27.3 C
Jakarta
Array

Pelajaran Menulis dari Sosok Mahbub Djunaidi

Artikel Trending

Pelajaran Menulis dari Sosok Mahbub Djunaidi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mahbub Djunaidi adalah sosok pribadi yang begitu unik semasa hidupnya. Ia merupakan seorang keturunan Banten – Betawi yang lahir pada 27 Juli 1933 silam. Ia dikenal sebagai seorang pendekar pena melalui tulisan-tulisannya yang bernas, berbobot dan berkualitas. Salah satu penghargaan yang ia peroleh dalam dunia kepenulisan adalah tatkala romannya berjudul Dari Hari Ke Hari dinobatkan sebagai pemenang pada perhelaatan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 1974.

Tentu saja, apa yang terjadi pada diri Mahbub akan kelihaniannya dalam dunia tulis-menulis  tidak lahir begitu saja. Instan. Akan tetapi, ada sebuah proses berupa ketekunan, kerja keras hingga disiplin yang kemudian menjadikannya menulis adalah bagian dari kebiasaan. Ya, benar. Menulis membutuhkan sebuah habit. Kegiatan berulang-ulang untuk membentuk kebiasaan. Pelajaran terpenting dari sebuah menulis, tidak lain adalah membaca. Semakin banyak referensi bacaan, akan berdampak pada meningkatnya pengetahuan, wawasan dan kecerdasan seseorang.

Itu, tentu saja terjadi juga pada seorang Mahbub Djunaidi. Dalam sebuah pengakuan dari salah satu kawan terdekatnya, Said Budairy—Mahbub sangat menyenangi sastra Rusia. Bagi Mahbub, sastrawan Rusia banyak melahirkan karya sastra yang sarat dengan kritik tajam dan dituturkan secara satire. Humor-humor kecil menjadikan kritik-kritik yang termaktub dalam tulisan terkesan lucu. Tak mengherankan, ketika kemudian tulisan-tulisan Mahbub acapkali memiliki ciri khas berupa: bernuansa humor, satire dan penuh kritik.

Hal kedua yang dapat diambil dari Mahbub Djunaidi adalah ihwal ketekunan. Dalam aktivitas menulis, itu sangatlah begitu penting. Ia meliputi komitmen dan usaha dalam menempa diri. Menggali potensi hingga menemukan gaya kepenulisan dalam diri hingga dalam situasi dan kondisi apa pun dapat menggali dan menemukan ide maupun gagasan yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Ketekunan itu melatih nalar untuk terus membaca realitas dan melawan mandeknya sebuah gagasan.

Ketika menilik apa yang pernah dilalui oleh Mahbub—semenjak berada di Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia mulai rajin menulis. Ibarat kata, “semangatnya menggebu-gebu” tatkala cerita pendek yang berjudul Tanah Mati dipublikasikan oleh Majalah Kisah—yang mana mendapat komentar dan penilaian secara langsung dari pengelolanya, HB Jassin. Peristiwa itu pun merupakan peristiwa yang tak pernah terlupakan oleh seorang Mahbub.

Tidak mudah puas tentu saja adalah menjadi pelajaran selanjutnya. Dengan arti lain, apa yang dituliskan meskipun mendapat apresiasi maupun pujian, jangan mudah berpuas diri. Acapkali yang terjadi pada kebanyakan penulis adalah merasa puas diri atas karyanya yang berimbas pada penurunan produktivitas. Berbagai efek kemudian menghantui seperti halnya pada kealasan dalam berbagai aktivitas menulis maupun membaca atau bahkan menemukan kesulitan dalam formula dalam menjalankan aktivitas menulis.

Masa kecil Mahbub saat Indonesia berada pada masa zaman revolusi. Pelbagai gejolak terjadi pada saat itu. Ia masuk sekolah menengah pertama pada usia 15 tahun. Saat menginjak di Sekolah Menengah Atas (SMA) di Boedi Oetomo yang kemudian menjadi SMA N 1 Jakarta, Mahbub mengusulkan agar sekolah menerbitkan majalah. Majalah bernama Siswa ia prakarsai dan sekaligus menjadi Pemimpin redaksinya. Terbitan pertama tertanggal 6 Desember 1954. Lewat majalah itu juga—menandai sejarah pertama kalinya Mahbub menulis kolom. Kolom tersebut berjudul Yang Masih Harus Dijelmakan.

Punya daya survive adalah pelajaran selanjutnya dari seorang Mahbub. Dalam hal dunia tulis-menulis, ia berkaitan mengenai media yang memuplikasikan tulisan yang telah dibuat. Menggali informasi terkait pelbagai media yang menerima tulisan adalah naluri yang harus dipunyai oleh penulis. Misalkan apa yang pernah dilalui oleh seorang Mahbub. Selain berkutat dengan majalah yang ada di sekolah, kemudian banyak tulisan Mahbub tersebar maupun tersiar di pelbagai media yang ada pada saat itu. Diantaranya adalah Puisi di Siasat, Esai di Mimbar Indonesia, serta Cerpen di Roman, Star Weekly dan Cinta.

Pelajaran selanjutnya berupa penguasaan bahasa asing. Ini menjadi penting tatkala apa yang dijadikan bahan referensi bacaan oleh seorang penulis itu tidak melulu yang berbahasa Indonesia. Tidak melulu pula karya-karya penulis asli Indonesia. Melainkan dari itu, karya-karya penulis luar yang mungkin saja itu menarik dan penting. Bisa jadi justru menjadikan penulis dapat menerjemahkan karya-karya tersebut. Selama hidup, Mahbub Djunaidi menrjemahkan beberapa uku, diantaranya: Cakar-cakar Irving (Art Buchwald), Hidup Baru Mulai di Umur 40 Tahun (Robert Peterson), 80 Hari Keliling Dunia (Jules Verne), Di Kaki Langit Gurun Sinai (Hassanain Heikal), Binatangisme (George Orwell) serta 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Michael H. Hart).

Selanjutnya adalah berani ambil resiko dan tak tanggung-tanggung. Hal tersebut dicontohkan oleh Mahbub tatkala tulisan demi tulisan yang ia hasilkan adalah syarat muatan kritik. Utamanya adalah terhadap pemerintahan yang ada pada saat itu. Ketika berada pada masa orde lama, meskipun sangat dekat dengan Soekarno—sering diskusi, tetapi banyak kesempatan ia menuliskan kritik yang dilontarkan kepada keberjalanan  pemerintah dibawa kepemimpinan Soekarno. Pun juga saat berada di zaman orde baru, tulisannya berjudul Demokrasi Babi bahkan sampai membuat Kompas dibredel pada zaman Soeharto.

Namun, begitulah alur perjuangan atas sebuah narasi keberpihakan. Di depan, segala resiko memang terus menghadang. Tak tanggung-tanggung, seorang Mahbub pun pernah mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Nirbaya dalam beberapa waktu akibat anti-kritik yang mewabah serta subversifitas yang terjadi pada rezim orde baru.  Keberpihakan Mahbub kepada penulis lain dilakukan tatkala saat menjadi pimpinan redaksi Duta Masyarakat (1960 – 1970) terus memberikan simpati pada Pramoedya Ananta Toer. Pun kepada Hamka saat karyanya berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang dituding orang-orang Lekra hasil plagiat maupun jiplakan.

Pelajaran terakhir tentu saja adalah berani berkarya. Untuk urusan ini, Mahbub pernah berujar, “saya akan menulis dan terus menulis, hingga saya tak mampu menulis lagi”. Walaupun sejak 1 Oktober 1995 ia meninggal, berkat goresan penanya, hingga kini karya-karyanya dapat dibaca maupun dibicarakan yang tak lekang oleh zaman. Karya-karya di luar terjemahan yang telah disebutkan tadi, yaitu: Angin Musim, Humor Jurnalistik, Kolom Ke Kolom, Asal-Usul serta Politik Tingkat Tinggi Kampus. Benar, menyitir apa yang pernah disampaikan oleh salah seorang sastrawan termasyhur, Pramoedya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Begitu.[]

Oleh: Joko Priyono. Ketua PMII Universitas Sebelas Maret Surakarta 2018 – 2019.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru