31.8 C
Jakarta

Pendekatan Peace Building dalam Melihat Fenomena Kekerasan Seksual

Artikel Trending

KhazanahTelaahPendekatan Peace Building dalam Melihat Fenomena Kekerasan Seksual
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com Salah satu masalah yang terus terjadi dari waktu ke waktu yakni kekerasan seksual terhadap perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, ada belasan ribu kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang tahun 2021.

“Sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2 persennya adalah kekerasan seksual,” kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam jumpa pers virtual pada Rabu (19/1/2022) dilansir melalui Kompas.com

Meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi salah satu alasan utama pengesahan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

Di samping itu, RUU TPKS pada bulan Januari 2022 silam, sudah menjadi RUU inisiatif, berdasarkan persetujuan dari Sembilan fraksi DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia).

Terbaru, Bamus (Badan Musyawarah) DPR RI sudah menunjuk Baleg (Badan Legislatif) untuk membahas kelanjutan RUU TPKS. Artinya, perbincangan yang sudah dilakukan 2016 silam, sudah menemukan titik terang setelah bertahun-tahun lamanya.

Kekerasan seksual berbagai macam motif

Perkembangan RUU TPKS tersebut perlu kita apresiasi begitu besar. Hal ini juga, berdasarkan perjuangan masyarakat sipil serta banyaknya elemen yang ikut menyuarakan disahkannya RUU TPKS. Meskipun demikian, jika mengacu terjadinya kekerasan seksual, banyak sekali motif terjadinya peristiwa itu, salah satunya motif perang.

Melalui persitiwa perang, perempuan banyak sekali menjadi korban pemerkosaan. Jika kita lihat beberapa perang, diantaranya: perang yang yang terjadi pada Guetemala dengan kelompok pemberontak sayap kiri pada tahun 90-an, menyebabkan pemerkosaan kepada perempuan yang tidak terhitung jumlahnya. Di Indonesia pada tahun 1998, banyak sekali perempuan etnis Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan akibat keberadaanya di Indonesia.

Dengan fakta demikian, pada kondisi perang, perempuan rentan mengalami kekerasan seksual yang berlipat ganda. Sehingga penyembuhan yang dilakukan juga harus memiliki pendekatan yang berbeda untuk memulihkan korban. Di samping itu, selain motif perang, masih banyak sekali motif terjadinya kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan.

Pendekatan peace building menjadi alternatif

Yunianti Chuzaifah, Ph.D melalui Talkshow Kekerasan Seksual dalam Acara 15 tahun Anniversary AMAN Indonesia pada 15 Maret 2022 kemarin, menjelaskan bahwa, pendekatan peace building bisa digunakan untuk menyelesaikan konflik, termasuk konflik kekerasan seksual.

“Kita harus mengetahui bahwa setiap orang memiliki HAM. Dalam kasus kekerasan seksual, perlu diketahui tentang hak atas pemulihan, hak atas keadilan, hak atas kebenaran, hak ketidakberulangan sebagai jaminan termasuk kebijakan. Hak pemulihan ini harus diupayakan oleh kita semua untuk mendorong seluruh elemen agar bisa meminimalisir kejadian serupa dialami oleh orang yang sama.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Modus Baru HTI dalam Mencuri Suara Anak Muda

Sebab trauma yang dimiliki oleh seorang korban, tidak bisa pahami bagaimana sakit dan upaya keras yang dilakukan dirinya untuk keluar dari rasa trauma itu,” ujar Yuni, sapaan akrabnya.

Ia menjelaskan pula bahwa, pendekatan tersebut harus dilakukan oleh pelbagai elemen, mulai dari masyarakat sipil hingga tokoh agama. Sejauh ini, tokoh agama berperan untuk memproduksi fatwa-fatwa yang tidak memberikan stigma buruk terhadap korban kekerasan seksual.

“Ada sebuah kisah dimana suatu waktu korban kekerasan seksual mendapat stigma buruk dari masyarakat sehingga dia dijauhi. Suatu ketika, seorang pemuka agama melakukan ritual penyucian kepada perempuan tersebut, sehingga  perempuan itu dianggap suci kembali oleh tokoh agama itu dan diterima oleh masyarakat,” cerita Yuni.

Cerita tersebut kiranya cukup menggambarkan bagaimana posisi pemuka agama bagi masyarakat, khususnya Indonesia. Sejauh ini, politisasi agama kerap kali membuat masyarakat memberi stigma buruk terhadap sesuatu, misalnya kepada RUU TPKS.

Sejauh ini, beberapa tokoh agama yang memiliki banyak pengikut, ketika memberikan komentar tentang RUU TPKS justru memberi stigma buruk. Narasi yang disampaikan diantaranya: RUU TPKS melegakan zina, aborsi, dll.

Narasi tersebut berakibat pada rendahnya literasi masyarakat untuk memahami lebih mendalam tentang kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Dari fenomena ini, para ulama memiliki peran penting untuk memproduksi fatwa agar masyarakat juga memiliki empati kepada korban kekerasan seksual.

Agama terkadang digunakan oleh sebagian kelompok untuk menghalalkan segala kepentingan yang dimiliki. Apalagi pada negara Indonesia yang mayoritas pemeluk agama Islam, narasi penolakan dengan alasan demikian, menyebabkan alotnya pengesahan RUU TPKS yang sudah diperjuangkan bertahun-tahun silam.

Pendekatan peace building tidak hanya diupayakan oleh tokoh agama, melalui komunitas, Lembaga ataupun organisasi, pendekatan ini harus dilakukan untuk memberikan hak pulih bagi korban, apalagi sakit yang diderita oleh korban, antara yang satu dengan yang lain sangatlah berbeda. Sehingga menjadi tugas bersama untuk menggunakan pendekatan ini.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru