Harakatuna.com. Cirebon—Mahasiswa Bahasa Arab Se-Indonesia diharapkan terus menyuarakan nilai-nilai toleransi. Pemahaman bahasa Arab pada Al Quran dan hadis yang sesuai konteks dapat mencegah radikalisme, termasuk stigmatisasi radikalisme atas Islam.
Demikian salah satu benang merah dalam seminar daring bertema ”Memperkokoh Peran Mahasiswa dan Generasi Muda dalam Menangkal Paham Radikalisme”, Jumat (30/7/2021). Kegiatan ini termasuk rangkaian Muktamar IX Ittihadu Thalabati al Lughah al Arabiyah bi Indonesia (ITHLA) atau Persatuan Mahasiswa Bahasa Arab Se-Indonesia.
Wakil Ketua MPR Arsul Sani, pembicara kunci dalam seminar tersebut, mengatakan, mahasiswa termasuk kelompok 10-12 persen dari penduduk Indonesia yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Sebagai intelektual, lanjutnya, mahasiswa bertanggung jawab menjaga nasionalisme dan toleransi.
”Saya berharap ITHLA bisa terus ikut mencegah meluasnya radikalisme. Sebagai intelektual, kita perlu meletakkan cara pandang proporsional yang tidak menambah stigmatisasi,” ujarnya. Radikalisme di sini merupakan paham yang menghendaki perubahan atau perombakan besar-besaran dan mendasar, bahkan dengan cara kekerasan.
Peran mahasiswa Bahasa Arab di sini dibutuhkan untuk meluruskan bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam. Islam juga tidak mengajarkan kekerasan terhadap agama lain. Radikalisme, lanjutnya, muncul salah satunya karena pemahaman seseorang atau kelompok atas kitab suci secara tekstual, tanpa mengetahui konteks dan latar belakangnya.
”Radikalisme dan terorisme sering kali muncul karena pemahaman teks (atas Al Quran dan hadis) yang keliru. Salah satu faktor utamanya tidak ada penguasaan bahasa Arab yang baik. Banyak pemimpin kelompok radikal tidak paham bahasa Arab,” ungkap M Najih Arromadloni, pendiri Center of Research and Islamic Studies, yang menjadi narasumber.
Ironisnya, kelompok radikal, lanjutnya, kerap menggunakan ayat Al Quran dan hadis sebagai pembenaran untuk melakukan kekerasan. ”Misalnya, terjemahan sebuah hadis terkait perintah membunuh orang yang tidak masuk agama (Islam). Padahal, seharusnya kita diperintahkan menyerang hanya ketika diserang,” ujarnya.
Noor Huda Ismail, peneliti terorisme yang turut berbicara, menilai, tantangan terbesar generasi muda kini adalah mengontekstualisasikan Islam saat ini. Misalnya, menghalau berita hoaks dan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama di media sosial. Di sana, kata dia, mahasiswa Bahasa Arab berperan penting.
”Yang menjadi radikal hari ini orang-orang yang belajar tidak di masjid, pesantren, guru yang benar. Namun, melalui gawai, jemaah Facebookia, Twitteria. Jadi, Islamnya itu sepotong-sepotong,” kata pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian itu.