30.9 C
Jakarta
Array

Pegadaian Syariah dan Peningkatan Inklusi Keuangan Syariah di Indonesia

Artikel Trending

Pegadaian Syariah dan Peningkatan Inklusi Keuangan Syariah di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam dinamika kehidupan sosial ekonomi di Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang memiliki harta dalam bentuk non-tunai dan pada saat yang bersamaan membutuhkan dana tunai untuk berbagai macam kebutuhan. Masyarakat yang menghadapi keadaan demikian kerap melakukan transaksi dengan cara menggadaikan barang-barang berharga miliknya untuk mendapatkan dana dalam waktu singkat.

Namun tidak semua lembaga keuangan dapat memberikan pinjaman gadai dengan persyaratan dan proses yang mudah, sehingga timbul problematika tersendiri bagi masyarakat yang terdesak terutama masyarakat kelas menengah kebawah yang mayoritas masih unbankable atau sulit menjangkau lembaga perbankan. Tidak sedikit masyarakat yang terjebak untuk meminjam uang kepada rentenir dengan resiko bunga yang berlipat ganda.

Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap praktik gadai, pemerintah Indonesia mendukung perkembangan lembaga Pegadaian yang sejatinya telah berdiri sejak era kolonial Hindia Belanda.

Lembaga Pegadaian Negara pertama di Indonesia diprakarsai oleh terbitnya peraturan Staatsblad (Stbl) pemerintah Hindia Belanda No. 131 pada tanggal 12 Maret 1901. Staatsblad tersebut memprakarsai berdirinya lembaga Pegadaian Negara pertama di Sukabumi pada tanggal 1 April 1901.

Pasca era kemerdekaan, lembaga Pegadaian kemudian dikelola oleh pemerintah dan sudah beberapa kali mengalami perubahan status badan hukum, dimulai dengan Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961.

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1969 berubah menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN), selanjutnya berdasarkan PP No. 10 Tahun 1990 (yang diperbaharui dengan PP No. 103 Tahun 2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM) dan pada akhirnya status badan hukum Pegadaian berubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan PP No. 51 Tahun 2011 tanggal 13 Desember 2011 dengan nama PT Pegadaian dan diresmikan pada tanggal 1 April 2012 yang berlaku hingga saat ini.

Bisnis Pegadaian mengalami pertumbuhan pesat dan perkembangan signifikan seiring tingginya permintaan masyarakat terhadap praktik gadai dalam beragam model dan bentuk transaksi.

Menurut laporan tahunan dari PT Pegadaian tahun 2018, jumlah nasabah Pegadaian mencapai lebih dari 10,2 juta jiwa dan ditargetkan akan bertambah menjadi 12 juta jiwa pada tahun 2019. Hingga kini, lembaga Pegadaian terus mengembangkan berbagai inovasi baru untuk memperluas pasar dan menunjang pelayanan nasabah. Beberapa langkah yang telah dilakukan Pegadaian antara lain menghadirkan produk Pegadaian Digital Service (PDS), Investasi Emas, Gadai Syariah, Gadai Tanpa Bunga dan memperbanyak jumlah agen Pegadaian untuk memperkuat inklusi keuangan.

Animo masyarakat terhadap transaksi gadai dikarenakan prosedur memperoleh dana pinjaman di Pegadaian cukup sederhana dan relatif cepat serta mudah. Calon nasabah Pegadaian tidak diharuskan membuka rekening untuk mendapatkan dana pinjaman.

Praktik tersebut bertolak belakang dengan perbankan yang mana nasabah perbankan biasanya diharuskan membuat perincian detail terkait penggunaan dana pinjaman dan harus memiliki rekening tabungan di lembaga perbankan yang bersangkutan. Peningkatan jumlah nasabah, laba, maupun outlet bukan hanya terjadi pada Pegadaian Konvensional, tetapi juga pada Pegadaian Syariah.

Omset Pegadaian Syariah terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut laporan OJK pada tahun 2018, Pegadaian Syariah berhasil mencatatkan pembiayaan syariah sebesar Rp 5,26 Triliun atau naik 7,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan respon positif dari masyarakat terhadap praktik gadai berprinsip syariah yang terbebas dari unsur riba, gharar, dan maysir.

Landasan Hukum dan Mekanisme Pegadaian Syariah

Praktik gadai (Rahn) merupakan salah satu transaksi yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah, Allah swt. berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 283 “Dan apabila kamu dalam perjalanan (dan melakukan transaksi secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang…”.

Adapun dalam hadits Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari A’isyah r.a., ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”. Hadits lain diriwayatkan al-Syafi’i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” Oleh karena itu, dengan landasan yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181).

Selain itu, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan fatwa berkaitan operasional Pegadaian Syariah yaitu Fatwa DSN-MUI No. 25 Tahun 2002 tentang Rahn yang didalamnya menjelaskan landasan hukum dari Al-Qur’an dan Hadits berkaitan dengan gadai beserta dengan ketentuan-ketentuannya. MUI juga mengeluarkan fatwa DSN-MUI No. 26 Tahun 2002 tentang Rahn Emas yang melegalkan jaminan utang berupa emas untuk mendapatkan pinjaman uang. Selanjutnya, MUI mengeluarkan fatwa DSN-MUI No. 68 Tahun 2008 tentang RahnTasjily.

RahnTasjily disebut juga dengan Rahn Ta’mini, Rahn Rasmi, atau Rahn Hukmi, adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin).

Perhatian MUI terhadap pengembangan Rahn juga tampak jelas dengan dikeluarkannya fatwa DSN-MUI No. 92 Tahun 2014 tentang Pembiayaan yang disertai Rahn untuk mengatur ketentuan Rahn yang berkaitan dengan akad-akad pembiayaan berlandaskan syariah seperti jual beli murabahah, mudharabah dan istishna’.

Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan.

Konsekuensi dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi biaya sewa tempat penyimpanan, biaya perawatan dan biaya administrasi. Atas dasar ini, Pegadaian membebankan biaya sewa (mu’nah) kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah memperoleh keutungan dari bea sewa tempat dan biaya administrasi, bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman layaknya dalam Pegadaian Konvensional.

Dalam transaksi gadai atau rahn terdapat dua akad yang digunakan yakni akad rahn dan akad ijarah. Akad rahn terjadi saat dilaksanakan akad utang dengan menggadaikan harta nasabah sebagai jaminan utang.

Kemudian akad ijarah timbul untuk penyewaan tempat dan pembayaran jasa penyimpanan terhadap harta gadai tersebut. Lembaga Pegadaian Syariah berperan dalam menyewakan tempat dan memberikan jasa penyimpanan, sedangkan nasabah berperan sebagai penyewa tempat dan pengguna jasa penyimpanan. Kedua akad tersebut akan ditandatangani sekaligus pada saat nasabah menyerahkan hartanya ke lembaga Pegadaian Syariah.

Upaya Pegadaian Syariah dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh sensus Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk Indonesia mencapai 236,7 juta jiwa dengan mayoritas penduduk beragama Islam yaitu sebesar 207 juta jiwa atau lebih dari 87 persen dari total populasi.

Dengan besarnya jumlah penduduk muslim dan animo masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap transaksi gadai syariah, timbul peluang sekaligus tantangan bagi lembaga Pegadaian Syariah untuk memaksimalkan potensi pengembangan produk Pegadaian yang berlandaskan prinsip syariah.

Dalam memaksimalkan potensi tersebut,  mulai tahun 2018 Pegadaian bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaksanakan seminar literasi keuangan syariah di beberapa kota di Indonesia. Seminar literasi dan inklusi keuangan syariah ini diadakan karena terdapat pangsa pasar keuangan syariah yang tinggi di Indonesia namun tidak diimbangi dengan rasio inklusi keuangan yang mendukung.

Hal ini tampak jelas dengan rasio inklusi keuangan di Indonesia yang masih cukup rendah. Menurut survei yang dilakukan OJK, secara umum rasio inklusi keuangan di Indonesia pada tahun 2018 hanya mencapai angka 48,9 persen dari total penduduk Indonesia adapun rasio inklusi keuangan syariah masih sangat rendah karena hanya mencapai angka 11,6 persen.

Pegadaian Syariah juga berupaya meningkatkan pangsa pasar bagi kaum milenial dengan meluncurkan aplikasi Pegadaian Digital Service (PDS) yang diharapkan dapat memberi kemudahan bagi generasi milenial dalam mengakses berbagai produk di Pegadaian.

Selain itu, guna meningkatkan pangsa pasar syariah di Indonesia PT Pegadaian mengkonversi beberapa outlet konvensional menjadi syariah dan memperbanyak jumlah agen Pegadaian Syariah seperti yang diterapkan di seluruh pulau Madura pada tahun 2018 yang telah mencapai 87 unit dan akan terus berlanjut ke berbagai wilayah lain di Indonesia terutama yang masih sulit dijangkau oleh lembaga perbankan.

Oleh karena itu, beragam upaya yang dilakukan lembaga Pegadaian Syariah dalam meningkatkan inklusi keuangan syariah di Indonesia dengan menghadirkan praktik gadai berprinsip syariah perlu diapresiasi sebesar-sebesarnya. Hal ini dapat membantu masyarakat muslim di Indonesia agar terhindar dari transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.

Namun diperlukan konsistensi dan inovasi dalam mengembangkan produk-produk di Pegadaian Syariah sehingga praktik gadai syariah dapat terus bersaing dengan produk di lembaga keuangan konvensional sehingga masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaat yang sebesar-besarnya dengan hadirnya lembaga Pegadaian Syariah.

Penulis adalah alumni Universitas Darussalam Gontor jurusan Hukum Ekonomi Syariah, saat ini sedang menyelesaikan studi pascasarjana di Universitas Indonesia Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam dengan konsentrasi Ekonomi dan Keuangan Syariah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru