32.1 C
Jakarta

Penolakan Coldplay dan Politik Persaudaraan Alumni 212

Artikel Trending

Milenial IslamPenolakan Coldplay dan Politik Persaudaraan Alumni 212
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Coldplay, band asal Inggris ini kabarnya akan manggung di Jakarta pada tanggal 15 November 2023, bertajuk ‘Music of the Spheres’. Bahkan rincian harga tiket konser Coldplay di Jakarta pun sudah keluar. “Kami sangat bersemangat untuk mengumumkan konser pertama kami di negaramu yang indah. Kami akan ada di Indonesia, dan kami berharap untuk bertemu kalian di sana. Terima kasih,” ucap Chris Martin sang vokalis band Coldplay.

Kabar itu tentunya saja menjadi kabar bahagia bagi para pecinta musik Tanah Air. Sebab, band Coldplay ini, bukan hanya band legendaris, tetapi memang sering menarik hati karena lirik-liriknya yang cantik dan mempesona. Tidak hanya ibu-ibu muda yang girang terhadap Coldplay, tetapi sekelas ulama kekinian Habib Jafar saja pun girang dibuatnya.

Politik Penolakan

Namun antusias masyarakat Indonesia tak berlanjut mulus. Ada juga sebagian kelompok yang tidak senang terhadap band Coldplay hadir di Indonesia. Kelompok penolak yang melihat dari kacamata negatif ini muncul dari Persaudaraan Alumni 212 (PA 212).

Mereka menolak kedatangan band Coldplay dengan alasan klise. Katanya, karena band ini pro terhadap LGBT dan akan menularkan virus-virus LGBT kepada masyarakat di Indonesia. Secara verbatim mereka mengucapkan:

“Pemerintah harus tegas menolak Coldplay untuk menjaga keutuhan bangsa apalagi menjelang pesta politik. Kalau sampai menggelar konser di Indonesia karena selain Indonesia adalah negara mayoritas penduduknya umat Islam terbesar di dunia, juga LGBT sangat bertentangan dengan nilai Pancasila. Kalau membiarkan bahkan sampai mendukung kami jelas tidak bertanggung jawab atas gejolak umat Islam karena bisa saja mereka akan membawa ular seperti saat akan datangnya konser Lady Gaga juga Miss World atau bisa juga mereka memblokir lokasi atau mengepung bandara,” kata Novel.

Testing Penolakan

Ancaman tersebut memang tidak datang tiba-tiba. PA 212 ini memang kelompok para penolak serta tugas kerjanya memang menolak untuk hal-hal yang mereka tidak senangi. Dulu, mereka pernah menolak Lady Gaga, Miss World, dan gelaran lainnya. Namun, bukan amar makruf tujuan mereka, melainkan ada sisi lain, yaitu untuk mencoba memberikan signal emosional terhadap persatuan umat Islam dalam rangka kebutuhan Pemilu 2024.

BACA JUGA  Pentingnya Mewaspadai Bahaya AI dalam Strategi Baru Teroris

Testing itu memang menjadi taktik bagi politik Islam PA 212. Strategi ini bisa dibaca dengan dua kacamata sekaligus: pertama, seandainya banyak orang mendukung untuk melakukan penolakan terhadap gelaran konser band Coldplay, maka PA 212 menganggap dirinya berhasil menyatukan umat Islam. Karena itulah mereka mendakwah diri: mereka merasa memiliki pengikut setia dan suaranya didengar oleh umat Islam.

Kedua, seandinya penolakan tersebut tidak berhasil mereka wujudkan, sungguh bagi PA 212 tidak akan merasa gagal. Karena dengan penolakan yang mereka lakukan kali ini, sudah ditanggapi oleh pihak keamanan negara (polisi) dan telah diterbitkan oleh berbagai media kenamaan di Indonesia. Artinya, taring PA 212 masih laku.

Dengan nama-nama mereka masih disebut di berbagai media, mereka akan memanfaatkan ketenaran tersebut untuk merebut hati umat Islam. Bila umat Islam sepaham dan simpati kepada kelompok PA 212, semua itu bisa ditarik kepada pentas yang lebih besar: Pemilu.

Yang Mereka Cari

Apakah indikasi di atas terlihat mengada-ngada? Tidak. Taktik tersebut sudah lama mereka daratkan. Pada pemenangan Anies Baswedan pada Pilkada Jakarta 2017, dan pada pemilihan-pemilihan setelahnya. Kali ini mereka mencoba memakai imbuh-imbuh Pancasila dan demokrasi. Ini karena mereka ingin mendapatkan simpati kenegaraan dan masyarakat lebih luas.

Lalu apa yang mereka incar dan cari? Setidaknya, mereka ingin memanfaatkan momentum politik, karena konser Coldplay berlangsung di tahun-tahun pemilu. Kedua, mereka ingin mengembalikan formasi yang dulu, yaitu ingin menyatukan figur-figur yang telah berantakan. Ketiga, mencoba untuk mempropagandakan suara umat Islam untuk kepentingan kelompok 212.

Misalnya di atas itu tidak terpenuhi, lewat gerakan PA 212, setidaknya FPI masih bisa hidup dan berani pentas untuk kepentingan politik pada tahun 2024.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru