27.5 C
Jakarta
Array

Penjajahan Gaya Baru

Artikel Trending

Penjajahan Gaya Baru
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Penjajahan Gaya Baru

Oleh: KH. Abdi Kurnia Djohan*

Ketika mendengar istilah “penjajahan gaya baru”, beberapa netizen ada yang menyangkal dengan nada nyinyir. Penjajahan? Mimpi sampeyan. Apanya yang dijajah, wong presidennya masih pribumi, struktur negaranya masih dipegang keturunan pribumi, dan aparat keamanan Negara ini masih pribumi, kok sampeyan bilang ada penjajahan gaya baru, ngawur sampeyan. Begitu kira-kira respon yang diterima dari orang yang mungkin terlewat membaca tanda-tanda zaman. Atau jangan-jangan yang bersangkutan sudah merasa nyaman dengan keadaannya sehingga enggan mendengar isu-isu yang bisa mengusik rasa nyamannya.

Frase “penjajahan gaya baru” sebenarnya bukanlah barang yang baru diperkenalkan. Frase ini justru datang bukan dari para aktivis HT (Hizbut Tahrir) yang sejak awal membuka cabang di Indonesia, gencar mengkampanyekan kewaspadaan akan penguasaan sumber daya oleh kekuatan Barat atau asing di Tanah Air. Fenomena “penjajahan gaya baru” sudah sering disinggung jauh sebelumnya oleh para futuris seperti John Naisbitt, Kenichi Ohmae, dan CN Chua.

Jauh sebelum para futuris itu melakukan pembacaan terhadap fenomena “penjajahan gaya baru” itu, seorang ahli ekonomi dari Inggris yaitu Robert Malthus sudah memprediksi kemungkinan dijadikannya penjajahan sebagai pilihan kebijakan ekonomi suatu negara. Pandangan Malthus itu didasarkan kepada asumsi tidak seimbangnya antara needs (kebutuhan) dan resources (sumberdaya). Di sisi lain, Malthus juga menilai bahwa laju pertumbuhan penduduk (growth of population) merupakan penyebab makin bertambahnya needs dan scarcity of resources (kelangkaan sumber daya).

Dalam bahasa yang lebih matematis, Malthus menyimpulkan bahwa peningkatan needs (kebutuhan) itu mengikuti grafik makin menaik sedangkan ketersediaan sumberdaya mengikuti grafik menurun.

Kembali kepada frase ” penjajahan gaya baru”, jika sebagian menolak istilah itu, perlu dikaji kembali apa makna sesungguhnya dari penjajahan. Jika pada masa lalu, penjajahan diartikan sebagai sebuah usaha politik untuk menghilangkan kedaulatan seseorang atau sekelompok orang atau satu negara, maka pada era sekarang makna penjajahan tidak lagi seperti itu.

Penjajahan gaya baru muncul tidak melalui cara-cara melawan hukum atau menciderai makna HAM (Hak-hak Asasi Manusia). Penjajahan gaya baru bahkan menggunakan hukum sebagai alat untuk mengontrol kemerdekaan orang lain dengan alasan supply (penawaran) dan demand (permintaan). Penjajahan seperti ini juga tidak merampas hak-hak asasi manusia dalam bentuknya yang sangat sederhana. Penjajahan gaya baru masih menggunakan semangat lama yaitu menguasai dan mengontrol orang lain, tapi dengan tema yang berbeda.

Penjajahan gaya baru berpijak kepada tema “for whom do you work?” atau untuk siapa anda bekerja. Pertanyaan dijawab bergantung kepada situasi orang yang menjawabnya. Kerja menjadi kata kunci dari penjajahan gaya baru karena dari “kerja” orientasi seseorang bisa terlihat. Kerja juga  berimplikasi kepada pola hubungan yang terbangun antarindividu, kelompok dan antarlembaga. Kerja mengandung makna siapa yang mempunyai kapital (modal), mengelolanya dan bekerja untuknya. Kerja juga menggambarkan kepentingan siapa yang sebenarnya diperjuangkan.

Penjajahan gaya baru juga tidak mengandalkan pasukan militer untuk menaklukkan daerah jajahan. Tapi yang menarik, pasukan militer atau pasukan bersenjata justru akan meminta agar dilibatkan di dalam proses penjajahan itu. Penjajahan gaya baru sangat mengandalkan teknologi informasi sebagai penyangga dan senjata utamanya. Pasukannya pun diperoleh secara gratis dalam arti tidak diperlukan diklat atau akademi untuk melatih para personil perang tersebut. Secara sukarela pasukan-pasukan itu datang menawarkan keahliannya “berperang” menaklukkan “tanah jajahan”.

Beberapa orang kawan tampaknya masih bingung dengan visualisasi penjajahan gaya baru, apa contoh kongkretnya dan bagaimana menghadapinya. Silakan baca saja tulisan-tulisan Kenichi Ohmae, insya Allah akan paham bagaimana penjajahan gaya baru dijalankan.

*Penulis adalah dosen MKU Agama di Universitas Indonesia

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru