Harakatuna.com. Jakarta – Pengamat Intelijen dan Terorisme Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib mengatakan, tantangan terbesar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam upaya pemberantasan terorisme adalah mempertahankan keberhasilan tidak adanya serangan teroris secara terbuka (zero terrorist attack) di Indonesia sejak 2023 hingga saat ini.
“Tantangan terbesar bagi pemerintahan yang baru dalam pemberantasan terorisme saya kira adalah mempertahankan situasi bebas teror. Kita sudah hampir dua tahun tidak ada aksi teror dalam konteks serangan aktif. Saya kira tantangannya mempertahankan ini,” kata Ridlwan, saat dihubungi, Minggu (27/10/2024).
Selain itu, Ridlwan melanjutkan, masalah lain yang perlu segera dituntaskan pemerintahan Prabowo-Gibran dalam upaya penanggulangan terorisme adalah penanganan para mantan narapidana kasus terorisme (napiter) ketika mereka sudah selesai menjalani masa tahanan di lembaga pemasyarakatan (lapas).
“Saya kira perlu ada blue print yang cukup detail terkait bagaimana seorang napi terorisme ketika dia sudah keluar dari penjara, proses berikutnya seperti apa? Mungkin perlu dibuat semacam peraturan yang lebih detail soal ini,” saran Ridlwan.
Sejauh ini Ridlwan menganggap Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menjalankan tugas dengan baik sebagai leading sector upaya pemberantasan terorisme di Indonesia.
Namun, ia tetap menganggap perlu ada penguatan peran dan fungsi BNPT agar upaya pemberantasan dan penanggulangan terorisme di Indonesia bisa lebih maksimal lagi. “Saya kira BNPT perlu diperkuat, terutama dalam fungsi pembinaan pasca seorang napi terorisme bebas dari penjara. Termasuk juga fungsi penindakannya, misalnya apakah BNPT nanti mempunyai kekuatan untuk meminta penegak hukum lain agar BNPT bisa melakukan penindakan terhadap target,” ucap Ridlwan.
Ridlwan berharap selama lima tahun ke depan, pemerintahan Prabowo-Gibran bisa mempertahankan prestasi zero terrorist attack yang sudah berlangsung sejak 2023 serta bisa menyiapkan dan menjalankan upaya-upaya pembinaan napiter sejak di dalam penjara hingga bebas dari penjara. “Harapannya juga pemerintahan yang baru bisa memutus upaya-upaya penyebaran ide radikalisme di media sosial dengan cara memperkuat patroli siber dan memperkuat narasi siber karena sekarang operasi perekrutan kelompok-kelompok teror juga dilakukan melalui internet. Jadi harus ada penguatan di situ,” tutup Ridlwan.
Sementara itu, Guru Besar Bidang Keamanan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Kristen Indonesia (UKI), Angel Damayanti, mengatakan ada tiga tantangan utama bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam upaya pemberantasan terorisme.
Pertama, masih adanya potensi penyebaran ideologi radikal, terutama ideologi radikal berbasis agama. “Penyebaran ideologi radikal berbasis agama belum hilang. Masih ada yang ingin mendirikan negara yang bukan berdasarkan Pancasila. Hasil Indeks Potensi Radikalisme yang dibuat BNPT juga menunjukkan bahwa potensi radikalisme masih ada,” kata Angel, saat dihubungi, Minggu (27/10/2024).
Kedua, ancaman kejahatan transnasional atau kejahatan lintas negara (transnational crime). Adapun terorisme termasuk dalam kategori kejahatan ini. “Kelompok-kelompok transnational crime saling berjejaring, terkoneksi, dan saling mendukung. Mulai dari pendanaan, pelatihan, hingga penyebaran propaganda di media sosial. Jaringan ini transnasional. Artinya, ancaman terorisme itu masih ada,” ujar Angel.
Ketiga, rencana pemulangan ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) eks simpatisan Negara Islam Irak-Suriah (ISIS) di beberapa negara. “Ada lebih dari 500 orang, walaupun nantinya dipilah lagi yang akan dipulangkan. Ini tugas dan tantangan bagi pemerintahan yang baru,” ucap Angel.
Selain tiga tantangan tersebut, Angel menambahkan, pemerintahan Prabowo-Gibran juga perlu melanjutkan berbagai hal positif yang telah dilakukan pemerintahan sebelumnya dalam upaya penanggulangan terorisme. Yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya sudah baik, mulai dari melengkapi kerangka hukum, adanya sinergisitas dan koordinasi berbagai lembaga dalam penanggulangan terorisme, lalu dua tahun terakhir tidak ada serangan teroris.
Ini bukti penanggulangan terorisme di Indonesia sudah berjalan pada koridor yang tepat. “Harapannya, pemerintahan yang baru bisa meningkatkan hal-hal yang sudah baik ini,” kata dia.
Angel juga menganggap perlu ada upaya untuk memperkuat peran dan fungsi lembaga-lembaga yang menangani pemberantasan terorisme. Salah satunya BNPT yang menjadi leading sector penanggulangan terorisme di Indonesia. Sebabnya, tugas penanggulangan terorisme belum selesai dan masih akan ada banyak dinamika di masa mendatang.
Sejauh ini BNPT sudah menjalankan peran dan fungsi dengan baik. Artinya, BNPT berusaha menempatkan diri sebagai badan yang mengoordinasikan penanggulangan terorisme di Indonesia. “Tapi tentu peran dan fungsi koordinasi bisa lebih diperkuat lagi,” ujar Angel.
Angel berharap, upaya penanggulangan terorisme pada periode pemerintahan Prabowo-Gibran tidak hanya terlihat pada penindakan atau penangkapan pelaku terorisme saja, melainkan juga pada pengendalian penyebaran ideologi radikal yang mengarah pada terorisme. Ketika bicara terorisme, jangan sampai ada aksinya lalu baru bertindak. Tapi harus bicara terorisme dari hulu sampai hilir. Dari monitoring, evaluasi, hingga pengendaliannya.
“Misalnya hari ini terlihat hijau atau aman dari terorisme, tapi bukan berarti penyebaran ideologi radikal tidak jalan. Jadi, pengendaliannya harus tetap ditunjukkan,” ucap dia.