Harakatuna.com. Jakarta. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menuai kontroversi di tengah masyarakat. Pro dan kontra datang silih berganti. Perkaranya, pembubaran organisasi masyarakat tersebut dilakukan tanpa proses pengadilan, meskipun sesuai konstitusi dengan lahirnya Perppu No. 2 tahun 2017.
Pengamat politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Sofi Mubarok, menilai pemerintah mengambil langkah yang tepat. Menurutnya ada dua faktor ketepatan pemerintah. Pertama, HTI rentan dimasuki ISIS. Meskipun dalam kaderisasinya HTI tidak memberikan paham radikal pada anggotanya, tetapi dogma agama yang beririsan dengan ISIS sangat berpotensi ditunggangi militan ISIS. Atau, meskipun mereka berdalih bahwa tidak mengajarkan kekerasan dalam proses pengkaderan, faktanya menunjukkan anggotanya demikian.
Saat alumni Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, itu mengisi seminar di Bandung, ada seorang yang memaki salah satu pemateri dengan teriakan dan memotong pembicaraan pemateri. Menurut penulis buku Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah itu sudah mengandung radikalisme.
Sementara di sisi lain, Indonesia sedang krisis radikalisme. Mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), alumni Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo, itu menyampaikan, bahwa di Jawa Timur saja sudah teradapat 16 kabupaten/kota yang terindikasi radikalisme akut. Ini menjadi faktor kedua tepatnya HTI dibubarkan mengingat ideologi HTI sebagian beririsan dengan motif-motif penggerak radikalisme ISIS.
Dalam beberapa kesempatan, juru bicara HTI Ismail Yusanto selalu mengatakan bahwa organisasi mereka adalah organisasi dakwah. Tetapi, HTI tidak pernah berbicara konsep agama sebagai suatu sistem nilai, hanya konsep kenegaraan saja. Itu pun masih mengawang. Sebab, Ismail tidak bisa menjawab ketika ditanya oleh Aiman dalam satu program televisi swasta tentang bagaimana tatacara pemilihan khalifah dan siapa khalifahnya.
Kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengungakapkan alasan Ismail tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Ia menyebutkan bahwa faktanya terdapat begitu banyak perbedaan cara pemilihan pemimpin. Nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya secara langsung. Sayyiduna Abu Bakar Ash-Shiddiq dipilih secara musyawarah. Sayyiduna Umar ditunjuk langsung oleh Sayyiduna Abu Bakar. Sementara itu, Sayyiduna Utsman bin Affan dipilih dengan sistem ahlul halli wal aqdi. Lain lagi dengan Sayyiduna Ali yang konon dibaiat oleh pemberontak. Lebih-lebih pada masa Muawiyah dan seterusnya yang pemilihan khalifahnya bukan berdasarkan atas kemampuan, tetapi hubungan kekerabatan. Oleh karena begitu beragamnya cara pemilihan khalifah, HTI kebingungan sendiri.
Sofi menyatakan, khilafah termasuk dalam domain grand theory siyasah. Dalam seluruh literatur studi Islam, seluruh ulama sepakat siyasah adalah persoalan duniawi dan muamalah, bagaimana interaksi antar personal dan komunitas dibangun. Oleh karena, keliru jika khilafah diyakini sebagai dogma agama.
Mengutip Abdul Wahab Khalaf, staf ahli Kementerian Agama itu mengatakan, dalil-dalil tentang ahkamul muamalah itu semuanya ijmali (umum), tidak tafshili (terperinci). Ayat-ayat ahkamul muamalah bersifat ijmali itu bertujuan karena berkaitan dengan kemaslahatan hamba.
Mereka mengatakan bahwa menegakkan khilafah sebagai bagian dari menegakkan agama. Dalam maqashid syariah (tujuan diterapkannya syariah), menjaga agama (hifdz al-din) menempati posisi paling atas. Tetapi tidak selamanya demikian. Sofi lalu mencontohkan peristiwa Nabi Harun membiarkan masyarakat Bani Israil dengan kekufurannya saat ia diserahi kepercayaan oleh Nabi Musa.
Saat itu, Nabi Harun melihat dua hal yang kontradiksi di tengah umatnya, yakni kemaslahatan menjaga akidah dan kemasalahatan memelihara persatuan. Nabi Harun memilih hal kedua, menjaga keteraturan masyarakat, sebab di dalamnya terdapat maqashid syariah yang lain, yakni menjaga diri (hifdz al-nafs) dan menjaga harta (hifdz al-mal). Alasan lain kalau tidak dijaga eksistensi umat itu maka akan timbul perampasan harta, atau bahkan sampai saling bunuh. Pilihan kedua itu dipilih sebab bersifat lebih abadi.
“HTI tidak melihat itu. Hirarki yang mereka lihat hanya khilafah menegakkan agama. Tidak sesederhana itu persoalan bangsa,” ujarnya.
Tidak ada wahyu Nabi tentang kekhalifahan, Nashb al-imam ala al-ta’yin ghaitru maujud. Penunjukan imam dengan menunjuk individu itu tidak ada. Itu menunjukkan tidak ada wahyu secara jelas.
“Tentang siyasah itu ranahnya ijtihadi,” ujarnya mengutip pendapat ulama.
Oleh karena itu, di akhir pembicaraan, ia mengajak HTI untuk mengaji kembali. Ia meminta orang-orang HTI untuk kembali membuka literatur-literatur fiqh siyasah.