25.9 C
Jakarta

Takfiri Penganiaya Habaib di Solo Adalah Musuh Kita

Artikel Trending

Milenial IslamTakfiri Penganiaya Habaib di Solo Adalah Musuh Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Segerombolan massa berbusana Muslim, banyak yang berkostum putih, sekitar dua ratus orang, tiba-tiba memenuhi gang menuju kediaman keluarga almarhum Habib Segaf Al-Jufri, di Jl. Cempaka No. 81 Kp. Mertodranan, Kel. Pasar Kliwon, Kota Surakarta, pada Sabtu (8/8) malam. Kelompok Laskar, demikian nama gerombolan itu, menanyakan perihal kegiatan yang akan digelar. Mereka curiga itu acara Ghadir, Hari Raya Syi’ah. Ala takfiri, mereka yang ternyata penganiaya habaib di Solo itu pun berteriak, “Allahu Akbar! Bubar! Kafir!

Syiah bukan Islam! Syiah musuh Islam. Darah kalian halal. Bunuh!” Itu teriakan lainnya yang terdengar. Para hadirin yang sudah berdatangan ke acara Midodareni, doa bersama di malam sebelum akad nikah, karena keluarga almarhum Habib Segaf Al-Jufri hendak menggelar hajat nikahan di esok harinya, terlihat kalang kabut. Motor dan mobil-mobil dirusak. Komando Kapolsek Pasar Kliwon agar massa membubarkan diri tidak digubris. Massa mengamuk sambil takbir, dan anggota polisi juga kena pukul.

Tak terkecuali, yang menjadi amukan massa penganiaya habaib di Solo itu, ialah tamu penting. Dilansir dari berbagai sumber, Habib Umar Assegaf (54 tahun), Habib Hadi Umar (15 tahun), dan Habib Husin Abdullah (57 tahun) menjadi korban penganiayaan, dan kini tengah menjalani perawatan medis akibat luka-luka yang diderita. Aksi ekstrem kaum takfiri tersebut jelas bukan kali pertama. Sebelumnya, di Bangil, Jawa Timur, seorang imam shalat ditendak salah satu makmum lantaran membaca doa qunut.

Apa yang terjadi di Solo juga di Bangil, bahkan barangkali di tempat dengan kasus tidak terekspos media, selaiknya menjadi pelajaran bahwa di Indonesia, paham takfiri beraksi masif, dan semakin hari indoktrinasi mereka semakin tidak terkontrol. Term bid’ah, kafir, syiah, adalah narasi ketika mereka bertindak intoleran. Kebencian mereka memuncak tanpa menerima pluralitas sama sekali. Bahkan, darah sesama Muslim dihalalkan, dan mereka anggap itu demi menegakkan kebenaran dan memerangi kebatilan.

Kaum takfiri penganiaya habaib di Solo sedang menampakkan eksistensinya di negeri ini. Mereka bangkit dan langsung melakukan kerusuhan. Mengatasi ini tentu merupakan keniscayaan. Sebagaimana kaum radikal seharusnya, di negeri ini tidak ada peluang untuk menampung Neo-Khawarij. Mereka harus dibasmi, atau kita yang akan menjadi korban selanjutnya. Wacana bangkitnya takfiri, dalam kasus penganiaya habaib di Solo, harusnya membuat kita sadar, bahwa jika di Solo saja jumlahnya sudah dua ratus orang, bagaimana dengan di kota-kota lainnya?

Keberadaan Kaum Takfiri

Wacana Neo-Khawarij, yakni kaum yang suka mengkafirkan sesama hingga menghalalkan darah sesama Muslim lantaran berbeda pandangan, di Indonesia, tidak jarang direspons secara sinis. Banyak orang menyangsikan keberadaan mereka, menganggap wacana tersebut tidak lebih dari akal-akalan untuk menghambat ‘nahi mungkar’. Sebagaimana diketahui, motif penendangan imam shalat di Bangil, atau para penganiaya habaib di Solo, dalam perspektif kaum takfiri itu sendiri, adalah upaya nahi mungkar.

Secara klasifikasi, mereka adalah satu dari dua jenis otak kaum radikal. Jika HTI, atau para aktivis khilafah seperti Felix Siauw, Ismail Yusanto, dkk, masuk kategori radikal karena kukuh men-thaghut-kan pemerintah dan ingin menegakkan khilafah, maka kaum takfiri tidak identik ingin mendirikan khilafah. Mereka radikal bukan karena pandangan politik, melainkan akidahnya. Mereka yang, dalam hadis, oleh Nabi, dianggap sebagai ahli ibadah yang tidak disukai Allah.

Mereka, dalam hadis Nabi, diakui bahwa ibadahnya lebih khusyuk daripada sahabat, sering baca Al-Qur’an, bahkan berjidat hitam. Namun sayang, mereka mengukur segala sesuatu dalam bentuk yang paling ideal-subjektif. Apa yang tidak sesuai dianggapnya keliru. Nabi pun pernah menjadi korban mereka. Ketika Nabi membagi ghanimah, mereka berkata kepada Nabi: “Wahai Muhammad, berlaku adillah!”.  Mereka merasa lebih baik dari siapapun, bahkan daripada Nabi itu sendiri.

BACA JUGA  Menakar Jebakan Isu Pemilu Curang dari Kelompok Ekstrem-Radikal

Yang terjadi di Solo, di mana korbannya bukan orang sembarangan, melainkan habaib, harusnya cukup untuk menggertak kesadaran, bahwa mereka tidak pandang bulu. Jika Nabi saja dikritik, apalagi hanya dzurriyyah-nya, atau apalagi kita yang bukan siapa-siapa. Karenanya, tragedi penganiayaan tersebut mesti menjadi titik balik perlawanan kita. Segala paham takfiri harus diberangus, dimusnahkan hingga ke para dedengkotnya. Merekalah yang, di Suriah, mengebom Syekh Ramadhan Al-Buthi saat ceramah.

Kaum takfiri, sejenis para penganiaya habaib di Solo itu, sama bahayanya dengan kaum penggaung khilafah. Mereka sama-sama melakukan indoktrinasi. Biasanya, para ulama takfiri berkedok pemurnian Islam, murni sebagaimana yang diajarkan pendiri Wahhabi. Dalam kacamata mereka, segala rupa keagamaan di Indonesia itu bid’ah, khurafat, syirik, dan pelakunya, semuanya, halal dibunuh. Sungguh, tidak ada yang menginginkan pertumpahan darah terjadi lantaran ulah mereka.

Maka dari itu, ini yang terpenting: kita harus bersatu, terutama di momen HUT Kemerdekaan RI ini, untuk membantai ideolgi mereka, mengkonter ajarannya, dan meluruskan umat agar tidak mudah terpengaruh pemikiran mereka. Siapa pun kita, harus tertanam kesadaran, bahwa sampai kapan pun, kaum takfiri adalah musuh bersama. Perang melawan mereka adalah perang bersama, kita semua.

Perang Kita Bersama

Ke depan, tidak boleh lagi terjadi, peristiwa nahas yang menimpa para habaib di Solo. Kebangkitan kaum takfiri seperti penganiaya habaib di Solo adalah momok bagi umat Islam, karena selain mereka mencoreng nama baik Islam, mereka juga menganiaya saudara seagamanya. Jika yang demikian belum dapat menghentak kesadaran kita, itu artinya kita siap untuk menjadi korban intimidasi berikutnya. Pemerintah wajib mengambil langkah tegas untuk menghentikan dakwah takfiri, agar umat tidak diprovokasi untuk masuk kelompoknya.

Untuk memerangi mereka, mencegah mereka bangkit, setidaknya dua hal bisa dilakukan. Pertama, langkah strategis pemerintah. Ruang gerak mereka harus dibatasi, mimbar-mimbar di mana para dedengkot takfiri berdakwah, harus ditindak tegas untuk tidak mengajarkan sesuatu yang provokatif terhadap umat. Kedua, narasi tandingan. Ini tentu butuh waktu yang relatif lama dan harus dilakukan dengan masif. Ajaran mereka harus dikonter, agar umat awam tidak dibodohi terus-menerus.

Kita, boleh jadi, beranggapan bahwa HTI itu tidak berbahaya. Karena HTI lahir dari kekecewaan terhadap sistem politik belaka. Tetapi menganggap enteng kaum takfiri, seperti para penganiaya habaib di Solo sangatlah tidak tepat sasaran. Mereka bukan orang baru, bukan ideologi baru. Mereka bahkan eksis sejak zaman Nabi, dan kita baru saja menyaksikan kebrutalan cara beragama mereka. Mungkin di Bangil hanya imam shalat yang ditendang, bagaimana misal suatu waktu masjidnya ditaruh bom agar semua jemaah ber-qunut itu mati?

Mungkin di Solo para habaib hanya menderita luka, bagaimana kalau nanti para tokoh agamayang mereka anggap bid’ah dan kafir itu dibunuh sadis? Kita mesti mensimulasi kemungkinan terburuk atas tindakan kaum takfiri, agar semangat untuk memerangi pergerakan mereka tidak pernah pudar. Sekali lagi, jika di Solo sudah berjumlah dua ratus, berdasar jumlah massa mengamuk, apakah itu belum cukup untuk menebarkan teror-teror berikutnya di berbagai daerah di Indonesia?

Kita wajib segera bergegas, bersama-sama, memerangi mereka; kaum takfiri. Itu tugas wajib.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru