26.5 C
Jakarta

Pembelajar Jadi Teroris adalah Perusak Masa Depan Bangsa

Artikel Trending

Milenial IslamPembelajar Jadi Teroris adalah Perusak Masa Depan Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Lagi dan lagi, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap 13 terduga teroris di Riau. Mereka diduga berasal dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI) Senin (14/6). Beberapa waktu lalu, Densus 88 juga menangkap 11 terduga teroris di Merauke, Papua. Hanya, mereka berasal dari jaringan lain, yakni kelompok Vila Mutiara Makassar (Detik 15/6/2021).

Pada saat yang sama, Densus 88 Antiteror Polri menangkap terduga teroris jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) berinisial KDW di Bogor, Jawa Barat, Senin (14/6) malam lalu. KDW merupakan lulusan Universitas Indonesia (UI). Ia mulai berkuliah di UI pada 2009. Tak butuh waktu lama, KDW lulus 3 tahun kemudian pada 2012.

Terpelajar Mengapa Bisa Jadi Teroris?

Yang mengherankan, dia adalah penyedia bahan baku bom. Mengutup detik, KDW ini berperan menyiapkan bahan bahan kimia yang bakal digunakan sebagai bahan baku pembuat bom.

Bahan itu di antaranya yang telah disiapkan KDW ini mula dari barang dekstran, magnesium sulfat, sodium borate, HCL, belerang, dan bahan-bahan kimia lain. Ini diamankan dari tersangka KDW, oleh Densus.

Jika melihat seorang terpelajar kehilangan nuraninya dan berani melakukan aksi keji tersebut apa yang salah dengan pendidikan ini? Mari kita periksa bersama.

Di dalam perguruan tinggi atau kampus, banyak kepala, dosen, jabatan, Ukm, dan tempat, dan ideologi yang beroperasi. Masing masing dari mereka semuanya saling menginginkan dagangannya laris dan keinginannya terpenuhi. Sebagaimana juga dosen HTI atau teroris yang menyusup daripada mahasiswa atau alumni seperti KDW di atas.

Banyak di antara mereka berbondong mencari lahan basah. Melakukan propaganda dan pencucian otak. Ideologi ekstrem teroris dijual dan dijadikan bahan jadi untuk bagaimana muslim jihad atas nama agamanya. Maka lahirlah orang seperti KDW itu.

Yang bermain tentu saja sudah berpengalaman di bidangnya. Di Indonesia, satu Maman Abdurrahman tidak bakal cukup untuk menggerogoti anak muda milenial yang lagi semangatnya belajar agama. Pasti banyak orang seperti Maman yang terkumpul dalam jaringan JI atau JAD. Dan mereka sudah punya dekengan kuat dari jaringan transnasionalnya.

Kelompok JI dan JAD ini adalah kelompok paling keras kepala di Indonesia. Mereka tak pernah kapok meneror saudaranya sendiri. Buktinya sejak dulu kala, bahkan pada awal Juni kamarin hingga kini, Densus 88 menangkap teroris yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Papua, yaitu Jamaah Ansarut Daulah (JAD).

BACA JUGA  War Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan

Indonesia dan Disorientasi Masyarakat Beragama

Teroris di Indonesia bagi banyak pengamat dianggap sulit terdeteksi karena mereka pasif. Bahkan yang membantunya termasuk para kerabatnya, mereka sangat pasif. Sehingga, persembunyiannya sangat sulit ditemukan. Mereka mau keluar apabila dikasih restu oleh para ketuanya, yang menjadi Tuhannya.

Dari situlah membingungkan dan membuat sulit kita. Bahkan kendati itu, Indonesia bagi banyak pengamat diandaikan berada “di tubir” negara gagal dan surplus kesengsaraan. Terjadinya demikian, akibat kobaran rasisme, terorisme, pandemi, dan hantaman dakwah kebencian di media sosial. Sehingga, tidak boleh tidak harus dicegah sejak dini.

Ideologi radikal, teroristik, KKB, dan problem sosial, tidak bisa kita hadapi dengan wacana dan tindakan rapresif. Kendati itu akan mengganggu stabilitas kewarganegaraan kita. Maka pendekatannya harus dipikirkan dengan matang.

Pendekatan militeralistik pasti perlu, tapi jelas bukanlah itu satu-satunya cara. Kita bisa melihat Aceh, konflik Poso, Ambon, dan sejenisnya, telihat tidak efektif dan malah kontraproduktif. Sebabnya, solusi komprehensif untuk menyelesaikan terorisme dan radikalisme dan sebangsanya, harus melalui sosio-kultural dan origin dari agama dan masyarakat setempat.

Di tengah, disoreintasi nilai-nilai masyarakat yang mengalami krisis, dan karena itu mereka mudah terpapar gagasan transnasional teroristik, perlu dikembalikan kembali ke jalan pencerahan. Maka itu, derevitalisasi lewat pendekatan sosio-kultural dan ceramah dakwah cinta.

Dengan ditingkatkanya revitalisasi sosio kultural masyarakat, secara tidak langsung atau langsung, pasti memiliki efek dan potensi besar untuk mengembalikan dan memperkuat jalinan tenunan masyarakat yang pernah terbelah. Masyarakat dapat merajut kembali kohesi sosialnya. Solidaritas bakal hidup dan pencegahan dini dari infiltrasi anasir terorisme mereka akan mudah dicegah.

Di samping itu, penerapan pemahaman dakwah keagamaan dan kebangsaan dan mazhab-mazhab lain di luar menjadi kunci dalam aktivitas kehidupan. Agar, ia menjadi pandu dalam perjalanan kehidupan kita dan umat manusia, bukan hanya pada lanskap dunia, tetapi juga pada akhirat. Maka dengan itu, hari ini sudah saatnya pembelajar harus bebas dari ideologi, paham, ajaran terorisme. Katakan tidak pada terorisme!

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru