31.1 C
Jakarta
Array

Penguatan Takmir Masjid untuk Benteng Radikalisme

Artikel Trending

Penguatan Takmir Masjid untuk Benteng Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Takmir dan marbut menjadi kunci menutup pintu masuk radikalisme di masjid. Mengapa? Fenomena radikalisme masuk ke masjid sebenarnya karena “keluputan” dan belum maksimalnya manajemen, kepengurusan, dan sinergitas takmir, marbut, dan masyarakat. Faktanya, manajemen takmir dan marbut tak terlalu diperhatikan, padahal mereka menjadi “penjaga” tempat sakral itu.

Saat kuliah S1 dulu, saya kurang lebih lima tahun menjadi takmir sekaligus marbut masjid di Semarang. Hampir 24 jam, saya bersama teman menjaga masjid secara fisik. Ketika ada jemaah atau warga mau salat, kami sangat senang. Ketika ada kelompok tak jelas dan ingin menggelar kegiatan, bahkan mereka mendatangi warga sekitar untuk mengikutinya, tentu kami lapor ketua takmir, RT dan RW. Mereka wajib lapor karena bukan warga setempat.

Kelompok itu membagikan majalah dan buletin berisi artikel-artikel “berat”. Juga poster yang dipasang di papan pengumuman masjid. Ironisnya, saya pernah membaca dalam buletin itu berisi artikel “ayat-ayat jihad” yang mengharuskan umat Islam melakukan jihad dengan kekerasan termasuk mengebom.

Dari pengalaman saya kurun 2007-2013 ini, tentu fenomena radikalisme tak hanya ustaz/penceramahnya saja. Namun banyak kelompok memanfaatkan masjid dengan dalih dakwah, syiar, pengajian atau lainnya yang berisi “dakwah radikal” dengan dalih jihad meski dengan kekerasan.

Pendapat Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto bahwa yang radikal ustaz/penceramahnya baru-baru ini tentu tak salah. Namun pengalaman saya justru membuktikan hampir semua lini di masjid dikepung kelompok radikal berkedok Islam. Wajar jika riset terbaru menemukan banyak masjid terpapar radikalisme.

Masjid Terpapar Radikalisme

Pola di atas kebanyakan hanya ada di kota-kota khususnya di masjid perumahan. Namun di desa, kampus, dan masjid pemerintahan sangat jarang yang melakukan pola di atas meski tetap harus waspada.

Tak heran jika penelitian Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan menemukan 41 masjid di kantor pemerintahan, lembaga negara, dan kantor BUMN di Jakarta terindikasi terpapar radikalisme (Okezone.com, 8/7/2018). Penelitian pada 100 masjid kantor kementerian, kantor lembaga negara dan kantor BUMN ini baru di Jakarta. Di kota-kota besar seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, Surabaya, Semarang, dan lainnya tetap harus waspada.

Penelitian ini menjadi cambuk bagi takmir, marbut, dan masyarakat karena kurang selektifnya memilih penceramah. Kita wajib waspada, karena bisa jadi mereka sudah menyusup dalam struktural kepengurusan takmir tersebut sehingga dengan mudah memasukkan penceramah saat salat Jumat dan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI).

Penguatan Manajemen Takmir

Manajemen ketakmiran harus dikuatkan dalam rangka menjaga “rumah Allah” yang harus steril dari radikalisme dan faham konservatif. Ada beberapa langkah dapat dilakukan. Pertama, kepengurusan takmir dan marbut harus diisi kiai, santri, atau muslim yang moderat. Tujuannya jelas, manajemen akan tertata rapi dan kegiatannya juga tidak radikal.

Kedua, sinergi dengan Dewan Masjid Indonesia, MUI, Kemenag, ormas moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Lalainya takmir dalam memilih penceramah ketika mengisi khutbah Jumat, Idulfitri, Iduladha dan PHBI, karena tidak ada sinergi dan komunikasi dengan lembaga/ormas di atas. Sehingga mereka asal-asalan ketika memilih penceramah dan sangat ironis jika ustaznya justru radikal.

Ketiga, perlu adanya buku khutbah pakem, moderat, dan berprinsip rahmatallilamin. Takmir wajib memiliki buku khutbah minimal yang dapat dijadikan pedoman penceramah. Tujuannya, isi, metode, dan pola penyampaian khutbah/materi dapat dikontrol, terukur, dan mengutamakan dakwah ramah, toleran, menyejukkan, bukan radikalisme.

Keempat, masjid tidak sekadar untuk beribadah (ibadah mahzah), namun fungsi muamalah (ibadah sosial) harus dimaksimalkan. Maka semua kegiatan di luar ibadah mahzah seperti rapat, musyawarah, menuntut ilmu, dialog, seminar, dan lainnya harus berorientasi pada moderasi, bukan radikalisasi.

Sebab, masjid menjadi “rumah ibadah” dan “rumah ilmu” bagi umat Islam yang harus steril dari radikalisme. Dengan demikian, radikalisme di masjid akan terputus mata rantainya secara otomatis. Sudah saatnya kita berjemaah membangun masjid secara jasmani dan rohani dengan ruh Islam rahmatallillamin. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi?

*Oleh Hamidulloh Ibda, dosen STAINU Temanggung.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru