26.2 C
Jakarta

Pasca Terjadinya Konflik Agama: Keuntungan Besar Bagi Kelompok Ekstremis

Artikel Trending

KhazanahTelaahPasca Terjadinya Konflik Agama: Keuntungan Besar Bagi Kelompok Ekstremis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- A.N. Wilson yang dikutip Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa “Agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak kepada yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia. Namun hampir tidak ada satu agama pun yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, dan penindasan kebenaran….Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri pemilikan kebenaran”

Ungkapan tersebut rasanya menjadi bukti bahwa selama ini peran agama yang seharusnya pedoman hidup manusia, berbanding terbalik dengan fenomena-fenomena yang terjadi akibat agama. Sebagian manusia pada realitasnya, memandang agama sebagai sebuah dasar polemik dari terjadinya peperangan, kekerasan hingga menghilangkan aspek kemanusiaan dalam relasi sosialnya.

Hal itu bisa dilihat dari konflik agama yang terjadi di Indonesia, diantara konflik yang bisa kita lihat sejauh ini diantaranya: konflik antar umat beragama di Aceh, konflik Poso, Ambon, konflik Tanjung Balai, hingga konflik yang masih membekas pada masyarakat Madura, yakni di Sampang.

Masalah yang terjadi tidak lain sebenarnya berasal dari faktor manusia itu sendiri. Sejalan dengan itu, Sigmun Freud dalam teorinya menyebutkan bahwa manusia itu terdiri dari ide, ego dan superego. Jika ketiganya seimbang, maka manusia akan senantiasa selalu mengambil keputusan dengan pertimbangan yang cukup matang. Dengan artian bahwa tidak akan mementingkan egonya ketika melakukan hal-hal diluar kemanusiaan.

Jika ketiganya tidak sejalan, maka yang terjadi adalah keributan, pertentangan dan pertikaian akan terjadi, lantaran merasa paling benar, merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak lain termasuk upaya dalam mencapai kebenaran. Padahal, disisi lain justru menimbulkan perpecahan, peperangan, bahkan pembunuhan yang menewaskan manusia.

Konflik agama yang selama ini terjadi, tidak lain adalah bukti bahwa manusia merupakan makhluk yang ego, mementingkan dirinya dengan kelompoknya. Menciderai kemanusiaan atas dasar pembelaan terhadap agama menunjukkan bahwa agama dijadikan alat untuk melakukan opreasi, penindasan, dsb.

Fakta demikian, nyatanya diambil alih oleh para sebagian kelompok untuk menyebarkan agama. Kelompok-kelompok teroris justru bergerilya menggunakan bahan dogma untuk menjadikannya alat sebagai perlawanan atas penindasan yang terjadi.

BACA JUGA  Memahami Female Breadwinner Melalui Kacamata Sosial

Konflik agama melahirkan para ekstremis-ekstremis baru

Agama selalu menjadi salah satu pembahasan yang sensitif ketika dihadapkan dengan permasalahan. Tidak hanya di Poso, perpecahan yang terjadi di Ambon yang memunculkan narasi penindasan umat Islam oleh umat Kristiani, menunjukkan ketidakmampuan dan ‘ketidakadilan’ pemerintah dalam menangani konflik tersebut,

Dampak terburuk dari konflik-konflik tersebut adalah hilangnya rasa toleran dalam antar beragama. Harus disadari bahwa agama pada level eksoteris (syariat) memang berbeda, tetapi pada level esoteris (budaya) semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan yang satu (Firdaus:2014).

Hal ini yang kemudian melahirkan para ekstremis-esktremis baru. Salah satu kisah pengikut JI yang memilih berkhidmat . Ia seorang ekstremis yang memilih untuk berkhidmat kepada Jamaah Islamiyah. Dengan latar belakang diatas, ia memiliki tekad bulat untuk terlibat aktivitas-aktivitas yang diinisiasi oleh Jamaah Islamiyah. Hal lain yang mendorongnya makin mantap dengan halaqah JI adalah kemampuan ideolog JI dalam menghadirkan “tafsir waqi’i”, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang terhubung dengan realitas yang dihadapi umat Islam saat ini. Selain itu, ia merasa bahwa metode penyampaian agama JI dapat mewadahi kemampuan masingmasing individu peserta halaqah. (Noorhaidi, dkk: 2021).

Ruang kosong ketika terjadinya perpecahan tersebut membuat kelompok ekstremis mengambil peran untuk mengisi ruang kegalauan masyarakat karena mengalami kekecewaan terhadap pemerintah atas penanganan yang diberikan dalam mengahadapi konflik yang terjadi.

Ruang kosong atas perpecahan yang terjadi selalu menjadi tempat ciamik para kelompok teroris dalam menebarkan ideologi, tafsir serta dogma yang sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Penting bagi kita untuk memahami persoalan yang terjadi pada setiap konflik perpecahan yang mengakibatkan narasi agama semakin melambung tinggi. Hal ini bisa menjadi salah satu ruang yang bisa kita ambil untuk megambil peran untuk mengkounter narasi-narasi keislaman yang timpang. Wallahu a’lam

 

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru