30.1 C
Jakarta

Pendidikan Toleransi dan Problem Model Monoreligius

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuPendidikan Toleransi dan Problem Model Monoreligius
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Pendidikan Toleransi Beragama: Sebuah Kajian Sosiologi tentang Peran dan Hambatan Sekolah dalam Membangun Hubungan Antarkelompok Beragama, Penulis: Kevin Nobel Kurniawan, Penerbit: LIPI Press, Cetakan: Pertama, Oktober 2021, Tebal: xxii hlm. + 113 hlm., ISBN: 978-602-496-259-3, Peresensi: Karunia Haganta.

Harakatuna.com – Dunia pendidikan dianggap sebagai suatu proses penting yang dilalui generasi muda untuk memperoleh berbagai perbekalan. Salah satu perbekalan tersebut adalah pandangan dalam menyikapi keragaman. Terlebih dalam konteks Indonesia yang sangat beragam, sekolah menjadi wadah berbagai keragaman tersebut dipertemukan. Maka penghormatan keragaman mutlak perlu diajarkan di sekolah. Pendidikan toleransi itu niscaya.

Persoalannya menjadi rumit jika pendidikan justru menjadi sarang dari pemikiran-pemikiran yang menolak keragaman. Laporan Convey Indonesia (2019) yang berjudul Pelita yang Meredup: Keberagamaan Guru Sekolah/Madrasah di Indonesia dan Pemetaan Spectrum Ideology Muatan Buku Ajar dan Guru Pendidikan Agama Islam di Madrasah Aliyah menyebutkan bahwa guru dan buku ajar turut berperan serta menyebarkan paham penolak keragaman ini.

Meski umumnya penolakan tersebut masih berada di taraf opini, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan tindakan-tindakan yang menolak keragaman. Suhadi, dkk. (2013) dalam Politik Pendidikan Agama, Kurikulum 2013, dan Ruang Publik Sekolah bahkan menyebutkan bahwa Kurikulum 2013 terlalu banyak mengajarkan dogma.

Namun suatu kesalahan jika melihat bahwa anti-keragaman tersebut hadir tanpa perlawanan. Dalam buku yang diangkat dari skripsinya ini, Kevin Nobel Kurniawan berusaha menunjukkan bahwa ada kurikulum terselubung yang juga perlu diperhatikan untuk melihat bagaimana sekolah mengonstruksi toleransi dan intoleransi.

Toleransi di sini diartikan sebagai “sebuah sikap yang mengakui hak dan kebebasan beragama setiap individu dan kelompok beragama untuk beribadah, membangun rumah ibadah, berpindah agama, dan lain sebagainya; penolakan terhadap penggunaan kekerasan” (hal. 29).

Kurikulum terselubung dipilih karena banyak kompleksitas intoleransi di sekolah yang luput jika hanya memperhatikan kurikulum formal. Dibanding kurikulum formal atau kurikulum tertulis, kurikulum terselubung dapat menyampaikan nilai di luar rancangan kurikulum tertulis (hal. 32). Dalam sosialisasi toleransi, kurikulum terselubung terdiri dari berbagai aspek seperti keragaman di sekolah, pengalaman siswa, serta figur guru (hal. 32).

Dengan kata lain, perlu pendekatan yang mampu menangkap berbagai relasi tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam buku ini adalah whole-school approach yang menjelaskan sosialisasi nilai di sekolah secara komprehensif.

Proses sosialisasi tersebut dibagi ke dalam enam aspek: (1) visi dan kebijakan; (2) kepemimpinan; (3) kurikulum dan pengajaran; (4) kebudayaan; (5) aktivitas siswa; dan (6) kolaborasi dengan komunitas luar sekolah. Kevin membagi enam aspek ini menjadi tiga kelompok: (1) nilai (visi dan kebijakan); (2) formal (kurikulum dan pengajaran, kepemimpinan, serta relasi dengan pihak luar); dan (3) informal (kultur sekolah dan aktivitas siswa).

Di tataran nilai, visi dan misi sekolah umumnya mencantumkan visi dan misi dari pemerintah yang mencakup pembentukan kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual ini dapat diartikan sebagai nilai-nilai religius. Namun, menurut Kevin, model pendidikan religius dalam visi misi pemerintah dan sekolah ini terlalu bertumpu pada model monoreligius. Model ini mendukung dominasi agama tertentu, alih-alih toleransi beragama (hal. 44). Model lain, yakni multireligius lebih mendukung pengajaran toleransi beragama.

BACA JUGA  Keterlibatan Perempuan dalam Kejahatan Terorisme

Di tataran formal, analisis ini mengamati pejabat struktural sekolah, seperti kepala sekolah dan wakil-wakilnya. Pejabat-pejabat ini yang memiliki wewenang menyediakan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menunjang keragaman serta pengajaran keragaman. Berbagai program yang disusun pejabat-pejabat ini yang perlu dinilai kesesuaiannya dan dampaknya pada sosialisasi toleransi.

Namun, tataran formal saja tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa suatu sekolah toleran atau tidak. Meski pada tataran informal, pengaruh dari tataran formal tetap terasa, tetapi terdapat pula celah-celah yang membuat toleransi atau intoleransi berkembang tidak sesuai dengan tataran formal.

Sebagai contoh, Kevin menjelaskan bahwa model monoreligius tetap terasa bahkan di berbagai kegiatan organisasi kesiswaan, seperti di kelas atau di OSIS. Namun, intoleransi semakin berkembang karena ternyata kultur yang ada justru menguatkan dominasi agama Islam, seperti pengajian kelas, sulitnya non-muslim menjadi ketua OSIS, bahkan digesernya kegiatan siswa Kristen karena dianggap mengganggu ibadah salat Jumat.

Hal-hal ini tidak diatur melalui aturan formal, tetapi melalui hubungan informal yang turut didorong guru dan pejabat sekolah lainnya serta organisasi kesiswaan.

Bila dibandingkan antara murid dan guru, murid lebih terbuka terhadap toleransi. Berdasarkan survei yang dilakukan Kevin dari 70 siswa, rata-rata bersikap moderat dan toleran. Sayangnya, survei serupa tidak dilakukan terhadap guru.

Namun, sikap toleran pada siswa tersebut pada sebagian kasus justru beriringan dengan sikap konservatif. Dengan kata lain, bukan religiusitas yang memunculkan intoleransi, tetapi justru pola monoreligius (hal. 73). Padahal, para siswa memiliki kapasitas untuk bersikap dan mengembangkan toleransi jika diberikan ruang terbuka untuk beropini serta saling berdiskusi.

Kevin juga mengungkapkan bahwa sulit untuk melihat intoleransi di sekolah tanpa adanya pemahaman mengenai toleransi yang inklusif. Ini disebabkan intoleransi tersebut mewujud sebagai kekerasan simbolik dalam modelnya yang monoreligius. Toleransi yang hanya mengandalkan monoreligius nyatanya hanya menyembunyikan intoleransi dalam ranah-ranah yang tersembunyi sebagai kekerasan simbolik (hal. 81).

Ini yang melandasi pentingnya model multireligius dan multikultural dalam pendidikan. Dengan model ini, pendidikan dapat membangun empati yang menjadi basis dari toleransi (hal.76). Empati yang terbangun dalam pendidikan multireligius ini bisa dilihat sebagai tantangan agensi terhadap struktur formal sekolah yang mendukung intoleransi (hal. 87). Meski problem intoleransi di sekolah nyata adanya, Kevin memperlihatkan potensi bahwa siswa-siswa tersebut juga memiliki potensi untuk membentuk toleransi, bukan sekadar menerima kultur intoleransi.

Setidaknya ada dua kekuatan utama buku ini yang penting untuk diperhatikan. Pertama, buku ini memperlihatkan bahwa siswa bukan sekadar menerima doktrin-doktrin intoleransi, tetapi justru menunjukkan agensinya sehingga berpotensi membangun toleransi itu sendiri. Kedua, buku ini tidak hanya fokus pada intoleransi di tataran formal.

Tataran formal memang lebih mudah diamati, tetapi dinamika sesungguhnya dari toleransi dan intoleransi di dunia pendidikan menjadi kurang jelas tanpa ada perhatian di luar tataran tersebut. Buku ini mampu menunjukkan betapa dinamisnya struktur intoleransi di luar struktur formal pendidikan.

Karunia Haganta
Karunia Haganta
Mahasiswa Antropologi Universitas Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru