26.2 C
Jakarta

Pemaksaan Jilbab dan Imajinasi Keluarga Muslimah pada Anak Muda

Artikel Trending

KhazanahTelaahPemaksaan Jilbab dan Imajinasi Keluarga Muslimah pada Anak Muda
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Miris memang ketika hidup di tengah berkembangnya media sosial. Ruang untuk mencari uang dan dakwah sangat beda tipis. Ditambah lagi ketika membuat konten yang erat kaitannya dengan agama, rentan mendapatkan kritikan. Terkadang Islam dicederai oleh konten-konten yang tidak ramah. Islam diperlihatkan dengan perwujudan yang memaksa. Baru-baru ini, netizen yang dihebohkan dengan akun youtube Zavilda TV yang memaksa para perempuan di sekitar Malioboro untuk mengggunakan jilbab. Terlihat dalam beberapa video itu, para perempuan tidak nyaman dengan upaya yang dilakukan perempuan bercadar tersebut. Atas pemaksaan itu, netizen ramai-ramai menggugat akun Zavilda TV untuk direport.

Apa yang menjadi masalah dalam video tersebut? ruang ekspresi beragama yang diwujudkan salah satunya tentang kewajiban berjilbab pada perempuan muslim, menciderai nilai-nilai kemanusiaan ketika terdapat unsur pemaksaan di dalamnya. Padahal, jika kita menganggap bahwa jilbab adalah sebuah kewajiban terhadap umat Islam, tidak perlu memaksa orang lain untuk memiliki pemahaman yang sama terhadap kewajiban berjilbab. Atas perbedaan pemahaman inilah, kemudian kita mengenal arti toleransi karena perbedaan cara pandang. Menghargai segala pemikiran dan klaim kebenaran orang lain. Jika kita menabrak ruang toleransi ini, yang terjadi justru, setiap penganut agama akan saling tarung dan tengkar satu sama lain karena merasa paling benar diantara yang lain. Dalam kalimat sederhananya, berlomba-lomba menjadi salih/salihah itu wajib, akan tetapi menganggap diri salih/salihah tidak boleh.

Imajinasi keluarga muslimah secara kaffah

Tokoh perempuan yang diterdapat dalam video tersebut bukanlah generasi baby boomer atau generasi Y. Akan tetapi, ia adalah generasi Z yang lahir dalam rentang waktu sejak tahun 2000-an. Mereka hidup dalam dunia yang sudah berubah. Media sosial, internet, sudah membanjiri kehidupan mereka. Cara hidup yang instan, berpengaruh besar terhadap kehidupan beragama yang instan. Salah satu contoh sederhana adalah, mengetahui hukum berjilbab dalam Islam.

Jika kita mencari hukum jilbab dalam Islam melalui google, yang keluar adalah hukumnya wajib. Jawaban google memang sangat tegas dibandingkan dengan jawaban para ulama. Di kalangan ulama, perbedaan pendapat pada kewajiban berjilbab sangatlah beragam. Jika kita menganut pemahaman jilbab adalah wajib, silahkan saja. Tapi, sebagian orang yang menganggap bahwa jilbab tidak wajib, kita tidak perlu berdebat atas pilihan tersebut karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki. Masalahnya, demam menjadi salih/salihah dengan mengaku paling benar adalah penyakit yang banyak dimiliki oleh umat beragama pada masa kini. Di tengah arus informasi yang sangat beragam, dalam waktu yang cukup singkat, kita membaca banyak perspektif dan ragam pengetahuan. Hal itu kadang membuat kita merasa paling tahu dan paling benar diantara yang lain.

BACA JUGA  Pesan untuk Anak Muda: Tren Kampanye Tiktok Perlu Disikapi dengan Kritis

Kalangan muslim urban, yang memahami Islam secara instan, masa bodoh dengan pemikiran yang cukup kompleks tentang suatu fenomena, khususnya kewajiban berjilbab. Mereka hanya cukup memahami agama, kalau bukan halal, ya haram. Kalau bukan wajib, ya tidak wajib. Pemahaman semacam ini menciptakan negasi pemahaman yang lain, seperti halnya perbedaan pendapat dan menghargai perbedaan itu.

Pola beragama yang instan, membuat kita terlena untuk beragama secara kritis dan rasional. Tidak hanya itu, imajinasi keluarga salihah pada kalangan anak muda, tidak lepas dari penampilan para kalangan muslim urban yang sering tampil di media sosial. Para keluarga (yang mengaku/berlomba-lomba)salihah di media sosial, tampil dengan peran dua ruang. Laki-laki berada di ruang publik, perempuan berada di ruang domestik yang mengurus anak dan keluarga di rumah. Kehidupan keluarga tersebut sangat bahagia dengan tampilan media sosial yang familiable.

Atas dasar itu, anak muda muslim dari kalangan gen.Z berimajinasi bahwa, keluarga salihah adalah pihak perempuan mengurus rumah tangga, penampilannya dengan pakaian tertutup pakai cadar. Imajinasi itu tidak bisa diaplikasikan kepada perempuan yang tiap pagi harus pergi ke pasar untuk jualan, atau kepada perempuan yang pergi ke sawah untuk menanam padi, ataupun perempuan yang berjualan krupuk dengan sepeda ontel di jalan. Apakah mereka bukanlah perempuan salihah? Belum tentu. Bukankah para perempuan itu berjuang untuk kehidupan keluarganya agar tidak kelaparan? Bukankah dalam Islam wajib untuk menafkahi keluarga agar terhindari dari kemiskinan? Makanya, beragama perlu kritis, bukan hanya ikut-ikutan. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru