32.7 C
Jakarta
Array

Pengaruh Al-Quran Dalam Digital

Artikel Trending

Pengaruh Al-Quran Dalam Digital
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku      : Wajah Al-Quran Di Era Digital

Penulis             : Abd. Halim, S.Th.I., M.Hum.

Penerbit           : Sulur Pustaka

Cetakan           :  2018

Tebal               : 114 halaman

ISBN               : 978-602-5803-04-8

 

Dunia digital itu kehidupan. Ia adalah sabda kehidupan manusia sekarang. Kini, orang-orang di seluruh dunia tak ada yang tak menjumpai digital. Digital menjadi nafas keberlangsungan hidup, dan di dalamnya membentuk pola pikir dan pola tindak dalam ranah apapun termasuk dalam memahami kitab suci dan agama.

Kita patut bersyukur masyarakat secara luas bisa mentadaburi dunia digital, dan bisa mengakses konten-konten keagamaan dengan mudah. Kemudahan itu kita peroleh saat ingin mendapatkan informasi perihal agama, al-Quran, dan hadis.

Dari sekian konten yang tersebar misalnya, kita akan menemui aplikasi-aplikasi kajian al-Quran dan Tafsir di dunia digital seperti; al-Quran Androit, Maktabah Syamsiah, Mausyuhat al-Tafsir, TafsirQ.com, dan visualisasi pesan al-Quran melalui meme-meme, serta tafsiran ayat-ayat al-Quran dan sebagainya.

Fenomena itu tentu saja banyak manfaatnya manakala disikapi dengan bijak. Namun yang jamak kita temui adalah sebaliknya, orang-orang kewalahan dan sulit membendung arus virtual. Orang-orang tegang dan abai perihal tersebut. Tanpa disadari, hubungan kita dengan digital berlabuh dan berjalan di pusaran tantangan besar.

Ketika menyadari hal itu, kita sekaligus menyadari, dunia itu menggerogoti kita dengan masalah-masalah, seperti; otoritas (tak ada batasan jelas siapa yang ahli dan bukan untuk menafsirkan Qur’an), masalah otentisitas (digitalisasi Qur’an di pelbagai varian tidak sepenuhnya otentik, dan bahkan rentan dengan distorsi dan penyimpangan (tahrij), dan tantangan lainya seperti mensakralkan al-Qur’an.

Latar belakang itulah yang membuat Abd. Halim, menulis buku Wajah Al-Quran Di Era Digital guna merespon persoalan atau tantangan yang kian hari kian kompleks dikehidupan kita. Menurutnya, dengan kepesatan aplikasi al-Quran, tafsir, dan pesan keagamaan yang tersalur bebas menyebabkan masyarakat tidak bisa membendung mana ajaran yang benar dan mana yang hoaks, mana tafsiran yang benar dan mana yang salah. Dan itu, menyebabkan runtuhya kualifikasi dan hierarki keilmuan al-Quran yang hanya dijadikan alat untuk menggapai sesuatu yang sebenarnya bukan tujuan menafsirkan al-Quran.

Dalam persoalan lebih jauh, memahami Qur’an bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk memahaminya butuh kriteria dan prosedur tertentu. Oleh sebab itu, ulama-ulama klasik memetakan dan mensyarakatkan perihal itu bagi siapa yang ingin mempelajarinya.

Semua proses berintraksi dengan al-Quran membutuhkan kevitalan–supaya nilai-nilai kandungannya hidup dalam kehidupan. Dengan demikian, untuk memahaminya butuh prosedur, metode, dan etika. Untuk memahami sebuah ayat misalnya, perlu dipahami secara terperinci (kata perkata) sampai pada keseluruhan ayat. Juga perlu adanya komponen eksternal yang disebut dengan latar belakang (sabab nuzul), mengerti muhkam mutasyabih, nasikh mansukh, munasabat, dan sebagainya.

Begitu pun, ada banyak kaidah yang harus diketahui untuk memahami al-Quran. Misalnya, kata ganti (dhamir), yang hal ini banyak menjadi perhatian bagi ulama tafsir. Ibn al-Anbari, al-Burhan (karangan al-Zarkasyi), al-Itqan (karangan al-Suyuthi), Mabahits fi Ulum al-Qur’an (karangan Manna’ al-Qaththan). Karenanya, al-Quran dalam menyampaikan informasi sering menggunakan kata ganti (dhamir). Ikhwal itu, menurut Prof. Dr.  Nashruddin Baidan, dalam buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir (2011), sebuah dhamir dapat berfungsi menggantikan kedudukan sejumlah kata tanpa merusak makna yang dikandungnya sedikit pun. Kata ganti mempunyai peranan penting, khususnya untuk meringkaskan suatu pembicaraan tanpa mengurangi makna yang terkandung dan sekaligus menghemat serta menghindari kebosenan pembaca.

Dengan mengerti begitu, terkait perintah mentadaburi al-Quran memang membutuhkan kedisplinan ilmu, sebagai keutuhan dan menghasilkan praktek positif individual dan kesalehan sosial dalam bentuk pesan yang disampaikan oleh Tuhan Sang penurun al-Quran. Namun, kini, kita tak bisa menyimpang dari gugatan mengenai sanjakala jejaring sistem kapitalisme digital—yang menyebabkan dampak bringas.

Kita akui kekuatan media sosial seperti facebook, whatsapp, twitter, instagram, dan yang lainnya memberikan efek prilaku malas dalam upaya mendalami agama dan al-Quran. Dulu, orang-orang mempelajari atau mengkaji al-Quran dan hadis di surau-suaru kecil kepada guru secara bertahap. Kini, seseorang cukup duduk manis di depan komputer atau Hp android yang terdapat aplikasi al-Quran untuk membacanya di sembarang tempat yang entah, tidak tahu siapa gurunya dan tak tahu benar salahnya. Di samping itu, tidak ada etika atau norma-norma sebagai tambahan pemaknaan dan tindakan keberprilakuan.

Itu sebabnya, buku ini mampu melihat jejak persentuhan al-Quran dengan digital di balik wajah jati diri al-Quran. Wajah al-Quran yang seakan kehilangan otoritas, otentisitas, dan sakralitasnya, sehingga demagogi kesalahtafsiran beredar—mencari bentuk dan kebenaran. Maka, Halim, menawarkan cara berfikir yang lebih mendalam untuk memeriksa struktur pembacaan al-Quran yang telah terungkap dalam sebuah gejala medsos tersebut. Ia juga merekomendasi agar para akademisi, dan praktisi media yang konsern terhadap kajian al-Quran ikut berpartisipasi dalam memproduksi ilmu pengatahuan di era digital, guna menjaga wacana yang seharusnya masyarakat muslim memandang al-Quran di dunia digital.

Selain berhasil melacak jejak visual al-Quran, yang menjadikan acuan agama, kelebihan buku ini, pada ketajaman analisis penulisnya dalam mengurai (membongkar) nalar pelaku konten aplikasi al-Quran. Dan cara pembahasannya yang sederhana meski singkat namun memberi pembaca perpsektif baru, untuk mengetahui pengaruh al-Quran di dalam digitial.

Pesan penting yang hendak disuarakan buku ini adalah perihal struktur pembacaan. Masyarakat selayaknya membaca secara lebih kritis, aktual, dan yang lebih penting lagi para praktisi media tak hanya memperhatikan reting, like and shere dari user tetapi juga memperhatikan secara proporsional dalam pemahaman al-Quran. Bagaimana pun kita tak ingin masyarakat gaduh di dunia virtual yang berimbas pada realitas dunia nyata, terutama dalam kaitannya dengan pemahaman al-Quran yang menjadi pedoman hidup kita. Narasi itulah yang menjadi titik kesimpulan reflektif pemaparan Abd. Halim, dalam Wajah Al-Quran Di Era Digital.[]

[zombify_post]

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru