27.9 C
Jakarta

Penting Dibaca! Transformasi Gerakan Radikalisme Menuju Terorisme

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPenting Dibaca! Transformasi Gerakan Radikalisme Menuju Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Serangkaian aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia bermulai pada tahun 2000. Pada tahun ini, tepatnya malam Natal, kelompok teroris, seperti Dulmatin, Imam Samudra, Muklas, Edi Setiono dan Umar Patek melakukan pengeboman di beberapa gereja di Jakarta. Di antara gereja yang menjadi sasaran pengeboman mereka adalah Gereja Katedral, Gereja Kanisius Menteng Raya, Gereja Santo Yoseph Matraman, Gereja Koinonia Jatinegara, dan Gereja Oikumene Halim.

Mungkin Anda bertanya-tanya, kenapa harus gereja yang menjadi sasarannya? Apa kesalahan umat Kristen terhadap pemeluk agama-agama lain? Menurut Solahudin—sebagaimana dikutip oleh Musdah Mulia dalam bukunya Ensiklopedia Muslimah Reformis—sebelum tahun 2010 kelompok teroris di Indonesia menyasar simbol-simbol Barat atau far enemy (musuh jarak jauh). Setelah itu, mereka mengubah sasaran dari far enemy menjadi near enemy (musuh jarak dekat). Musuh jarak dekat yang mereka jadikan sasaran utama adalah pemerintah, terutama polisi dan TNI dengan menggunakan motif anti-thaghut. Selain itu, sasaran jarak dekat ini adalah gereja.

Melihat sasaran utama terorisme tersebut, sangat masuk akal jika aksi terorisme bom bunuh diri meledak di Polsek Astana Anyar Bandung pada akhir tahun 2022 ini. Motifnya, meskipun belum jelas, pasti tidak jauh dari anti-thaghut. Sebab, pengeboman ini mirip dengan ledakan bom di Masjid Mapolresta Cirebon pada tanggal 15 April 2011 bertepatan saat umat muslim melangsungkan shalat Jum’at. Pengeboman atau aksi terorisme yang terjadi pada tahun 2011 sampai sekarang itu tidak lepas dari motif anti-thaghut atau perang melawan musuh Islam. Musuh Islam, bagi pelaku teror, adalah institusi kepolisian karena mereka dianggap sebagai representasi negara yang menghalangi kegiatan para teroris.

Kemudian, menjadi teroris, apalagi bom bunuh diri tentu melewati tahapan-tahapan tertentu. Tidak mungkin seseorang langsung merelakan nyawanya melayang dalam ledakan bom bunuh diri. Pasti ada tahapan panjang yang ia lalui. Fathali Maoghaddam menyebutkan lima tahapan seseorang benar-benar menjadi teroris: Tahapan pertama, individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan yang tidak adil. Tahapan kedua, individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan penyerangan. Tahapan ketiga, individu mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya. Tahapan keempat, individu memasuki organisasi teroris, dan hanya ada kemungkinan kecil atau bahkan tidak ada kesempatan untuk keluar hidup-hidup. Tahapan kelima, individu secara psikologis menjadi siap dan termotivasi untuk melakukan aksi-aksi terorisme.

BACA JUGA  Berpuasalah, Agar Kamu Selamat dari Kejahatan Radikalisme

Beberapa tahapan tersebut menggambarkan dengan baik kondisi Sungkar dan Ba’asyir. Musdah Mulia dalam bukunya tadi menjelaskan bahwa pada tahapan pertama Sungkar dan Ba’asyir melarikan diri ke Malaysia karena merasa diperlakukan tidak adil di Indonesia. Pada tahapan kedua mereka mengirim sejumlah kader Jamaah Islamiyah (JI), organisasi yang dipimpin Ba’asyir, ke Afganistan untuk kesiapan fisik (latihan militer). Setelah kader itu merasa siap, mereka melancarkan perlawanan pada tahapan-tahapan berikutnya terhadap pihak-pihak yang dianggap musuh, salah satunya, institusi kepolisian dan gereja-gereja.

Maka, setelah mengetahui tahapan-tahapan yang mengantarkan seseorang menjadi teroris, bangsa ini perlu melakukan beberapa hal agar selamat dari terorisme: Pertama, Hindari sikap buruk sangka (su’u al-zhan) terhadap siapapun, termasuk terhadap orang yang berbeda, baik secara pemikiran atau keyakinan, dengan kita. Berburuk sangka ini akan mengantarkan seseorang kepada tahapan terorisme yang pertama, yaitu merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak lain atau, secara spesifik, pemerintah. Kedua, Mencari guru yang dapat membimbing kita ke jalan yang benar. Guru yang benar ini tidak bakal mengarahkan muridnya ke jalan yang sesat seperti jalan yang ditempuh oleh kelompok teroris pada tahapan kedua itu, yaitu membangun kesiapan fisik untuk melakukan penyerangan terhadap pihak yang dianggapnya musuh.

Ketiga, Belajar tentang Islam dengan mendalam. Seseorang yang mendalam pengetahuan keislamannya tidak akan mudah terpengaruh doktrin-doktrin kelompok radikal. Ia akan menolak jika didoktrin untuk menjawab pertanyaan pilihan yang tidak sebanding, seperti Pilih Nabi Muhammad atau pilih Presiden? Pilih Al-Qur’an atau pilih Pancasila? Seseorang yang dangkal pengetahuan keislamannya akan mudah terpengaruh pertanyaan jebakan ini, sehingga menjawab Nabi Muhammad dan Al-Qur’an yang dipilihnya dibandingkan Presiden dan Pancasila. Keempat, Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh para nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw. Perjuangan Nabi Saw. dalam kemanusiaan dapat dilihat ketika beliau diajak untuk berserikat dalam keyakinan. Nabi Saw. menolak dengan kata-kata yang santun sehingga tidak menyakiti hati mereka.

Thus, peristiwa terorisme yang sudah menghantui negeri ini hendaknya tidak terulang kembali. Bangsa ini harus sadar bahwa terorisme bukanlah solusi untuk memperbaiki negeri ini. Malahan, menghadirkan masalah baru di tengah masalah yang ada. Dengan terorisme bangsa ini sejatinya telah diperbudak oleh kepentingan politik yang tidak sehat. Politik hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik (ma’ruf), bukan cara-cara yang mungkar (munkar) seperti aksi-aksi terorisme itu.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru