27.6 C
Jakarta

Pemberantasan Intoleransi dan Fundamentalisme Islam dalam Idealisme Ridwan Kamil

Artikel Trending

Milenial IslamPemberantasan Intoleransi dan Fundamentalisme Islam dalam Idealisme Ridwan Kamil
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada yang menarik dari podcast Gubernur Jawa Barat, Ridwal Kamil, atau akrabnya Kang Emil, dengan putra eks-Ketua BIN AM Hendropriyono, Diaz Hendropriyono di kanal YouTube miliknya pada Senin (8/3) kemarin. Diskusi santai bertajuk “Tidak Ada Intoleransi di Jawa Barat!” berdurasi hampir satu jam itu membahas pelbagai hal, termasuk strategi Kang Emil terhadap sejumlah persoalan, seperti intoleransi, ideologi, juga fundamentalisme Islam.

Menurut Kang Emil, setelah Diaz cecar dengan pertanyaan  mengenai intoleransi, yang menjadi penyebab tergerusnya sikap toleran ialah kesalahpahaman. Satu orang atau kelompok mengalami miskomunikasi dengan lainnya, sehingga lahirlah gesekan. Di Jawa Barat sendiri, menurutnya, tergolong rukun. Dirinya yakin, melalui kebijakan pendirian Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), intoleransi teratasi. Satu masalah dicari duduk perkaranya—menghindari potensi aksi intoleran.

Indonesia, dalam pemaparan Ridwan Kamil, menjadi perebutan ideologi. Antara yang terlalu ke kiri yakni komunis, dengan yang terlalu ke kanan yaitu fundamentalis. Pancasila ada di tengah dan sudah final, tidak bisa kita  perdebatkan. Negara tidak bisa berlandaskan agama agar tidak pecah seperti India-Pakistan-Bangladesh, juga tidak bisa berlandaskan etnis agar tidak mengalami nasib seperti Yugoslavia. Pancasila berperan, di negeri ini, dalam merukunkan warga lintas agama dan etnis tadi.

Kepada Ketum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia itu, Kang Emil dengan percaya diri mengatakan, fundamentalisme Islam sendiri tidak lepas dari dua faktor. Pertama, kemiskinan. Sementara kalangan miskin benci terhadap sistem dan menuduh sebagai musabab kemiskinannya. Jadilah ia radikal. Kedua, ideologi.  Anggapan thaghut dan narasi khilafah seperti yang HTI, JAD, JI, dkk kibarkan terlatarbelakangi oleh ideologi mereka sendiri. Ekstremisme, pendeknya.

Dialog kemudian Kang Emil sinyalir  sebagai penyelesaian. Sayangnya, menurutnya, masyarakat kita tidak suka dialog. Maka larutlah fundamentalisme Islam tadi—tidak kunjung menemui titik efektif pemberantasan. Apa yang Ridwan Kamil sampaikan, tentu, tidak lepas dari posisinya sebagai seorang gubernur dengan kebijakan-kebijakannya. Tetapi benarkah pemberantasan intoleransi dan fundamentalisme Islam sesederhana dalam idealisme kebijakan Kang Emil? Menarik dikaji.

Fundamentalisme Islam: Kemiskinan vis-à-vis Ideologi

Sebenarnya kita sudah bisa membaca, bahwa yang namanya kebijakan, untuk memberantas  intoleransi dan fundamentalisme, itu tidak sedikit. Pelbagai cara ditempuh, tetapi terorisme tetap menghantui dan seolah lestari. Kebijakan apa yang belum pemerintah pusat buat? Cara militeristik sudah, cara persuasif juga demikian. Kenapa kelompok ekstrem seperti JAD, FPI, dkk malah justru mengalami polarisasi? Pasti ada yang salah. Dan kita akhirnya melihat, bahwa memberantas mereka, tidak segampang di idealisme.

Agama, politik, dan fundamentalisme memiliki keterkaitan erat. Agama menjadi faktor paling dominan, diikuti kemudian oleh perseteruan antarfraksi politik yang direspons masyarakat dengan kecemburuan yang membuat mereka jadi radikalis. Baik agama maupun politik tadi berperan besar terhadap dua penyebab fundamentalisme Islam yang Kang Emil uraikan: kemiskinan dan ideologi. Di Jawa Barat, Kang Emil menyelesaikan keduanya based to basic, dan idealnya, itu sangat efektif memberantas.

BACA JUGA  Paslon yang Didukung Abu Bakar Ba'asyir Membahayakan Indonesia?

Ketika Kang Emil memaparkan kebijakan, seperti one pesantren one product yang dirinya  cetuskan, atau pelatihan bahasa Inggris  bagi ulama agar mereka mempresentasikan bagaimana Islam damai di Indonesia khususnya Jawa Barat, maka seharusnya, idealnya, kemiskinan dan ideologi tadi terminimalisir, yang kemudian menggerus juga persentase fundamentalisme Islam. Tetapi faktanya terorisme dan aksi para kaum fundamentalis  terjadi secara fluktuatif, bukan?

Itu artinya, segala kebijakan pemberantasan intoleransi dan fundamentalisme Islam berjalan di tataran ideal, seideal gagasan Ridwan Kamil sebagai gubernur. Kendati demikian, di lapangan, terorisme bersifat dinamis. Kesenjangan ekonomi, perseteruan politik, dan kecemburuan sosial merupakan faktor yang berkelindan dengan faktor ideologi. Keduanya tidak bisa  terpisahkan. Faktanya, banyak orang miskin, tetapi kalau tidak karena doktrin ideologi, apakah mereka akan menjadi radikal-ekstrem? Tidak.

Ideologi yang ekstrem, yang membenarkan kekerasan dan sejenisnya, yang menjustifikasi teror, menghanguskan kemanusiaan, itu kemudian mendapat persetujuannya melalui kemiskinan yang ada. Mereka merasa miskin karena sistem thaghut, tidak ikut syariat, dan alasan lainnya. Jadi keduanya tidak terpisahkan. Dan mereka akan tetap jadi fundamentalis, tidak mempan dengan kebijakan apapun, mungkin kecuali dengan pendekatan militeristik.

Fakta Pemberantasan di Lapangan

Apakah di sini hendak ditegaskan bahwa kebijakan Ridwan Kamil sama sekali tidak efektif? Sama sekali bukan begitu. Di sini sekadar hendak menegaskan, bahwa memberantas intoleransi dan fundamentalisme Islam itu tidak semudah yang kita bayangkan. Negara ini sudah berperang dengan para perongrong negeri sejak NKRI itu berdiri. Gagasan tentang FKUB, one pesantren one product, tidak akan bisa mewaraskan kegilaan kaum ekstremis. Lantaran, doktrin ideologis mereka jauh lebih kuat.

Kasus di pelbagai daerah bisa menjadi bukti. Daerah dengan kekayaan berlimpah  juga tidak jarang terhinggapi terorisme, dan daerah miskin juga tidak selamanya menjadi sarang fundamentalis. Apakah dialog juga tidak efektif? Justru mereka, para teroris, anti-dialog. Andai kaum fundamentalis seperti mereka bisa teratasi dengan dialog, seharusnya terorisme MIT di Poso sudah berakhir, dan secara umum terorisme di dunia sudah sirna lantaran dialog antaragama yang masif hari-hari ini.

Dalam memberantas persoalan tersebut, kita butuh lebih dari sekadar kebijakan birokratis. Segala bentuk kebijakan ke arah pemberantasan itu sudah bersumbangsih banyak meminimalisir fundamentalisme Islam, itu benar. Tetapi jika klimaks dari fundamentalisme itu sendiri, yaitu terorisme, tetap lestari, apa bedanya? Masalah kita, yang terbesar, di Negara ini, adalah terorisme. Intoleransi, radikalisme, ekstremisme, muaranya adalah aksi teror yang sadis.

Idealisme Ridwan Kamil dalam memberantas fundamentalisme Islam patut kita apresiasi. Tetapi kita juga harus paham, bahwa fakta di lapangan tidak selalu semulus itu. Karenanya, PR kita masih banyak. Intoleransi harus  diantisipasi, tetapi hasilnya tidak boleh membuat kita puas diri. Apalagi sampai mengatakan, dengan percaya diri, bahwa suatu daerah sudah steril dari intoleransi. Intoleransi, radikalisme, fundamentalisme, terorisme, atau apapun kita menyebutnya, itu butuh usaha pemberantasan yang berkelanjutan, integratif, dan masif. Selamanya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru