Harakatuna.com – Presiden Prabowo Subianto memerintahkan bahwa teroris harus musnah di Indonesia. Dia juga memerintahkan tidak boleh ada ledakan sekecil apa pun dalam penanganan terorisme. Atau biasa yang kita kenal zero attack, tanpa serangan terbuka.
Selama ini, penanganan terorisme selalu dengan zero attack. Melalui cara ini Densus 88 Antiteror dan Brimob Polri berhasil menangkap teroris di berbagai wilayah. Dalam rentang 2023 sampai 13 November 2024 saja, mereka telah berhasil menangkap 181 teroris.
Jalan Operasional AI
Apakah cukup membekuk teroris dengan zero attack, di tengah teknologi digital yang makin masif? Pengamanan melalui zero attack tentu bagian dari kegiatan preventive strike atau mengamankan sebelum terjadi peristiwa. Namun di tengah canggihnya Artificial Intelligence (AI) makin gencar dipakai teroris, mungkinkah hal tersebut bisa dilakukan?
AI jalan operasionalnya di digital. Ia hanya bergemerlap di ruang digital. Artinya, polisi akan sangat susah menangkap jika mencari bukti-bukti saat menggeledah teroris. Sebab AI atau jejak digital bisa dihapus.
Harus diakui, negara-negara dengan penetrasi internet dan media sosial yang tinggi seperti Indonesia, rentan menghadapi teroris yang dipersenjatai AI. Faktanya, selama ini teroris memang sudah intens memanfaatkan perangkat AI. Mereka telah manfaatkan untuk meningkatkan eksistensinya di dunia maya.
Yang jelas, potensi penyalahgunaan teknologi AI untuk tujuan terorisasi terbuka lebar. Ada beberapa penjelasan mengapa AI sangat berbahaya jika dipakai oleh teroris. Menurut Arif Budi Setyawan setidaknya terdapat tiga alasan mengapa AI perlu diwaspadai dalam konteks strategi baru terorisme hari ini.
Tiga Alasan Mewaspadai
Pertama, kelompok teroris sangat adaptif pada teknologi digital. Ia mencontohkan bagaimana ISIS menggunakan media sosial (medsos) sebagai sarana indoktrinasi dan rekrutmen anggotanya di seluruh dunia. Menurut Arif, rekam jejak ISIS yang sangat adaptif pada medsos sebagai produk teknologi digital ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar kelompok ekstrem lain di masa depan juga akan memanfaatkan teknologi AI.
Kedua, dapat digunakan untuk memanipulasi data. Bahkan bisa memalsukan wajah dan suara untuk digunakan menyebarkan paham atau ideologi ekstremisme. Mereka bisa mengubah rupa orang/ulama masyhur seolah-olah menyebarkan paham radikal. Dengan inilah pastilah umat banyak yang tertipu dan menjalankan perintahnya.
Ketiga, AI memungkinkan kelompok radikal-ekstrem untuk tidak hanya menyebarkan paham atau ideologinya. Menurut Arif dalam dunia terorisme, AI bisa dimanfaatkan untuk memaksimalkan strategi dan aksi kekerasan atau teror di lapangan.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan drone pintar yang membawa bom lalu diledakkan ke tengah-tengah berkumpulnya orang. Atau bisa memanipulasi kendaraan otonom untuk menyerang target yang sedang teroris tuju.
Butuh Campur Tangan AI
Menurut Arif, hal tersebut bisa saja terjadi di Indonesia. Sebab, saat ini arus penyebaran paham keagamaan radikal-ekstrem di medsos kian masif. Bahkan wacana keislaman di medsos lebih kerap didominasi oleh corak radikal-ekstrem daripada konten moderat dan toleran. Lebih jauh lagi, penguasaan terhadap media digital lebih canggih di kalangan teroris daripada Kominfo Indonesia.
Oleh sebab itu, untuk memusnahkan terorisme seperti keinginan Prabowo butuh penguasaan teknologi yang cukup tinggi. Tidak hanya sekadar membuat panduan buku saku dan melakukan kontra narasi dengan menyontek pihak lain.
Dalam mengusut terorisme di tengah ruang digital yang canggih, sniper dan tombak manusia saja tidak cukup. Ia butuh melibatkan campur tangan teknologi seperti AI.