Harakatuna.com – Pilkada merupakan salah satu pilar demokrasi di Indonesia yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin daerah yang mampu membawa perubahan. Namun, di balik momen demokrasi ini, terdapat ancaman yang perlu diwaspadai, yaitu penyebaran paham radikal yang berpotensi melahirkan tindakan terorisme.
Ketidakpuasan terhadap hasil Pilkada sering kali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memperkeruh suasana dengan menyebarkan narasi kebencian, memicu konflik, bahkan menciptakan kekerasan. Oleh sebab itu, pasca Pilkada harus menjadi momen penting untuk memperbaiki diri, baik secara individu maupun kolektif, demi mencegah berkembangnya ideologi berbahaya ini.
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam menekankan pentingnya moderasi atau wasathiyah dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep moderasi ini tercermin dalam QS. Al-Baqarah [2]: 143, yang menyebut umat Islam sebagai ummatan wasatha (umat yang moderat). Moderasi dalam Islam bukan hanya berarti bersikap tengah-tengah, tetapi juga mengedepankan keadilan, toleransi, dan keseimbangan. Pemahaman ini sangat relevan untuk diterapkan dalam konteks kehidupan sosial-politik, termasuk saat menghadapi tantangan pasca Pilkada.
Paham radikal yang menjadi akar dari tindakan terorisme bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai Islam. Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa membunuh satu nyawa tanpa alasan yang dibenarkan sama dengan membunuh seluruh manusia (QS. Al-Maidah [5]: 32). Ayat ini menunjukkan betapa seriusnya Islam melarang segala bentuk kekerasan yang merusak kedamaian.
Di sisi lain, hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan larangan menggunakan kekerasan dalam interaksi antarindividu. Nabi bersabda, “Barang siapa membawa senjata untuk mengancam saudaranya, maka dia bukan bagian dari kami.” (HR. Bukhari). Dengan demikian, tindakan terorisme tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi juga melawan prinsip dasar ajaran Islam.
Pasca Pilkada, peran masyarakat sangat penting dalam menciptakan kesadaran kolektif akan bahaya paham radikal. Kesadaran ini tidak hanya dibangun melalui kampanye keamanan oleh pemerintah, tetapi juga melalui penguatan pemahaman agama yang benar. Para ulama, tokoh agama, dan pemimpin masyarakat memiliki tanggung jawab besar untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang damai. Dalam QS. Al-Hujurat [49]: 10, Allah SWT mengingatkan bahwa orang-orang beriman itu bersaudara, sehingga perpecahan dan konflik internal yang dapat memecah-belah umat harus dihindari.
Pendidikan menjadi salah satu langkah strategis untuk menangkal radikalisme. Sejak usia dini, anak-anak perlu diajarkan tentang nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan moderasi. Proses pendidikan ini membantu membangun pola pikir yang inklusif sehingga masyarakat tumbuh dengan pemahaman agama yang sesuai dengan tuntunan syariat. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (HR. Bukhari). Dengan pendidikan yang tepat, fitrah manusia dapat diarahkan pada kebaikan, menjauhi paham radikal yang menyimpang.
Selain pendidikan, teknologi dapat menjadi alat yang efektif dalam menyebarkan pesan-pesan moderasi. Media sosial, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan konten positif dan mencegah narasi kebencian. Al-Quran menyebutkan pentingnya menggunakan hikmah dalam menyampaikan pesan dakwah (QS. An-Nahl [16]: 125). Melalui pendekatan ini, nilai-nilai perdamaian dapat disampaikan dengan cara yang menarik dan mudah dipahami, khususnya oleh generasi muda.
Peran pemimpin daerah yang terpilih melalui Pilkada juga sangat strategis dalam menerapkan nilai-nilai moderasi. Pemimpin harus menjadi teladan dalam mengedepankan keadilan, transparansi, dan dialog terbuka untuk menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat. Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin adalah pengurus, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR. Bukhari). Pemimpin yang adil dan bijaksana dapat menjadi perekat masyarakat, sehingga mampu mencegah munculnya konflik yang berpotensi menjadi pintu masuk radikalisme.
Momentum Pilkada juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat semangat persatuan di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Ketegangan yang sering kali muncul akibat perbedaan pilihan politik harus disikapi dengan bijaksana. Dalam Islam, perbedaan bukanlah alasan untuk berpecah-belah, melainkan sebuah keniscayaan yang harus disyukuri. QS. Al-Hujurat [49]: 13 menyatakan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Prinsip ini menjadi landasan penting untuk merawat keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak hanya itu, Pilkada juga menjadi momen refleksi untuk mengevaluasi apakah praktik politik yang dilakukan sudah sejalan dengan ajaran agama. Politik yang sarat dengan ujaran kebencian, fitnah, dan adu domba hanya akan membuka jalan bagi berkembangnya paham radikal. Sebaliknya, politik yang mengedepankan nilai-nilai persaudaraan dan keadilan akan menciptakan masyarakat yang harmonis. Dengan memahami bahwa politik adalah bagian dari ibadah, seorang muslim seharusnya menjalankan politik dengan cara-cara yang mulia.
Pasca Pilkada, masyarakat juga perlu diberikan literasi mengenai dampak buruk paham radikal dan terorisme. Diskusi, seminar, dan kampanye kesadaran dapat dilakukan untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga perdamaian. Hal ini sejalan dengan perintah Allah dalam QS. Al-Mumtahanah [60]: 8, yang mendorong umat Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil, bahkan kepada orang-orang yang berbeda keyakinan.
Dalam konteks global, ancaman terorisme telah menjadi persoalan serius yang merusak citra Islam. Banyak pihak yang mengaitkan agama dengan kekerasan akibat ulah segelintir orang yang memelintir ayat-ayat Al-Quran untuk melegitimasi tindakan mereka. Untuk itu, umat Islam perlu menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan keadilan. Moderasi adalah kunci untuk melawan stigma ini, sekaligus mencegah berkembangnya radikalisme di masyarakat.
Pemerintah, lembaga keagamaan, dan masyarakat harus bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya pemahaman yang moderat. Hal ini dapat diwujudkan melalui regulasi yang mendukung, pembinaan tokoh agama, dan pelibatan aktif generasi muda dalam gerakan melawan radikalisme. Generasi muda, sebagai pengguna terbesar media sosial, memiliki potensi besar untuk menyebarkan pesan-pesan damai melalui platform digital.
Dengan komitmen bersama, ancaman terorisme pasca Pilkada dapat ditekan, dan masyarakat Indonesia dapat melangkah menuju kehidupan yang lebih harmonis. Moderasi bukan hanya pilihan, tetapi kebutuhan untuk menjaga keutuhan bangsa di tengah beragam tantangan. Dengan kembali pada ajaran Al-Quran dan hadis, umat Islam dapat menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah solusi, bukan masalah.
Pilkada bukan sekadar ajang untuk memilih pemimpin, tetapi juga kesempatan untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan agama. Dengan menjadikan moderasi sebagai prinsip hidup, masyarakat Indonesia dapat membangun masa depan yang damai, adil, dan sejahtera. Momentum ini adalah peluang untuk berbenah, meninggalkan paham radikal, dan melangkah menuju kehidupan yang lebih bermakna.[] Shallallahu ala Muhammad.