disadarkan bahwa sebagai pemeluk agama, justru ketika kita benar-benar merefleksikan ajaran agama, kita akan senantiasa bersikap baik dengan menjaga kerukunan dan hubungan dengan alam. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sampai hari ini pro-kontra terhadap sikap yang ditampilkan oleh tokoh Muslim atas kedatangan Puas, masih sangat kerap terjadi. Narasi tentang toleransi kebablasan atas sikap baik kepada Paus (pemeluk agama lain), masih melekat pada masyarakat di pedesaan.

BACA JUGA  Menggugat Narasi Khilafah HTI di Bulan Rajab

Tanpa membaca secara utuh konteks Deklarasi Istiqlal, masyarakat di desa masih denial dengan kehadiran Paus dan sikap tokoh-tokoh Muslim yang dianggap menabrak batas toleransi. Mindset ini juga didukung oleh narasi yang banyak bertebaran di media sosial, tentang toleransi kebablasan yang diproduksi oleh para aktivis khilafah ataupun pemuka agama yang tradisionalis.

Penanaman Toleransi Harus Mengakar

Wilayah pedesaan, utamanya masyarakat kampung yang sudah terbiasa hidup homogen, akan merasa asing dengan praktik keberagamaan yang menunjukkan sikap baik terhadap umat agama lain. Dengan bahasa lain, jangankan kepada agama lain, kepada sesama Muslim yang berbeda kelompok saja, sangat jarang ditemui praktik keagamaan yang saling menyayangi satu sama lain. Artinya, potret hubungan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar Muslim, dan beberapa tokoh Muslim lain pada saat kedatangan Paus, mendapatkan pertentangan dari pemuka agama yang berpegang teguh pada prinsip bahwa, tidak perlu bersikap baik terhadap pemeluk agama lain.

Padahal, nilai-nilai toleransi yang digambarkan pada saat kedatangan Paus, justru menjadi pembelajaran penting dalam menyongsong kerukunan antarumat beragama. Karena itu, penanaman toleransi yang harus dilakukan adalah dengan terus disuarakan hingga ke akar rumput. Kehidupan homogen yang selama ini dipraktikkan oleh masyarakat kampung, harus dihadapkan dengan kenyataan yang lebih luas bahwa, Indonesia adalah masyarakat yang multi-agama, dan masyarakat harus senantiasa menghargai keberadaan agama lain. Para pemuka agama di kampung, adalah influencer yang paling berpengaruh di akar rumput. Mereka harus menjadi sasaran utama dalam program pendidikan toleransi agar bisa menanamkan nilai-nilai toleransi kepada masyarakat.

Penanaman nilai-nilai toleransi kepada masyarakat, perlu untuk terus diasah dan ditanamkan. Hal itu bertujuan agar masyarakat mampu menerima perbedaan yang merupakan sunnatullah. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru