26.1 C
Jakarta

Pentingnya Merdeka dari Radikalisme-Terorisme: Belajar dari Kebengisan Taliban

Artikel Trending

KhazanahOpiniPentingnya Merdeka dari Radikalisme-Terorisme: Belajar dari Kebengisan Taliban
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Sebagaimana diwartakan oleh berbagai media, Taliban berhasil memporak porandakan Afghanistan. Kini, entah sampai kapan mereka terus-menerus melakukan teror, yang pasti Afganistan telah tumbang. Sedang, warganya banyak berlarian menuju ke negara tetangga untuk mencari perlindungan. Berharap masih ada hari esok.

Atas kebengisan kelompok Taliban ini, mata dunia pun menyoroti. Bahkan, gema anti-Taliban banjir di pelbagai penjuru dunia. Protes itu lewat foto atau tulisan-tulisan ringan dengan argumentasi sangkalan, dilansir dari CNN, (19/8/2021). Akan tetapi, Taliban ini berlagak menempuh jalan moderat yakni, mengajak warga Afganistan untuk bersedia berada di bawah kekuasaan negara khilafah yang mereka deklarasikan, setelah beberapa jam menduduki istana kepresidenan Afghanistan.

Basa-basi Taliban

Berangkat dari peristiwa tersebut, seharusnya menjadi warning bagi kita. Bahwa kelompok Taliban ataupun kelompok teroris lainnya adalah berbahaya bagi kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena, mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi yakni mendirikan negara Islam dibandingkan menjaga dan memelihara hak-hak asasi manusia.

Itu semua terbukti oleh Afghanistan yang kini terancam oleh ganas dan kakunya Taliban dalam menerapkan hukuman agama. Banyak cerita bagaimana Taliban mengeksekusi warga sipil hanya karena mereka dianggap “menista agama”. Seorang anak bermain layang-layang, dihukum mati. Seorang gay diterjunkan dari lantai 5 sebuah gedung dengan leher digantungkan batu. Sebuah tempat berisi kolam renang tanpa air, dijadikan tempat eksekusi dengan cara orang dipaksa naik ke tempat loncatnya.

Itu belum lagi peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan wanita. Dalam konsep kakunya Taliban, wanita hanyalah budak yang bisa dijual belikan. Wanita tak boleh pintar, karena dia akan jadi musuh agama.

Poin terakhir ini, senada dengan pengakuan dan kekhawatiran Zarifa Ghafari sekaligus. Walikota perempuan pertama di Afghanistan ini mengaku bahwa ia dan keluarganya saat ini hanya menunggu kedatangan Taliban ke rumahnya untuk membunuhnya. Dia mengatakan, tak ada pertolongan yang datang kepadanya atau keluarganya, dikutip oleh detik.com, Selasa, (18/8/2021).

Pengakuan Zarifa di atas sedikit banyak membuka pikiran dan hati kita bahwa, kebengisan Taliban di Afghanistan mengajak kita bertafakur tentang makna kemerdekaan. Apalah kemerdekaan namanya bila kebebasan warga negara musti dijaga oleh pasukan multi-nasional. Apakah kemerdekaan namanya bila pemerintahan oleh bangsa sendiri dirancang untuk membatasi kebebasan para warganya?

BACA JUGA  Menjaga Persatuan dalam Keberagaman Agama

Merdeka dari Radikalisme

Pada tahap ini, kita musti sepakat bahwa kita tidak boleh beranggapan peristiwa teror di seluruh penjuru dunia dan khususnya di Indonesia itu tidak akan berakibat fatal, misalnya runtuhnya NKRI. Dengan kata lain, pada tahap inilah, kita menyadari akan pentingnya merdeka dari radikalisme-terorisme.

Untungnya, belakangan ini Indonesia banyak belajar dari kesalahan-kesalahan negeri yang hancur porak poranda akibat amukan kelompok teroris. Indonesia tak hanya memiliki badan nasional penanggulangan terorisme (BNPT) dan sejumlah peraturan yang dirancang khusus membendung arus radikalisme-terorisme tapi juga memiliki media seperti Harakatuna.com yang aktif melakukan kontra radikalisasi yang terus menguat di media sosial.

Peran media ini merupakan satu di antara banyaknya upaya dalam melakukan pembendungan arus radikalisme-terorisme di negeri ini. Namun, menurut hemat saya, peran media yang paling aktif melakukan kontrol dan pengawasan terhadap laku radikalisme-terorisme di Indonesia. Tak hanya itu, media tadi tak segan menyatakan penolakannya terhadap berbagai isu kekerasan dan kampanye khilafah dan radikalisme-terorisme.

Maka tak ayal, berbagai macam jenis media mengecam sejumlah gerakan separatisme dan terorisme yang dilakukan oleh kelompok Taliban di Afganistan. Sedang di Indonesia, mereka (media) juga mengurus para khilafer seperti para penggila khilafah tahririyah, yang gerakannya aktif di depan layar laptop dan smartphone misalnya.

Alhasil, sekalipun kelompok radikal ekstrimis ini terus mengkampanyekan ilusinya — mendirikan negara khilafah — namun, gerakan mereka sedikit melambat seiring banyaknya media yang aktif melakukan kontra radikalisasi.

Namun demikian, hal itu bukan menjadi kita (citizens) lengah dan apalagi abai terhadap gerakan-gerakan mereka. Tugas kita tak cukup sekadar membendung virus radikalisme-terorisme. Jika perlu, kita perlu membumihanguskan gerakan mereka.

Hal itu karena Indonesia yang kita nikmati hari ini bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan hasil pemberian melainkan, kemerdekaan yang diperoleh melalui proses yang amat panjang yakni perlawanan terhadap penjajah. Maka, amat disayangkan apabila sebagian dari kita masih abai terhadap radikalisme-terorisme di negeri ini.

Akhirnya, inilah pentingnya kita merdeka dari radikalisme-terorisme. Semoga Indonesia tangguh melawan gelombang radikalisme-terorisme.

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru