29.5 C
Jakarta
Array

Rumitnya Pemberantasan Radikalisme di Indonesia

Artikel Trending

Rumitnya Pemberantasan Radikalisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Radikalisme dan korupsi adalah dua kasus berat yang tak kunjung selesai ditangani pemerintah. Pasalnya, negara terus-menerus berusaha menghentikan kasus radikalisme dan korupsi ini. Usaha ini dapat dikatakan berhasil di masa pemerintahan presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid, yakni melaluinya  penguatan imunitas personal dan kepribadian berbasis Islam ramah untuk persoalan yang berkaitan dengan radikalisme. Sedangkan dalam mengatasi kasus korupsi Gus Dur menginiasi terbentuknya instansi khusus yang disebut dengan KPK.

Sebagaebagaimana dilansir IDN Times, DPR dan pemerintah lambat laun membuka kembali jalan kemudahan radikalisme dan korupsi. Pada tanggal 17 September DPR merampungkan revisi UU nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dengan revisi ini, terpidana kejahatan luar biasa bakal lebih mudah bebas.

Salah satu yang menimbulkan kontroversi adalah pengurangan masa hukuman dan pembebasan bersyarat bagi pelaku tindak kejahatan HAM berat. Terorisme, radikalisme dan korupsi lebih mudah dan tidak serumit dulu. Adapun rincian pemudahan tersebut adalah sebagaimana berikut:

Remisi tidak perlu lagi merujuk PP Nomor 99 tahun 2019

Wakil Ketua Komisi III, Herman Hery mengatakan dengan revisi UU Pemasyarakatan, maka pembebasan bersyarat dan remisi terhadap pelaku kejahatan luar biasa tidak lagi merujuk ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2019.

“Tidak lagi. Otomatis PP 99 menjadi tidak berlaku karena semua dikembalikan ulang,” kata Herman saat dihubungi, Rabu (18/9).

Di dalam PP itu tertulis apabila terpidana kasus korupsi ingin mendapatkan haknya, maka harus mendapatkan rekomendasi dari lembaga terkait, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Syarat pemberian remisi ditentukan oleh pengadilan

Poin penting lainnya di dalam UU Pemasyarakatan yang telah direvisi, kata Wakil Ketua Komisi III, Erma S Ranik adalah penentuan hak untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat ada di pengadilan.

“Pengadilan saja. Kalau vonis hakim tidak menyebutkan bahwa hak Anda sebagai terpidana itu dicabut maka dia berhak untuk mengajukan itu,” kata Erma.

Narapidana boleh mengajukan remisi, keputusan ada di tangan Kemenkumham

Selain itu, kata dia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga berhak menilai apakah seseorang berhak diberikan remisi atau pembebasan bersyarat. Sepanjang putusan pengadilan tidak menyebut bahwa hak-hak seorang narapidana dicabut, maka aturan itu tetap berlaku.

“Boleh mereka (narapidana) mengajukan remisi. Diterima atau tidak tergantung Kemenkumham,” kata Erma.

Sebelumnya, narapidana kasus korupsi sulit memperoleh pembebasan bersyarat

Wakil Ketua Komisi III, Herman Herry mengatakan syarat bagi narapidana bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat tak perlu lagi serumit dulu. Salah satu syarat yang dihilangkan, yakni mengenai aturan di PP nomor 99 tahun 2012.

Dengan adanya revisi ini, maka semua aturan kembali mengacu ke Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“(Dalam PP 99 Tahun 2012) iya ada sejumlah persyaratan, termasuk harus ada rekomendasi dari KPK. Jadi PP 99 Tahun 2012 tidak berlaku.Tidak ada PP-PP-an lagi. Semua kembali ke KUHAP,” kata Herman.

Sedangkan, di revisi UU yang baru, syarat meminta rekomendasi ke lembaga terkait dihilangkan. Di dalam pasal 43A PP Nomor 99 Tahun 2019 sebelumnya mengatur seorang narapidana bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat apabila memenuhi sejumlah persyaratan.

Misalnya, bersedia menjadi justice collaborator, menjalani hukum dua pertiga masa pidana, menjalani asimilasi setengah dari masa pidana yang dijalani, serta menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan.

Revisi UU Pemasyarakatan siap dibawa ke sidang paripurna

PP nomor 99 tahun 2012 otomatis akan menjadi tak berlaku apabila revisi UU Pemasyarakatan disahkan. Pembahasan revisi UU Pemasyarakatan berlangsung mulus dalam rapat tingkat pertama di Komisi III pada Selasa (17/9) kemarin. Padahal, saat itu, fokus publik tengah berada di sidang paripurna pengesahan revisi UU KPK.

DPR dan pemerintah sepakat pembahasan revisi UU Pemasyarakatan dilanjutkan ke tingkat II. Setelah itu, DPR akan menjadwalkan paripurna untuk mengesahkan revisi UU tersebut.

 

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru